Chapter 8 Pengakuan Raina
"Raina sayang kok ngomongnya gitu, memang Raina kenal dengan tante ini ?" tanyaku dengan hati-hati.
"Iya Mah, ini mamah Yaina katanya papah gitu,"
"Lah, terus mamahnya Raina "kan mamah Sukma, masa semua dipanggil mamah sih?" tanyaku dengan manja.
"Mamah Sukma bukan mamah kandung Yaina, jawabnya.
Aku diam, dan terduduk lemas, namun kepalaku tiba-tiba pusing dan entah apa yang terjadi sehingga pandanganku menjadi gelap.
"Rum, Arum bangun nak."
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak."
"Kenapa Arum, Bu?"
"Kamu tadi pingsan, gimana masih pusing?" tanya Ibu.
"Iya Bu, Arum nggak apa-apa kok."
Aku mencoba duduk kembali walaupun kepala masih sedikit pusing.
"Mana Raina, Bu?" tanyaku sambil memcari-cari keberadaan Raina gadis kecilku.
"Mamah Ayum cayi Yaina ya,Yaina cayang Mamah Ayum. Mamah Liya nggak cuka cama Yaina, nggak cayang, jangan tinggalin Yaina ya Mah?" celoteh Raina yang menggemaskan.
"Sayang, Mamah Arum juga sayang sama Raina, pokoknya sampai kapan pun Raina tetap menjadi anak kesayangan Mamah Arum."
"Janji ya Mamah Ayum,"
"Iya, Sayang Mamah Arum janji."
Aku pun memeluk Raina dengan erat, kucium pipinya berkali-kali, entah mengapa aku kembali menangis, air mata pun tidak henti-hentinya mengalir. Ada rasa kasihan kepada gadis kecil ini.
Jika sakit hati untuk di duakan masih aku terima, tetapi bila menyangkut hati seorang anak kecil yang masih polos disakiti, maka tidak tanggung-tanggung akan kubuat mereka menderita.
Hanya karena keegoisan orang dewasa, anak-anak yang menjadi korban. Memang aku belum menjadi seorang ibu tetapi hati nuraniku selalu ingin menjadi seorang ibu yang utuh.
"Lebih baik kamu istirahat dulu di kamar, nanti ibu buatkan teh hangat."
"Nggak usah Bu, minta es rujak serut."
"Kamu tuh ya, jangan banyak-banyak nanti sakit perut."
"Kalau sakit perut tinggal minum obat, beres toh Bu?"
"Ya udah bentar Ibu ambilkan."
"Raina sayang, Mamah Arum boleh tanya nggak?
"Boyeh, tanya apa Mah?"
"Sejak kapan Raina tahu kalau Mamah Sukma bukan mamah kandung Raina?" tanyaku dengan hati-hati.
"Seingat Yaina, waktu kita libuyan ke Colo, teyus papah ngenalin Mamah Liya itu mamah kandung Yaina, teyus Yaina tanya kenapa nggak ikut pulang ke Bandung, katanya Mamah Liya sibuk nggak bica ninggalin kecjaannya di cana," celoteh Raina.
"Terus apak kata Papah, waktu Mamah Lira tidak mau ikut, terus Raina percaya kalau itu memang Mamah kandung Raina?"
"Seingat Yaina, kata Papah Mamah Liya nggak mau tinggal di sini, beyati dia nggak cuka cama Yaina. Yaina benci cama Mamah Liya," jawabnya polos.
"Sayang, kalau Raina mau Mamah Arum selalu dekat dan sayang sama Raina, mau nggak janji ?" ucapku dengan hati-hati takut tidak mengerti.
"Janji apa Mah?"
"Kita janji kelingking mau? mana jari kelingking Raina?"
Lalu Raina mengulurkan jari kelingkingnya dan aku menautkan dengan jari kelingkingku juga.
"Janji sama Mamah Arum kalau apa yang kita omongin jangan sampai Mamah Sukma, Nenek Sumi dan Papah tahu ya, ini rahasia, nanti kalau mereka tau kita nggak dapat hadiah," ucapku dengan manja.
