Bab 8 Bertemu Mantan
Tuan Dhanu Mahendra telah mempercayakan perusahaan itu pada Arya. Tetapi, ternyata kemurahan hati beliau telah membuat menantunya itu buta hati.
"Seenaknya saja dia menganggapku orang tak berguna di hidupnya. Entah bagaimana dia sampai mengarang hal seperti itu dan menceritakannya pada ibu." Shanum kembali bermonolog sendiri. Ia masih tak habis pikir dengan kenyataan yang tiba-tiba menimpa hidupnya.
"Pa, Ma, tolong kuatkan aku untuk menghadapi mereka. Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Tolong bantu aku untuk menyingkirkan orang-orang tak tahu diri itu," pintanya sembari menatap pusara kedua orang tuanya secara bergantian.
Shanum mengusap dua nisan bertuliskan nama orang tuanya untuk terakhir kalinya. Dia telah merasa cukup untuk menumpahkan unek-uneknya pada mereka yang sudah berbeda ruang dan waktu.
Usai mengeluarkan seluruh keluh kesah yang menyesakkan di dalam dada. Shanum merasakan kelegaan. Meskipun, Papa dan Mamanya tak mungkin memberikan solusi. Namun, perasaannya jauh lebih baik kini, dengan meluapkannya saja, sudah cukup membuatku merasa lebih baik.
Shanum berdiri, waktunya berpamitan kepada kedua orang tuanya yang sudah beristirahat dengan tenang di sisi pencipta-Nya. Lantas ia kembali melangkahi jalan setapak menuju tempat parkir mobilnya.
"Shanum." Sebuah suara yang tak asing serta tepukan lembut di pundaknya, berhasil mengejutkan wanita cantik itu.
Ia terkesiap, seseorang itu suaranya amat sangat familier hingga membuatnya menebak-nebak siapa yang berada di belakangnya saat ini.
'Mas Zayn?' tebaknya dalam hati.
Shanum lantas segera menolehkan wajah ke sumber suara, menghentikan langkah kaki jenjangnya.
Sontak, ia terperangah kaget. Bagaimana tidak? Di hadapannya kini ada da seseorang yang sempat menjadi pemilik hati.
'Apa aku sedang bermimpi?' gumamnya dalam hati.
Sekian tahun tak berjumpa dengan Zayn, pria itu tampak seperti sedikit berubah. Shanum sungguh sama sekali tak menyangka bertemu dia di sini, di tempat ini. Dan entah apa yang sedang dia lakukan di sini?
"Mas Zayn," sapa Shanum masih setengah tak percaya. Ia terpelongo menatap sang mantan kekasihnya.
"Iya, Shanum. Ini aku." Pria itu menyahut sambil menyunggingkan senyumannya. Menampilkan geligi bersih dan rapi miliknya.
'Ah, itulah senyum yang amat sangat kurindukan. Itu juga senyum yang dulu membuatku terjatuh oleh pesonanya.' Shanum bergumam dalam hatinya lagi.
"Apa kabarmu, Sha?" tanya Zayn, sembari mengulurkan tangan pada Shanum.
Shanum sempat merasa ragu untuk menerima uluran tangannya. Bagaimanapun, hatinya pernah berdesir hangat karena pria itu, dulu.
"A–aku baik, Mas," sahutnya terbata. Akhirnya, Shanum hanya menempelkan telapak tangannya sebentar setelah berpikir cukup lama. Sekadar untuk memberi kesan menghargai.
"Syukurlah," sahut Zayn, lagi-lagi dengan senyumnya yang selalu menjadi candu bagi Shanum.
"Kamu sendiri gimana, Mas?" tanya Shanum berbasa-basi.
"Baik juga. Lebih baik lagi saat bertemu denganmu." Zayn mengerling ke arah Shanum, menggodanya. Wanita itu hanya tersenyum tipis membalasnya.
"Kamu pasti habis mengunjungi makam orang tuamu ya, Sha," tebak pria itu yang memang tepat sasaran.
"Iya, benar Mas." Shanum menjawab cepat, sambil menganggukkan kepalanya.
"Mas Zayn sendiri di sini ada keperluan apa?" tanya Shanum kembali berbasa-basi, juga sedikit penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Zayn di tempat ini. Padahal seingat Shanum, kedua orang tua Zayn masih hidup.
"Oh, itu … Aku hanya mengunjungi dua orang yang kusayang juga di sini." Zayn membalas jujur dan apa adanya.
Shanum hanya membulatkan kedua bibirnya, dan tak bertanya lebih jauh lagi. Setidaknya, dia sudah tahu siapa yang dimaksud oleh Zayn.
"Permisi, Mas. Aku duluan ya," ucap Shanum berpamitan usai melihat ke jam tangannya.
