Bab 12 Menggila lagi!
Tempramen Budi memang terkenal buruk, dalam waktu 5 tahun bisa menjadi seperti sekarang, tentu saja dia tidak pernah berbelas kasihan!
Dia hanya berdehem, lalu membalikkan badan dan pergi.
Petinggi itu terkejut, dia kebingungan dan wajahnya memerah, dia tidak tahu salahnya dimana.
Dia hanya menjelekkan Putri saja, kenapa Pak Budi sampai semarah itu?
“Pak Lesmana….”
Dia menatap Guntur dengan tatapan penuh harap.
“Letakkan surat pengunduran dirimu di mejaku besok.”
Guntur kebingungan, orang orang ini adalah karyawannya, kenapa malah Pak Budi yang memerintahkan untuk memecatnya?
Tapi kontrak ini baru saja ditanda tangani, dia tidak boleh membuat Pak Budi marah lagi.
Seketika, petinggi itu hanya bisa pasrah.
Orang-orang yang ada disekitar pun diam seribu bahasa.
Hanya karena menjelekkan Putri, bisa langsung dipecat?
Ini petingginya perusahaan Lesmana loh!
Kalau begini, tampaknya Pak Budi sedang membela Putri, tapi yang menjadi pertanyaannya, sebenarnya kedua orang ini ada hubungan apa?
“Ngapain pada berdiri ? Gak punya kerjaan ya!”
Teriak Fajar untuk membubarkan orang-orang ini.
Dia berjalan ke samping Guntur, bertanya dengan heran : “Ayah, sebenarnya Putri ada hubungan apa dengan Pak Budi?”
Pasti tidak seperti yang mereka kira, melihat sikap Pak Budi yang begitu menghormati Putri, dan bahkan terlihat takut-takut.
Bagaimana bisa?
Pak Budi ini sebenarnya orang macam apa?
Baik di kalangan atas, maupun kalangan bawah, dia itu orang yang sangat berkuasa!
Bahkan keluarga Lesmana pun harus segan berada didepannya.
Bagaimana bisa, seorang Putri membuat Pak Budi begitu segan padanya?
“Periksa!”
Guntur memberikan ekspresi dingin, hanya sepatah kata yang keluar.
Kalau sudah seperti ini, yang bisa dilakukan hanyalah mengacaukan rencana mereka, apapun itu.
Kalau sampai Putri benar-benar memiliki hubungan dengan Pak Budi, maka dia pun harus pikir-pikir lagi untuk menganggu Putri.
“Baik!”
Fajar langsung pergi.
Di ruangan Putri.
Putri tiba-tiba tersadar.
Dia berjalan kedepan Dimas, meletakkan tangannya di balik badan, dan bertanya kepada Dimas dengan serius.
“Sebenarnya ada apa.”
Putri mengerutkan hidungnya , “Kamu jangan bilang ini tidak ada hubungannya denganmu, aku tak percaya.”
Dimas membuka matanya malas , berkata dengan santai : “Mmm, kuakui memang ada hubungannya denganku.”
Ternyata!
Pantas saja Dimas berulang kali mengatakan kalau kontrak ini hanya bisa diselesaikan oleh dirinya seorang, siapapun dari keluarga Lesmana, tidak akan bisa.
Bahkan dengan percaya diri mengatakan kalau Guntur dan Fajar pasti akan datang memohon kepadanya untuk kembali ke perusahaan.
Ini artinya, dia sudah mengatur semuanya.
Tapi….. Dia hanya seorang gelandangan, bagaimana dia bisa kenal dengan Pak Budi?
Dia teringat adegan saat dia masuk tadi, Pak Budi yang berdiri didepan Dimas dengan segala hormatnya…..
“Saya dan si Budi saling kenal.”
Melihat Putri yang menatapnya tak percaya, Dimas tertawa , “Sebelum dia sesukses ini, dia juga seorang gelandangan, pernah sekali dia hampir mati kelaparan jadi aku memberikan separuh dari rotiku padanya, dia merasa berhutang budi padaku.”
Hari ini, dia datang untuk membayar hutangnya.
Putri berdehem.
“Kamu kira aku akan percaya begitu saja?”
Putri mengigit bibirnya, ini semua tidak masuk akal, penjelasan Dimas itu seperti sedang mengelabui anak kecil saja.
“Apakah kamu percaya orang baik akan mendapatkan balasan yang baik juga?”
Dimas bertanya dengan serius.
Putri menimbang-nimbang , “Jadi maksudmu, kamu ini orang baik?”
“Bukan, kamulah orang baik.”
Dimas bangkit berdiri , “ Makanya kamu mendapatkan balasan yang baik juga.”
Permen yang diberikan kepada Dimas kala itu, tidak akan pernah bisa dia lupakan.
Tidak terhitung berapa kali dia dalam bahaya, dan hampir dijemput oleh maut, kertas permen yang dia bawa itu selalu memberinya kekuatan dan harapan.
“Sudahlah, jangan dipikirkan lagi, sekarang masalahnya sudah selesai.”
Dimas berkata , “Ayo, kita pulang.”
“Hah? Kita baru datang sebentar saja.”