"Beyati kalau Yaina tutup mulut, nanti dapat hadiah gitu Mah?" tanyanya dengan senang hati.
"Iya, namanya juga rahasia, mulut di kunci, di simpan dulu kuncinya sama Mamah Arum ya."
"Oke, Mah, Yaina janj deh."
"Makasih ya anak Mamah yang cantik, kami memang anak yang baik dan penurut."
Aku memeluk dan menciumnya kembali. Raina pun membalas pelukanku yang hangat dan ia pun menciumku balik di pipiku. Raina mendekatkan ke telingaku dan membisikkan kata "I love you Mam!"
Aku merasa terharu, akan sikap dan tingkah laku Raina, walaupun masih kecil dia sudah pandai mengutarakan isi hatinya.
Ibu hanya memandang kami dengan senyuman, dan beliau menghampiri kami dan memeluk kami berdua.
"Masa kalian saja yang berpelukan, Nenek juga mau dong dipeluk."
"Ayo, berpelukan ... hahha ... ibu berbicara dengan pelan, "semangat Rum, ada Ibu bersamamu, jangan khawatir nak."
"Terima kasih, Bu."
"Ibu tersenyum dan mengangguk dan kembali kami berpelukan.
"Sudah-sudah nanti tambah banjir rumah Ibu dengan tangisan kalian," goda Ibu seketika.
"Raina sayang, main dulu di sini ya, bentar Nenek mau ngomong sama Mamah Arum."
"Iya Nek, nggak boleh nguping ya?"
"Nggak boleh sayang, itu peebuatan yang nggak baik, jangan ya?"
"Teyus tadi pagi Yaina lihat Mamah Ayum nguping juga pembicaraan Nanek Cumi ama Papah," celoteh Raina dengan muka cemberut.
Aku dan Ibu saling berpandangan dan tertawa melihat tingkah laku Raina yang semakin menggemaskan.
"Maaf Sayang, Mamah Arum janji nggak ngulangin lagi, tapi kalau penting terpaksa," jawabku dengan tertawa.
"Oh ya Rum, tadi Ibu dengar katanya Raina kalian pernah ke Solo ya, kok Ibu nggak tau?"
"Oh itu, Arum nggak diajak Bu, katanya urusan bisnis, tetapi waktu itu Raina ngotot mau ikut, jadi mau-tidak mau ya Raina ikut.
"Huh, dasar menantu edan, bisa-bisanya suamimu kaya gitu, kalau baru seumur jagung ketahuan tabiat asli sih nggak apa-apa, lah ini sudah 5 tahun kalian berumah tangga, kok nggak ada curiganya kamu ini, jangan-jangan kamu di guna-guna lagi, kok manut-manut aja?" tanya ibu beruntun dengan penasaran.
"Hus, Ibu ngomong apa sih, nggak jelas deh, jangan yang aneh-aneh."
"Pokoknya kamu jangan tinggalin solat 5 waktu, solat sunat dan perbanyak membaca Al Qur'an supaya hatimu selalu tenang dan damai," nasehat Ibu.
"Ibu jadi khawatir sama kamu Rum, kalau kamu tinggal di sana, bagaimana kalau Ibu ikut ke sana, sekalian supaya kamu bisa leluasa memasang cctv tanpa ada masalah," lanjut Ibu.
"Sepertinya ada bahaya yang mengintai kamu Nak!"
"Bu, jangan berpikir macam-macam dong Bu, jadi takut nih Arum."
"Loh katanya kamu mantan preman insaf masa takut beginian?"
"Ya nggak lah Bu, selama Arum di jalan yang benar, maka tidak akan takut dengan apapun."
"Benar Rum, buktikan kalau kamu wanita tangguh yang tidak mau disepelekan yang nama statusnya suami."
