Bab 11 Fabian, Aku Takut
Seluruh area penggusuran gelap gulita, hanya rumah kecil itu yang terang benderang.
Dari jendela, bisa terlihat dua sosok gadis sedang sibuk.
Melihat hal ini, aura negatif yang menyelimuti Fabian langsung lenyap. Muncul kelembutan di tatapan matanya.
Dia mempercepat langkahnya, lalu masuk ke rumah. Dia melihat adiknya dan Sierra sedang sibuk memasak makan malam dengan penampilan berantakan.
"Ahh! Kenapa kamu pulang begitu cepat? Tidak boleh lihat!"
Melihat Fabian pulang, Sierra sangat panik dan buru-buru menggunakan tubuhnya untuk menutupi panci berisi makanan yang hitam pekat itu.
Sebaliknya, Yoana malah terlihat santai.
Dia memegang piring berisi semur ikan yang dihiasi dengan daun bawang. Makanan itu sangat harum dan masih panas, terlihat sangat lezat.
"Apa butuh bantuanku?" tanya Fabian sambil tersenyum.
"Keluarlah, butuh bantuan apa? Kamu cukup jangan mengganggu di sini!"
Sierra mendorong Fabian keluar.
"Bantu aku bawa ikan ini keluar. Setelah satu masakan lagi selesai, kita sudah bisa makan."
Yoana menyerahkan semur ikan itu pada Fabian.
Fabian mengambil semur ikan itu, lalu sengaja melihat makanan di belakang Sierra.
Dia bertanya, "Apa mau membawa keluar makanan wijen hitammu itu?"
"Itu semur iga, bukan makanan wijen hitam! Aku masih perlu memanaskannya lagi. Kamu bawalah ikan itu keluar dulu."
Sierra terlihat sangat kesal.
Fabian menaikkan alisnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya keluar dari dapur sambil membawa hidangan ikan itu.
Dengan cepat, makan malam sudah siap.
Tiga hidangan dan satu sup, yaitu semur ikan, semur iga hitam, tumis sayuran hijau, dan sup telur rumput laut.
Ini masakan rumahan biasa, tapi Fabian malah belum pernah memakannya selama sepuluh tahun ini.
"Sierra, apa kamu menambahkan saus rahasia ke iga hitam ini?"
Fabian mengambil sepotong iga, lalu berkata dengan nada mengejek.
"Pufttt ...."
Yoana tak bisa menahan tawa. Kemudian, dia merasa tidak enak hati, maka menatap Sierra dengan merasa bersalah.
Wajah Sierra memerah, dia merasa sangat malu hingga marah.
"Saat makan, untuk apa kamu banyak bicara? Meski semur iga ini tidak terlihat enak, tapi sebenarnya rasanya sangat lezat!"
"Benarkah?"
Fabian memakan iga itu dan mengunyahnya pelan-pelan, lalu mengangguk.
"Memang enak."
"Benarkah?" tanya Sierra tanpa sadar.
"Ya, rasanya enak."
Fabian memberikan jawaban yang meyakinkan.
Mendengar hal ini, Sierra terlihat curiga.
Dia merasa Fabian sengaja berkata seperti itu agar dirinya juga makan satu, lalu mengejeknya.
Meski Sierra bilang iga ini enak, tapi dia tahu bahwa iga ini pasti tidak enak.
"Benar-benar enak, aku tidak membohongimu."
Fabian mengambil beberapa potong iga lagi, lalu memakannya.
Melihat hal ini, Sierra dan Yoana saling memandang. Kemudian, mereka juga mengambil sepotong iga secara bersamaan.
Namun, begitu makan sesuap, mereka langsung memuntahkannya.
"Uhhhh, kamu berbohong. Ini sangat tidak enak!"
Sierra terlihat sangat marah, berpikir bahwa Fabian sudah membohonginya.
Yoana juga menggelengkan kepalanya, terlihat sangat kesal.
"Benarkah? Aku merasa ini cukup enak, jauh lebih enak dari makanan yang aku makan sebelumnya," jawab Fabian sambil tersenyum.
"Apa yang kamu makan sebelumnya?" tanya Sierra dengan penasaran.
Fabian berpikir sejenak, lalu menjawab, "Aku memakan semua yang bisa dimakan."
