Bab 14 Hutang budi
“Tante, habis ngobrol apa dengan Ibu?”
Dimas bertanya.
Bibi tetangga tersipu, wajahnya memerah dan sambil mengibaskan tangan : “Eh, bukan apa-apa kok.”
Selesai berbicara, dia langsung bergegas pergi, padahal dia hanya ingin mengejek Indah karena menolak mempertemukan Putri dengan anak laki-laki yang dia kenalkan, mengakibatkan dia dimarahi oleh orang, kalau seperti ini keadaannya, mana bisa dibandingkan lagi?
Anak laki-laki itu gaji bulanannya hanya belasan juta, mana sanggup membelikan mobil semahal itu!
Badan Indah membatu, Gilang pun membelalakan matanya tak percaya.
Mereka, benar-benar tidak percaya.
“Mobil ini….”
Indah menarik nafas dalam-dalam, dia merasa Putri sedang bercanda.
Dia merasa Dimas tidak mungkin sanggup membeli mobil semacam ini, begitu juga dengan Putri.
“Mana motor kalian?”
Gilang menyadari motor Putri tidak terlihat, dia menanyakan dengan panik, harga motor itu hampir 5juta.
“Showroom BMW ada acara tukar tambah, kita tukarkan saja.”
Putri merona, dia tidak pandai berbohong, tapi Dimas malah menjawab dengan santai.
Dia hampir terjatuh.
Showroom mana yang mau mengganti motor bekas dengan BMW?
Tidak ada yang percaya, mereka bukan orang gila.
“Sebenarnya ada acara undian berhadiah….” Putri sibuk memikirkan berbagai alasan, tapi tidak terpikirkan satu pun.
“Dimas yang beli!”
Dia menyerukan suara hatinya, dan merasa lega.
Indah menatap Dimas dengan tatapan curiga, wajahnya menunjukkan ekspresi yang percaya-percaya saja.
Menantu yang katanya tak berguna ini, dari hari pertama masuk ke rumah ini tidak berhenti membuatnya terkejut.
Indah tidak mengatakan isi hatinya dengan jujur untuk menjaga harga dirinya, menampar Fajar, berjanji akan melindungi mereka sekeluarga, walaupun Indah tidak menyukai Dimas, tapi hatinya tidak terbentuk dari batu.
“Sudahlah, tidak usah dijelaskan lagi.”
Indah tidak mau tahu lagi, yang penting bisa membungkam mulut tetangga menyebalkan tadi, dia sudah merasa puas.
Dia kembali menatap Dimas dengan tatapan serius, dan tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dia berbalik, mendorong Gilang kembali ke rumah.
“Ibu percaya begitu saja?”
Putri berbisik.
“Apakah itu penting?”
Dimas melihat dari kejauhan, sosok tetangga yang menyebalkan itu, dia memikirkan cara membantu Indah membalaskan kekesalannya.
Tidak ada yang boleh mengganggu Ibu mertuanya.
Dimas berkata , “Ayo pulang.”
Keahlian memasak Indah cukup baik, atau setidaknya itulah pendapat Dimas.
Dia sudah berkeliling dunia, mencicipi berbagai jenis makanan, restoran termahal sekalipun sudah pernah dia datangi, tapi dia tidak pernah mencicipi masakan rumahan.
Melihat Dimas seperti dirasuki hantu kelaparan, Indah tidak bisa tidak terheran heran, apakah masakannya seenak itu?
“Dimas, saya mau bertanya padamu.”
Setelah sekian lama, akhirnya Gilang membuka suara , “Mobil itu, benar kamu yang beli?”
Dia masih tidak percaya, itu harganya 1milliar!
“Mmm, hanya sebuah mobil kok, tidak ada yang perlu dihebohkan,” jawab Dimas santai tanpa mengangkat kepalanya , “Nanti kalau kaki Ayah sudah sembuh, aku akan membelikannya untukmu juga.”
Satu kalimat darinya sukses membuat seisi rumah terdiam.
Saat itu barulah Dimas mengangkat kepalanya, dia melihat wajah tak berdaya Gilang, mata Indah yang memerah, sampai Putri pun menghela nafasnya dengan berat, terlihat begitu sedih.
“Kakiku ini….” Gilang tersenyum pahit sambil mengelengkan kepala.
Mana ada kesempatan untuk pulih, dia sekarang adalah orang cacat, selamanya akan menjadi orang cacat.
“Saya kenal dengan seorang dokter, dia sangat handal dalam bidang ini, harusnya dia bisa menyembuhkanmu.”
Perkataan Dimas sontak membuat Gilang menatapnya.
Dia pun lalu tersadar, Dimas ini gelandangan, bisa kenal dengan siapa, anak ini, terlihat begitu jujur, ternyata hanya membual.
“Benarkah?”
Tanya Putri penasaran.
Dia tahu kalau Dimas bukan orang biasa, meski baru mengenalnya dua hari, tapi menurutnya, Dimas bukan bermaksud menyembunyikan semuanya, dia hanya memperlihatkan sebagian saja saat ini.
“Tentu saja, saat ini dia sedang mengurus sesuatu di luar negeri, kalau dia sudah kembali, aku akan memintanya datang ke kota Malang.” Kata Dimas santai.