Dimas tidak memperdulikannya, dan menariknya keluar dari ruangan.
Sepanjang perjalanan keluar, orang orang yang berpapasan di jalan tidak ada yang berani mendekat.
Putri dapat merasakan kalau mereka takut padanya.
Dimas masa bodoh dengan hal itu.
Sambil menaiki motornya, dia membonceng Putri menuju ke showroom BMW.
“Ini bukan jalan menuju rumah, kamu salah jalan, kamu bukan mau menjualku kan?”
Putri yang berada di belakang motor panik, suaranya tidak terdengar jelas karena terpaan angin.
Dia merasa, dirinya ini tak akan laku seberapa kalau dijual.
Dimas tidak menghiraukannya, dia memberhentikan motornya tepat didepan showroom BMW.
“Kamu kemari mau ngapain?”
Putri kaget saat melihat logo berwarna biru putih itu, “Kita gak sanggup beli mobil.”
Dia tidak mempunyai uang untuk membeli mobil.
“Siapa bilang.”
Dimas menariknya masuk ke showroom.
Baru memasuki showroom, mata Putri mulai tertuju ke beberapa model yang menarik perhatiannya.
Semuanya sangat bagus!
Bukannya dia tidak pernah berangan-angan untuk membeli mobil, berangkat kerja dengan motor di cuaca seperti ini memang sangat melelahkan, lagipula mobil yang selama ini dia lihat pun hanyalah Toyota dan Daihatsu, itu saja dia sudah ragu.
Sekarang Dimas membawanya ke showroom BMW, dia bahkan tidak berani menyentuh mobil-mobil itu.
Mereka melihat kearah Dimas dan Putri yang melewati pintu, namun tidak satupun yang bergerak menyapa.
“Nona, mencari mobil apa?”
Seorang karyawan baru datang menyapa setelah melihat tidak ada yang mau melayani mereka.
Beberapa karyawan lama menatap karyawan baru itu dengan tatapan mencibir, dan hanya mengeleng-gelengkan kepalanya.
Melihat tampilan Putri saja mereka sudah tahu kalau mereka ini tidak mempunyai uang.
Kalau orang kaya, tidak mungkin tampil seperti ini.
Maka mereka pun tidak repot-repot untuk melayani Dimas dan Putri, kecuali karyawan baru yang ramah itu.
“Beli, pasti beli.”
Wajah Putri merona, tidak tahu harus menjawab apa, Dimas langsung berkata , “Kalau tidak beli mobil, untuk apa kemari.”
Sambil berkata, dia menatap Putri dan bertanya : “Suka model yang mana?”
“Hah?”
Putri menatap Dimas, dalam hatinya cemas, apakah gangguan kejiwaannya kambuh lagi.
Apanya suka yang mana?
Dia menyukai semuanya, tapi tidak ada satupun yang sanggup dibeli.
“Dimas, kita pulang saja ya.”
Wajah Putri merona malu lagi, beberapa karyawan yang berada jauh sudah mulai menertawakan mereka, dia jadi kehilangan kepercayaan diri.
“Coba rekomendasikan, model mana yang cocok untuknya.”
Dimas tidak menghiraukan Putri, dan bertanya kepada karyawan baru itu.
“Ini seri lima, model terbaru tahun ini, tenaga mesinnya juga cocok digunakan oleh para wanita, kalau menurut saya, dari penampilan Nona, model ini sangat cocok dengannya.”
Karena dia merupakan karyawan baru, maka bahasa yang digunakannya pun masih sangat umum. Tanpa klise.
Dimas menoleh kearah Putri, melihat tatapan matanya mendarat di mobil ini, Dimas menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu yang ini saja.”
“Hah?”
Kali ini, Putri dan karyawan baru itu sama-sama terkejut.
Membuat karyawan lainnya ikut penasaran, ada apa?
Baru masuk tak sampai 5menit, sudah mau beli? Ini pasti bercanda.
Setidaknya, tanyakan dulu harganya? Atau tanyakan dulu bisa test-drive? Kalau mau membual didepan wanita, setidaknya pikirkan juga akibatnya.
“Pak, karena ini model terbaru, sementara tidak ada diskon dari toko ya.” Karyawan itu berbaik hati mengingatkannya.
“Tidak masalah.”
Dimas mengeluarkan kartu ATM dari kantongnya , “Kata sandinya 666666, ada kebutuhan apa, biaya apa, sekalian hitung semuanya.”
Karyawan baru itu termenung, saat tersadar dia sibuk mengambil kartu ATM itu dan segera membuatkan invoice.
“Dimas, jangan bercanda, mobil ini sangat mahal, kamu mana sanggup membelinya.”
Putri mulai panik.
Dia seorang gelandangan, bisa bertahan hidup saja sudah syukur, mana sanggup membeli mobil mahal seperti ini.
Harga mobil ini paling tidak berkisar 1 Milliar?
Pasti gangguan kejiwaannya kambuh lagi, kalau tidak memukul orang, ya berhalusinasi!
Putri sibuk mengejar karyawan wanita tadi, takut kalau kartu itu digesek dan mengeluarkan tulisan saldo tidak cukup, akan sangat memalukan.