Mendengar hal ini, hati Yoana bergetar, matanya juga perlahan-lahan memerah.
Namun, dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menunduk dan mulai makan.
Sierra merasa suasana menjadi sedikit aneh, maka dia juga tidak bicara.
...
Saat pukul delapan malam lebih, Sierra berpamitan sambil tersenyum ceria. Dia pergi dengan mengendarai mobil kecilnya yang berwarna pink.
Di dalam rumah tua itu, hanya tersisa Yoana dan Fabian.
Fabian berinisiatif membawa peralatan makan ke dapur untuk mencucinya. Namun, dia menyadari bahwa adiknya terus menatapnya.
Teringat kejadian semalam, Fabian pun mendesah dalam hati.
Namun, dia tetap berkata sambil tersenyum, "Tenang saja, setelah mencuci peralatan makan, aku akan keluar. Tanpa izin darimu, aku tidak akan bermalam di rumah."
"Ini juga rumahmu. Kamu tidak perlu pergi," kata Yoana sambil menggelengkan kepala.
Dia berkata lagi, "Fabian, aku merasa kita perlu bicara baik-baik."
"Apa yang ingin kamu ketahui?"
"Sepuluh tahun yang lalu, kamu bilang mau menemui pacarmu. Lalu, kamu pergi dan tak pernah kembali lagi. Selama sepuluh tahun ini, sebenarnya apa yang kamu lakukan? Apa kamu terus bersama wanita bernama Ivory itu?" tanya Yoana.
Fabian berpikir sejenak, lalu berkata, "Aku dipaksa melatih diri hingga menjadi abadi seperti dewa."
Mendengar hal ini, Yoana penuh kekecewaan.
Dia berkata, "Fabian, sampai sekarang kamu masih mau menyembunyikannya dariku? Masih mau membohongiku? Aku mengira kamu punya kesulitan tersendiri!"
Fabian mengulurkan tangan kanannya, lalu seberkas api muncul di telapak tangannya.
"Ini api spiritual yang dihasilkan oleh pembakaran energi spiritual. Suhu titik pusatnya mencapai ribuan derajat. Bisa dikatakan bahwa api ini sanggup membakar 99% benda di bumi ini dengan mudah."
"Yoana, mengenai melatih diri menjadi abadi seperti dewa, sebenarnya aku tahu kamu sulit menerima hal itu. Namun, itu sungguh ada. Kelak aku akan mengajarimu."
"Sepuluh tahun yang lalu, aku dibawa pergi oleh seorang ahli yang sangat kuat. Dia memaksaku melatih diri menjadi dewa. Sepuluh tahun kemudian, dia meninggal. Aku pun baru bisa kembali."
"Sejujurnya, aku merasa sangat bersalah pada kamu, Ayah, dan Ibu. Jadi, tak peduli bagaimanapun kamu menyalahkanku, aku tidak akan marah. Karena aku tahu kamu juga merasa sangat getir."
"Kak ... jangan bicara lagi!"
Tiba-tiba Yoana menutup mulutnya, air matanya mengalir keluar.
Meski masalah melatih diri menjadi abadi seperti dewa adalah hal yang sangat mengejutkan, tapi akhirnya dia memilih untuk percaya.
Mungkin baginya, kebenaran hal itu tidaklah penting.
Dia hanya membutuhkan sebuah alasan untuk memaafkan kakaknya.
Sebelumnya, sikapnya begitu kasar, itu karena bertahun-tahun ini hidupnya sangat menderita, maka hatinya merasa sangat getir. Jadi, saat melihat kakaknya kembali, dia pun meluapkan segala emosinya.
Sekarang setelah api amarah di hatinya hilang, dia menyadari bahwa kakaknya masih sama seperti dulu, tidak pernah berubah.
"Tadi kamu ... panggil aku apa?"
Suara Fabian sedikit bergetar.
"Kakak ... aku memanggilmu kakak! Aku sudah salah paham pada Kakak. Aku bersikap kasar dan tidak rasional. Kakak!!!"
Yoana tak bisa menahan diri lagi, dia langsung memeluk Fabian dan menangis tersedu-sedu.
Saat ini, segala kegetiran dan kesedihan mel berubah menjadi air mata yang membasahi dada Fabian.
