Bab 2 Kemampuan Khusus
Sinar matahari masuk melalui jendela, Erick pun terbangun. Tubuhnya masih terasa lemas akibat kejadian kemarin.
Terdengar suara air mengucur di toilet. 'Duh lupa...' Erick menyeret tubuhnya turun dari ranjang, masuk ke toilet dan menutup kran yang menyala. Detik berikutnya, tubuhnya terpaku melihat bayangannya di kaca.
'Loh mana perbannya!? Ehhhhh... kok... loh mata kiriku kok bisa dibuka!?' Erick tiba tiba teringat kejadian semalam. 'Hah jadi itu bukan mimpi...' Dia mendekatkan wajahnya ke kaca. Mata kirinya masih perih saat dibelalakan atau disentuh, namun Erick bisa melihat jelas. Erick tidak tahu apa yang terjadi tapi matanya sekarang tidak apa apa!
"MATAKU SEMBUH! MATAKU TIDAK JADI BUTA! YESSSSSS HAHAHA!" Soraknya sembari loncat loncat kegirangan.
"DUH! Kenapa perbannya malah dilepas?!" tanya perawat dengan galak. "Kamu sudah gila, ya? Sudah tidak mau sembuh atau bagaimana?"
Erick kaget mendengar suara sang suster. Dia tidak sadar dokter dan perawat sudah masuk ke kamarnya.
"Kamu boleh pergi kalau tidak mau menuruti saran dokter." Dokter itu melanjutkan datar sambil membaca laporan di tangannya. "Dengar tidak?"
Tiba tiba mata kirinya berkedut, pandangannya tertuju pada perawat yang barusan masuk. Erick dapat melihat jelas lekuk tubuh perawat yang indah dan montok, seolah olah dia tidak mengenakan pakaian. Pemandangan itu membuat Erick kaget bukan main, namun sirna dalam sekejap. Sekarang yang terlihat hanya perawat berseragam lengkap di hadapannya.
"Wah... apa itu barusan?" Mata Erick terbelalak saking tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Hei, diajak ngomong kok diam saja, kenapa kamu?" tanya sang perawat kesal.
"A... ada apa dengan mata kirimu?!" ujar sang dokter terkejut melihat mata kiri Erick. Mulut sang perawat pun ternganga saat sadar akan apa yang dilihat sang dokter. Keduanya melihat Erick seolah olah sedang melihat makhluk aneh.
Erick tersenyum menyeringai, "Mataku sudah sembuh. Aku mau pulang sekarang."
Orang yang paling terkejut adalah sang dokter, sebenarnya dia sudah menyimpulkan kalau mata kiri Erick pasti akan buta. Satu satunya alasan kenapa dia berkata kalau dia masih bisa mengembalikan penglihatan Erick adalah karena dia mau meraup keuntungan dari biaya pengobatan mata Erick. Namun harapannya pupus begitu saja. Mungkin cuma Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mata Erick.
Erick dibolehkan pulang dari rumah sakit satu jam kemudian. Dua puluh juta yang dititipkan Husea hanya terpakai dua juta, sehingga sisa uangnya bisa dia ambil.
Erick tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Dua lantai, tiga kamar tidur dan satu ruang tamu. Setiap ruangannya begitu sempit. Tidak ada perabotan atau barang berharga di rumahnya, kebanyakan sudah berumur tahunan dan ketinggalan zaman. Namun, barang barang tersebut yang membawa ketenangan bagi Erick, karena dipenuhi kenangan orang tuanya.
Erick merasa lebih tenang setelah Kembali ke rumah. 'Sebenarnya apa yang terjadi? Benar benar bagaikan mimpi...' Erick kembali memikirkan apa yang terjadi di rumah sakit. Dia ingin menginginkan jawaban tapi tidak tahu harus mencari di mana.
"Erick! Erick!" Terdengar suara seorang wanita dari lantai bawah. Erick tersadar dari lamunannya, berjalan ke balkon dan menengok ke bawah.
Seorang polwan muda menatap Erick dari lantai bawah. Parasnya yang rupawan, kerah bajunya yang terbuka menunjukkan kulitnya yang putih. Pemandangan yang sangat indah dan menggoda. Dia adalah Ruki Flowian, hubungannya dengan Erick sangat baik karena mereka adalah tetangga dan teman masa kecil.
"Eh Ruki, ada apa mencariku?" sapa Erick sambil tersenyum.
"Erick boleh tolong bantu aku mengganti air galon? Tanganku terluka, jadi aku tidak mampu mengangkatnya," kata Ruki.
"OK, aku segera turun."
Setelah turun ke lantai bawah, seberkas cahaya matahari menyinari mata kiri Erick, seketika matanya terasa sakit seperti ditusuk jarum. Pandangannya tiba tiba menjadi gelap dan dia tidak bisa melihat apa pun. Erick panik sesaat, tapi mata kirinya mendadak bisa melihat lagi.
Tepat pada saat ini, sosok Ruki yang tidak begitu jauh itu tiba tiba 'diperbesar' oleh mata kiri Erick, baju Ruki seolah olah terbuat dari kain kasa tembus pandang, lekukan tubuh Ruki yang indah itu pun terpampang di depan mata Erick. Dalam sekejap, pemandangan tembus pandang tersebut sirna begitu saja. Erick yang tidak pernah mengalami hal seperti itu pun langsung terbengong, percikan api di dalam hatinya langsung membara.
'A... ada apa ini? Padahal Ruki berpakaian, tapi dalam pandangan mata kiriku dia telanjang. Apa ini semua efek terkena lampu busur?' Erick masih merasa takjub. Bukannya jadi buta akibat kecelakaan itu, mata kirinya malah memiliki 'kemampuan' baru. Benar benar "habis gelap terbitlah terang".
