Bab 7 Memohon
Bahkan Pak Setiawan yang membuka mulut pun tidak berhasil?
Bukankah mereka itu teman satu sekolah, hubungan mereka pun sangat baik.
Fajar yang tadi masih menyombongkan diri, sekarang tersenyum pun tidak bisa.
Kalau hanya Putri yang bisa menyelesaikan masalah kontrak ini, itu artinya mereka benar-benar harus memohon kepadanya.
Raut wajah Guntur berubah pucat.
Dia tidak menyangka masalah akan jadi sesulit ini.
Apa sebenarnya yang dimiliki oleh Putri, sampai sampai bisa membuat Pak Budi melindunginya.
“Wanita licik itu!”
Guntur tertawa sinis , “Sepertinya triknya diatas ranjang boleh juga, biasanya berlagak polos, ternyata semua itu hanya topeng!”
Kalau bukan karena dia melayani Pak Budi dengan baik, masa Pak Budi akan membelanya sampai seperti itu?
Omong kosong!
Sekarang memintanya untuk memohon kepada Putri, itu tidak mungkin.
Dia lebih memilih harus memohon kepada seekor anjing, daripada memohon ke keluarga sampahnya Gilang.
“Kring kring kring….”
Ponsel Fajar berbunyi.
Dia melihat panggilan masuk, dan raut wajahnya langsung berubah muram.
“Ini kakek.”
Rasanya Fajar ingin menangis.
Saat ini yang paling dia takuti adalah menjawab panggilan dari Aditya.
Sekarang proyek ini tanggung jawabnya, dan kalau proyek ini bermasalah dialah orang pertama yang harus bertanggung jawab.
“Angkat!”Kata Guntur.
Mau tidak mau Fajar mengangkatnya.
Apabila Fajar tidak mengangkat telepon kakek, masalahnya bisa menjadi lebih runyam lagi.
“Kakek.” seru Fajar.
“Jar, bagaimana kelanjutan proyek Pak Budi?”
Aditya menyuarakan keingintahuannya.
Proyek ini merupakan kekhawatiran terbesarnya saat ini, proyek ini begitu penting, keluarga Lesmana sudah menginvestasikan begitu banyak hal untuk proyek ini.
“Bagus, semuanya baik dan lancar.”
Fajar melirik kearah Guntur, melihat perubahan raut wajah ayahnya, dia sibuk mencari alasan , “Tinggal menunggu kapan Pak Budi senggang, setelah itu sudah bisa tanda tangan kontrak.”
“Baguslah kalau begitu.”
Aditya memperingatkan , “Kamu harus lebih memperhatikan proyek ini, proyek ini tidak boleh terlewatkan, kalau sampai ada kesalahan, bersiaplah kamu!”
Aditya menutup teleponnya.
Telapak tangan Fajar berkeringat.
Emosi seperti apa yang dimiliki oleh Aditya, tidak ada yang lebih tahu selain dirinya.
Kalau proyek ini sampai benar-benar bermasalah, dia tidak akan bisa menanggung akibatnya. Ini tidak semudah mengundurkan diri, atau memukuli dirinya sendiri.
“Ayah, sekarang kita harus bagaimana.”
Fajar sudah tak tahan ingin menangis.
Wanita licik seperti Putri, maksud hati mau mencelakainya malah berbalik melukai diri sendiri.
Wajah Guntur berubah menjadi lebih muram lagi.
Apakah ini artinya, mereka benar benar harus memohon kepada keluarga Gilang?
Dengan perilaku mereka sebelumnya, meremehkan dan memandang rendah Putri, sekarang harus pergi memohon kepadanya, apa ini tidak kalah memalukan dari ditampar dua kali berturut-turut?
Guntur tidak sanggup menahan malu seperti itu!
“Fajar, kamu saja yang pergi.”
Guntur berpikir cukup lama, dan berkata , “Kamu pergi cari Putri, memohonlah kepadanya, bahkan kalau harus berlutut dan bersujud pun, lakukanlah, yang penting dia bersedia membantu menyelesaikan penanda tanganan kontrak ini!”
“Ayah….”
“Apa saya harus pergi bersujud memohon kepadanya!”
Guntur meraung, matanya menjadi kemerahan.
Segengsi-gengsinya Fajar, tentu Guntur lebih gengsi lagi!
Dia yang lebih tua ini, kalau sampai memohon kepada keponakannya dan tersebar keluar, akan sangat memalukan.
Fajar tidak berani melawan perkataan ayahnya.
Masalah ini terjadi akibat ulahnya, kalau sampai mencoreng nama Guntur, dia bisa dihabisi.
Sambil mengertakkan giginya, Fajar pergi menuju rumah Putri.
Disaat itu.
Putri dan keluarganya sedang makan.
Meja makannya tidak terlalu besar, pas-pasan untuk 4 orang, mereka makan dalam diam.
Ini pertama kalinya rumah Putri bertambah satu orang.
ang tidak lain tidak bukan adalah menantunya.
Gilang tidak pernah berbicara saat sedang makan, Indah pun tidak tahu harus berkata apa.
Dia membenci Dimas, membenci fakta bahwa putrinya menikah dengan seorang lelaki yang tidak memiliki apa-apa.
Tapi Dimas membelanya tadi siang, dia tidak buta, dan dia tidak bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa.