"Ah, iya. Gimana kalau kita bareng saja?" tawar Zayn ramah.
Shanum tak menolak, tepatnya tak punya alasan tepat untuk menolak ajakan Zayn. Lantas keduanya berjalan beriringan menuju tempat parkir mobil. Jantung Shanum terasa berpacu dengan cepat, ia seakan dapat mendengar detakan jantungnya di setiap langkah.
Berjalan bersama dengan sang mantan tak ayal mampu membangkitkan memori indah yang telah lampau.
Tidak ada obrolan lagi setelahnya. Mereka berjalan dalam keheningan hingga sampai di tempat parkir. Keduanya mengeluarkan suara secara bersamaan.
"Sha."
"Mas."
"Eh, kamu mau ngomong apa, Sha?" tanya Zayn yang heran karena keduanya membuka suara di saat yang sama.
'Duh! Aku kok jadi ngeblank mau ngomong apa tadi,' keluh Shanum dalam hatinya.
"E–ehh … itu, nggak apa-apa, Mas. Lupa tadi mau ngomong apa, hehe." Shanum menyahut sambil terkekeh kecil untuk menutupi kegugupannya.
"Duh, kamu masih sama aja ya kayak dulu. Pelupa!" cetusnya lalu dengan refleks mengacak rambut Shanum.
Deg!
Kebiasaan itulah yang sering dilakukan Zayn dulu. Shanum menengadahkan wajahnya, menatap bola mata pria itu dengan perasaan yang entah, sulit dijabarkan dengan kata-kata.
"Ma–Maaf, Sha. Aku benar-benar refleks tadi, aku nggak bermaksud kurang ajar sama kamu," kata Zayn dengan raut wajah merasa tak enak. Seperti merasa bersalah.
"Iya, Mas. Ya sudah, aku mau pulang dulu, Mas," sahut Shanum, yang diam-diam masih menenangkan degup jantungnya yang tiba-tiba tak beraturan.
"Sha, suamimu mana?" tanya Zayn tiba-tiba hingga membuat Shanum membeku.
Pertanyaan Zayn sanggup menghentikan langkahnya yang bersiap untuk masuk ke mobil.
"Suamiku sedang sibuk, Mas," jawab Shanum singkat sambil berusaha bersikap biasa saja di hadapan mantannya itu.
"Ya sudah, hati-hati nyetir mobilnya, Sha." Zayn tak lagi melempar pertanyaan, lalu ia juga masuk ke dalam mobil BMW miliknya.
Mereka berdua berpisah, menuju ke arah yang berlawanan. Shanum masih merasa seperti mimpi, bisa dipertemukan lagi dengan Zayn tadi. Ia bahkan sempat mencubit kecil tangannya, dan mengaduh kesakitan. Ia pun yakin kalau pertemuan tadi bukanlah mimpi maupun fatamorgana.
"Jangan baper, Shanum! Mas Zayn pasti sudah punya istri dan anak." Shanum mengingatkan dirinya sendiri agar sadar dari kehaluannya.
"Tapi, aku kok nggak lihat istri dan anaknya. Dan lagi, untuk apa Mas Zayn ke tempat pemakaman ini? Apakah salah satu orang tuanya tiada?" Shanum masih bertanya-tanya tentang Zayn. Entah mengapa pikirannya dipenuhi oleh sosok Zayn lagi, yang telah sekian lama tak ditemuinya itu.
Setelah Shanum menikah, memang dia sempat mendengar kabar jika beberapa bulan setelahnya Zayn juga menikah. Ia lalu pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya. Membawa serta istrinya.
Mungkin itulah yang membuat Tuan Dhanu ngotot menikahkan Shanum dengan Arya. Zayn masih ingin mengejar ambisinya untuk meneruskan pendidikan hukumnya di luar negeri.
Dan tentunya juga Zayn akan membawa Shanum serta jika saja dia sudah sah menikah dengannya.
Shanum yang seorang anak tunggal bagi kedua orang tuanya tentu tak diizinkan untuk tinggal jauh dari mereka. Maka dari itu Tuan Dhanu memilihkan jodoh untuk putrinya, dan itu adalah Arya.
Namun, jodoh, maut, dan rezeki adalah rahasia Allah. Shanum tak menyangka jika jodohnya dengan Arya hanya akan sampai di sini. Wanita itu terus menegarkan hatinya, sepanjang perjalanan pulang ke rumah.
"Aku harus secepatnya mengusir mereka," ucap Shanum, sambil mempercepat laju mobilnya.
Di tengah perjalanan, ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Shanum melihat nama si penelpon dan langsung menggeser ikon hijau untuk menerima panggilan itu.
"Halo, Shela? Ada apa?"
***