"Erick? Erick! Kamu tidak apa apa?" Ruki merasa gelagat Erick sangat aneh, terutama saat memandang dirinya.
"Oh? Tidak apa apa. Aku tidak apa apa,” jawab Erick grogi.
"Kenapa kamu begitu tidak fokus hari ini?" Ruki bertanya sambil bercanda, "Lagi jatuh cinta ya?"
Erick tersenyum, "Hidupku susah begini, mana mungkin ada yang mau pacaran denganku?"
Ruki berkata, "Eihh, jangan rendah diri dong. Kamu itu orang yang baik, pasti ada wanita yang menyukaimu."
Disertai canda tawa, Erick sekarang menjadi lebih santai. Mata kirinya kembali berkedut, dia sontak memandang tembus pakaian Ruki. Kali ini jaraknya lebih dekat, dia hampir mimisan, celananya pun terlihat jelas menegang.
Akhirnya Erick tahu cara mengontrol pandangan tembus pandangnya. Nafsu merupakan kunci "Buka/Tutup" kemampuan tersebut. Asalkan dia memiliki nafsu untuk melihat tembus akan sasaran tertentu, maka pandangan tembus pandang nya akan otomatis aktif.
Di rumah Ruki, setelah mengangkat air galon ke dispenser, Erick tiba tiba merasa pusing, badannya terasa lemas dan tidak bertenaga.
Erick berkata dalam hati, 'Duh aku ini kenapa sih? Seperti orang tidak tidur tidak makan saja. Apa ini berkaitan dengan
kemampuan tembus pandangku? Sepertinya aku harus mengontrolnya dengan baik.'
Ruki menghampiri Erick. "Terima kasih Erick! Nih, silakan diminum."
Saat Erick menoleh ke arah Ruki, hal aneh terjadi. Kali ini, dia melihat Ruki berpakaian bikini merah sembari tersenyum cerah, bahkan ekspresinya lebih menawan dibanding artis Korea.
"Kamu...." Erick sontak tercengang.
"Aku kenapa? Ambil dong minumannya," ujar Ruki sembari menyodorkan minuman ke Erick.
Erick menatap tangan Ruki sambil mundur selangkah dengan muka terkejut. Dalam penglihatannya itu bukan sebotol minuman, melainkan sebuah bungkusan persegi kecil berwarna...
Jelas jelas itu bukan kenyataan, tapi memang itulah yang Erick lihat. Tidak hanya itu, dalam pikirannya muncul sebuah ilusi: Ruki menyobek bungkusan itu, lalu memasangkan 'isinya' pada Erick....
"Erick, kamu kenapa?" Tanya Ruki penasaran.
Suara Ruki menyadarkan Erick. Dia menggelengkan kepalanya lalu ilusi di depan mata pun menghilang. Kedua kakinya tiba tiba menjadi lemas, dia lalu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke pelukan Ruki.
Badan Ruki yang wangi membuatnya terpukau. Yang lebih parahnya, bibir Erick pun ikut menempel di pipi Ruki. Pipinya terasa lembut, seperti bolu vanila.
Ruki kaget setengah mati, mukanya sontak memerah. Dia bergegas mundur, tapi tidak bisa lepas dari sandaran Erick. Minuman di tangannya pun hampir jatuh.
"ERICK! KAMU NGAPAIN SIH?!" Emosi Ruki pun naik.
Erick segera mundur dengan muka yang merah, "Maaf... aku...aku tersandung."
"Kamu pasti sengaja, 'kan!" Tatapan Ruki dipenuhi rasa malu dan kemarahan.
Erick menjawab dengan canggung, "Tidak, bukan, itu... maaf, aku tidak sengaja."
Sekarang Erick mengerti bahwa menggunakan penglihatan tembus pandang akan menguras energinya, makanya bisa muncul ilusi seperti itu.
"Kamu benar benar aneh hari ini, Erick." Ruki tidak puas dengan penjelasan Erick.
"Maaf ya. Kalau tidak ada hal lain, aku pulang dulu ya. Lain kali kalau mau ganti air galon panggil aku saja." Erick tidak berani tinggal lama lama di situ.
"Terima kasih ya," Kata Ruki datar mengantar Erick keluar pintu.
Erick tersenyum sambil berkata, "Tidak usah repot repot mengantar lah, kita kan bukan baru kenal kemarin juga."
Ruki menambahkan, "Kalau begitu sebagai teman lama, boleh aku kasih saran? Kamu carilah pekerjaan tetap, jangan bekerja di tempat konstruksi lagi."
Erick tersenyum pahit sambil menganggukkan kepala, lalu bergegas pergi.
Siapa tidak ingin hidup lebih baik? Tinggal di rumah besar, mengendarai mobil mewah, dihormati orang, tidak dipandang rendah. Masalahnya semua itu butuh uang.
'Sisa delapan belas juta yang diberikan Husea cukup untuk biaya sekolah adikku. Namun biaya asrama dan biaya hidup juga tidak sedikit, aku masih harus menyiapkan setidaknya dua puluh dua juta. Uang dari mana ya?' Erick sakit kepala setiap kali memikirkan uang.
Erick berjalan keluar komplek perumahan. Mobil mobil dan orang orang berlalu lalang di jalan, hiruk pikuk kehidupan di kota Haviar.
Melihat semua itu tiba tiba muncul ide dalam benak Erick, dia memalingkan kepalanya ke arah sebuah tempat sembari tersenyum. Di dalam hatinya terdapat sebuah rencana besar...