“Be..Benarkah?” Gilang bertanya dengan heboh.
Dimas mengangguk : “Tenang saja.”
Gilang tiba-tiba menjadi bersemangat, Indah menepuk-nepuk tangannya, menyuruhnya untuk tenang.
Sebenarnya, menantu mereka ini, bisa dipercaya atau tidak?
Selesai makan, Gilang kembali ke kamarnya, Putri juga sedang menyiapkan berkas yang diperlukan, sedangkan Dimas duduk di sofa ruang tamu sambil menonton TV.
“Dimas, kemari sebentar.”
Indah berseru memanggilnya.
Dimas berjalan menuju dapur, dia melihat Indah sedang memegang sebuah pisau, tapi ekspresinya tetap tenang, malah masih bisa tersenyum.
“Ibu, kamu memanggilku?”
Indah tidak peduli bagaimana Dimas menyapanya.
Dia menatap Dimas dengan serius : “Kamu sebenarnya siapa? Apa tujuanmu mendekati Putri? Kalau tujuanmu mendekatinya adalah untuk mencelakainya, sekalipun harus mati, aku tidak akan membiarkanmu!”
Indah tidak bodoh, yang diperlihatkan Dimas sama sekali tidak mencerminkan kalau dia itu seorang gelandangan, tidak seperti menantu tak berguna yang dikatakan orang-orang.
Begitu bertolak belakang, Dimas itu kuat, dan begitu arogan! Hari ini saja, dengan sembrononya membeli sebuah mobil berharga miliaran, bagaimana bisa disebut gelandangan?
“Ibu, saya berani bersumpah kepadamu, saya tidak memiliki maksud dan tujuan buruk terhadap kalian.”
Dimas menjawab dengan tenang , “Saya berada di sisi Putri karena saya ingin melindunginya dari orang-orang yang menjahatinya.”
Indah hanya menatap Dimas, tidak berkata apapun untuk waktu yang lama.
“Mengapa?” dia baru bertanya setelah sekian lama.
“Dia pernah menyelamatkan hidupku.”
Dimas menghela nafas dalam-dalam, dalam benaknya terbesit kejadian 15 tahun lalu, “Ada hal yang tidak bisa saya beritahu sekarang, tapi percayalah kepadaku, kalau waktunya sudah tiba, kebenaran pun akan terungkap dengan sendirinya.”
Kriikk---
Pintu kamar terbuka, Indah sibuk menyimpan kembali pisaunya, dan berkata dengan pelan : “Aku akan mempercayaimu, tapi, jangan sentuh Putri, jangan hancurkan dia!”
Dimas mengangguk.
“Sudah ambil berkasnya?”
Dimas keluar dari dapur , “Ayo, kuantar ke kantor.”
Dia berkata sambil menarik Putri keluar, mengantarnya ke perusahaan Lesmana dengan mobil.
Di saat itu.
Perusahaan Lesmana, ruangan Presdir.
“Apakah sudah kamu periksa?”
Guntur bertanya dengan dingin.
“Sudah, sudah saya periksa.” Fajar tertawa sinis, setelah membayar seharga 1miliar, baru bisa mendapatkan informasi penting ini.
“Sebelum Pak Budi sesukses sekarang, dia itu juga gelandangan, pernah hampir mati kelaparan, dan Dimas yang membagikan separuh rotinya kepada Pak Budi, menyelamatkan nyawanya, keduanya pernah tinggal di kolong jembatan, jadi Pak Budi hanya sedang membayar hutangnya budinya.”
Dia merasa tidak puas.
Juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa Putri dan Pak Budi tidak memiliki hubungan asmara apapun, melainkan ini ternyata ulah dari si Dimas yang tidak berguna itu.
“Tidak habis pikir, lihatlah orang macam apa yang kamu pilih!”
Guntur mengamuk.
Yang memilih Dimas sebagai kandidat akhir, tak lain tak bukan adalah Fajar, sengaja memilih seorang gelandangan, yang gila pula.
Bagaimanapun tidak menyangka, Pak Budi ternyata berhutang budi kepada Dimas.
“Ayah, tenanglah, orang semacam Pak Budi, setelah merasakan kekuasaan dan kekayaan, bahkan saudaranya sendiri saja sanggup dihabisi, apalagi hutang budinya pada Dimas yang tak seberapa itu!”
Fajar berkata lagi dengan sadis , “Sekarang, Pak Budi sudah membayar hutang budinya, siapa lagi yang akan membantu Putri dan keluarganya itu?”
Guntur sangat mengerti watak Pak Budi, Pak Budi ini orang yang hatinya sangat kejam, tapi selalu berusaha menjaga reputasinya di publik, membayar hutang budinya kepada seorang gelandangan, tentu saja membantu menaikkan reputasinya.
Tapi, ya hanya itu saja.
Perlakuan Dimas dan keluarganya kepada mereka, akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda!
“Apakah masalah di pabrik sudah diurus?”
“Sudah!” Fajar kembali tertawa sinis, “Putri pasti akan menyesali keputusannya untuk tetap menangani proyek ini!”