Inilah hadiah pernikahanku yang paling istimewa dan special dari sebuah berlian dari Mas Ariel. Aku baru menyadari kalau suamiku yang selalu mengajarkan cara bersikap yang baik sebagai istri, patuh terhadap suami, melaksanakan hak dan kewajiban sebagai istri, itu hanyalah kepalsuan belaka.
Satu persatu kebusukan Mas Ariel mulai terbongkar dan aku tidak mau menanggung semua dosanya.
Jika mereka pikir aku lemah, tak berdaya, lugu dan polos itu padahal itu semua semata-mata aku menghormati dan menyayangi mereka, namun ternyata kebaikkanku disalah gunakan.
Mereka memanfaatkan kepolosanku. Benar kata Ibu seharusnya aku jangan terlalu mencintai suamiku, sangat sakit rasanya, entah kapan luka di hati ini akan sembuh.
Bahkan jika sembuh masih ada bekasnya, dengan kejadian ini aku harus meluruskan apa yang harus diselesaikan.
Hari mulai gelap, tetapi Mas Ariel juga belum menjemputku di rumah Ibu, bahkan sudah ke lima kalinya aku menelpon Mas Ariel tetapi selalu nada sibuk, kirim pesan juga nggak dibalas padahal sudah terconteng dua garis.
"Ngapain saja sih Mas Ariel, kok nggak diangkat?" gerutuku.
Sepuluh menit, setengah jam dan akhirnya satu jam kemudian ponselku berbunyi dan ternyata Mas Ariel yang menelpon.
{Hallo, assalamualaikum, Mas, kok lama banget nelponnya?}
{ Walaikumsalam, Sayang maaf ya, tadi habis meeting langsung bertemu klien lagi sampai lupa deh mau jemput kamu}
{ Ya udah nggak apa-apa, terus ini sudah mau jemput atau belum }
{ Nah, itu Sayang, ini masih ada kerjaan lagi harus selesai malam ini, soalnya besok pagi orangnya mau bawa berkasnya }
{ Terus }
{ Jadi maaf ya Sayang terpaksa kamu tinggal di rumah ibu dulu, soalnya di rumah juga nggak ada siapa-siapa, uang lain juga belum pulang. Mas nelpon mamah katanya beliau mau nginap di rumah teman lamanya, kalau Mbak Sukma otomatia dia ikut Mas }
{ Oh gitu, ya udah nggak apa-apa, tapi besok jemput Arum kan? }
{ Iya Sayang, masa istri sendiri nggak di jemput, sih? }
{ Ya udah Sayang aku tutup dulu, nggak enak sama tamu. Assalamualaikum }
{ Walaikumsalam }
"Siapa tadi yang nelpon Rum, suamimu?"
"Iya Bu, katanya dia nggak bisa jemput malam ini, masih banyak kerjaan katanya, jadi dia suruh Arum dan Raina nginap di sini."
"Bagus deh, setidaknya kita masih bisa menyusun langkah pertama yang harus kita lakukan."
"Bagaimana kalau hari ini kita pasang sebagian, numpung mereka nggak ada di rumah. Ibu sudah suruh orang untuk mengintai rumahmu dan sudah ibu atur semuanya tinggal kamu pergi bersama mereka tempat mana saja yang mau di pasang," lanjut ibu dengan tersenyum sinis.
"Terima kasih ya Bu, sudah bantu Arum."
"Kamu itu anak Ibu satu-satunya, mana mungkin anak sendiri masuk lubang Ibu nggak tolong, ngawur saja," sahut Ibu dengan mencuil hidungku.
Namun aku masih bingung dengan wanita yang di miliki Mas Ariel. Wanita yang bersamanya di caffe tadi siang sangat berbeda dengan wanita yang bernama Lira yang kulihat dari foto kiriman temanku.
Aku masih penasaran, biasanya hanya ada satu orang yang akan menjadi pelakor, tapi kali ini berbeda ada dua wanita lain di hidup Mas Ariel selain diriku.
Inilah yang masih membingungkan di satu sisi Raina adalah anak dari Lira dan Mas Ariel, sedangkan wanita berhijab di caffe itu siapa?