Begitu juga dengan Putri, dia juga tidak tahu harus berkata apa.
Berbanding terbalik dengan Dimas, dia merasa seperti dirumah sendiri, sedikitpun tidak merasa sungkan.
“Bu, keterampilan memasakmu boleh juga, rasanya sangat pas!”
“Saya sudah sangat lama tidak pernah memakan makanan seenak ini!”
“Apa saya boleh tambah 1 mangkok lagi?”
Tidak ada hidangan mewah yang tersaji di meja, hanya sayuran, tapi Dimas tetap makan dengan lahapnya, benar-benar terlihat rakus.
Disaat ini, Putri memikirkan saat Dimas menjadi gelandangan, pasti sangat sering merasa kelaparan.
Tak peduli dengan reaksi Ibunya, Putri membantu Dimas menambahkan 1 mangkok nasi lagi.
“Terima kasih istriku.”
Kata istriku, membuat tangan Putri yang sedang memegang sendok, gemetaran.
“Tok tok tok!”
Suasananya menjadi canggung, ada yang mengetuk pintu lagi.
Gilang menoleh, dia ingin kembali masuk ke kamar, tapi lirikan tajam dari Indah membuatnya diam di tempat.
“Siapa!”
Teriak Indah.
“Tante, ini saya, Fajar!”
Suaranya terdengar tidak tulus dan tidak berdaya.
Indah dan Putri saling menatap satu sama lain, untuk apa dia kembali lagi?
Mungkinkah benar seperti yang dikatakan Dimas, mereka akhirnya datang untuk memohon?
Ibu dan anak itu menatap Dimas, tapi Dimas hanya menundukkan kepalanya sambil makan.
Indah membukakan pintu, Fajar segera memasang raut wajah tersenyum.
“Tante, sedang makan ya? Apakah Putri ada dirumah?”
Sanjung Fajar yang paling membenci menyanjung seseorang, bahkan dia tidak pernah menyanjung ayahnya sendiri seperti itu.
Dia menolehkan kepalanya dan melihat Putri sedang duduk, dengan panik dia berkata : “Putri, masalah kemarin semua salahku, aku meminta maaf, berbaik hatilah sekali ini kepadaku.”
Ketiga keluarga Putri tercengang.
Fajar benar-benar datang memohon kepadanya?
“Perusahaan Lesmana tidak bisa tanpamu, kamu baru pergi sehari saja, dan lihatlah bagaimana bisa perusahaan menjadi sekacau ini?
Fajar membungkukkan badannya sedikit, sambil tersenyum licik , “Kembalilah, masih banyak proyek yang menunggu diambil alih olehmu.”
Yang keluar dari mulutnya jelas berbeda dengan yang dipikirkannya.
Tunggu saja sampai proyek ini selesai, lihat bagaimana aku akan menghabisi keluargamu ini!
“Dimana ayahmu?”
Putri tidak tahu harus berkata apa, lagi-lagi Dimas membantunya menjawab.
Sambil melahap makanannya, dia melirik Fajar , “Kenapa dia tidak datang?”
Fajar sangat kesal, tapi disatu sisi dia berusaha mempertahankan senyuman di wajahnya.
“Ayahku sangat sibuk, maka hanya aku yang diutus kemari untuk minta maaf kepada Putri, saya berharap adik sepupuku ini bisa memaafkanku dan tidak perhitungan.”
Fajar sudah sangat memelas.
Bahkan kepada Dimas, menantu tak berguna itu pun, dia sudah meminta maaf.
“Tidak bisa.”
Siapa yang tahu, Dimas mengangkat kepalanya dan berkata , “Yang memecat Putri adalah ayahmu, kalau mau minta maaf juga harus dia yang melakukannya sendiri, atau tidak akan kami maafkan.”
Fajar hampir mencapai titik kesabarannya.
Luar biasa!
“Kamu…” Fajar hampir mengumpat.
Orang gila ini, melakukan kegilaan apa lagi ini!
Putri dan keluarganya menatap Dimas, takut kalau Dimas akan memperkeruh suasana.
Fajar pun sudah sampai kemari untuk minta maaf, masalah ini, ada baiknya disudahi saja.
Ayah dan anak ini, ada baiknya tidak diprovokasi.
“Ayah, Ibu, Putri adalah anak kesayangan kalian, dulu dia teraniaya, dan kalian yang mengurus,”
Dimas menelan makanannya , “Sekarang dia adalah istriku, dia teraniaya tentu aku harus turun tangan.”
Dia berdiri, seketika aura pembunuh terasa begitu kuat!
“Siapapun yang berani menyakiti istriku, akan kuberitahu harga yang harus dibayarnya!”
Seketika itu, aura pembunuh yang menakutkan itu menyelimuti ruangan yang dingin, Fajar pun tiba-tiba bergidik.
“Dimas, kamu keterlaluan!”
Fajar sudah tidak tahan lagi.
Dia bahkan sudah bersiap untuk bersujud pada mereka.
Tapi, Dimas malah tidak menghargai permintaan maafnya, bersujud pun tidak akan ada gunanya.
“Suruh ayahmu datang minta maaf , atau tanggung sendiri akibatnya.”
Dimas tidak sungkan-sungkan , “Masih tidak mau pergi? Makanan di rumah kami sudah habis, kami tidak menyisakan apapun untuk anjing!”