Fabian menepuk punggung adiknya dengan lembut, matanya juga sedikit memerah.
Mereka terus seperti itu sampai larut malam.
Suara tangisan Yoana perlahan-lahan berhenti.
Setelah menangis tersedu-sedu, dia tertidur di pelukan kakaknya. Dia tidur sangat nyenyak dan tenang.
Sejak orang tua mereka meninggal delapan tahun yang lalu, ini pertama kalinya dia tidur begitu nyenyak.
"Tidurlah! Mulai sekarang, tak akan ada orang yang berani menindasmu lagi. Siapa pun yang berani menindasmu, Kakak tidak akan mengampuninya!"
Fabian membaringkan adiknya di ranjang dengan lembut, tatapannya penuh kasih sayang.
...
Saat larut malam.
Fabian keluar melihat bintang-bintang di langit, terlihat sedikit sedih.
Tadi setelah Yoana mengungkitnya, wanita yang selalu ada dalam pikirannya itu muncul lagi dalam benaknya.
Wajahnya yang selalu tersenyum.
Gadis lucu yang selalu melompat-lompat di depannya.
Fabian mengira dirinya bisa melepaskan. Namun, saat ini dia menyadari bahwa dirinya sama sekali tak bisa melupakannya.
Berpikir seperti itu, akhirnya dia mengambil ponsel barunya, lalu masuk ke akun media sosial yang tidak dia masuki selama sepuluh tahun ini.
Begitu dia masuk ke akunnya, berbagai pesan muncul.
Ada pesan dari teman sekelas, sahabat baiknya dulu, juga ada pesan dari Ivory.
Fabian melihat-lihat.
Sebagian besar pesan itu dikirim sepuluh tahun yang lalu!
Teman sekelas dan sahabatnya bertanya, ke mana dia pergi?
Mengapa langsung menghilang begitu lulus kuliah?
Apa dia menjadi kaya raya, maka tidak memedulikan teman lamanya lagi?
Ada juga beberapa orang yang mencarinya untuk meminjam uang.
Karena dia tak membalas pesan, maka diblokir.
Ivory juga mengirim banyak pesan. Di mana dia? Apa dia masih akan menikahinya?
"Fabian, jika kamu tidak datang, ayahku akan menikahkanku dengan orang lain."
"Fabian, balas pesanku. Aku takut."
Pesan terakhir adalah tiga tahun yang lalu. "Fabian, aku sungguh menyesal sudah mengenalmu!"
Melihat pesan-pesan ini, hati Fabian sungguh sedih.
Dia beberapa kali mengetik, berniat membalas pesan itu. Namun, akhirnya dia tidak mengirim apa-apa.
Bertahun-tahun sudah berlalu.
Apa gunanya membalas pesan sekarang?
Itu hanya akan mengganggu kehidupan Ivory yang akhirnya tenang.
Setelah menenangkan perasaannya, Fabian diam-diam masuk ke akun milik Ivory.
Di dalamnya, Fabian melihat beberapa foto Ivory. Ada beberapa foto Ivory sendirian, tapi lebih banyak foto dia bersama seorang gadis kecil berusia 5-6 tahun.
Gadis kecil ini pasti putri Ivory, ‘kan?
Dalam foto itu, wajah Ivory terlihat jauh lebih tua. Kelihatannya hidupnya tidak seperti yang diharapkan. Dia sudah bukan gadis yang ceria, polos, menggemaskan seperti dulu!
"Ivory ...."
Fabian menggenggam erat ponselnya, merasa sangat sedih hingga sulit bernapas.
Dia benar-benar sangat mencintai wanita ini. Namun, apa gunanya?
Sepuluh tahun!
Sudah sepuluh tahun berlalu!
Dalam hidup seseorang, ada berapa banyak 10 tahun?
"Aku beruntung bisa bertemu denganmu. Meski tidak berakhir bahagia, ini juga cinta!"
"Ivory, aku berharap kelak kamu bahagia!"
Di bawah sinar bulan, bayangan Fabian terlihat sangat hancur dan sedih.
Meski mereka berdua tidak mungkin bersama lagi, tapi Fabian tetap memutuskan untuk menunggu sampai urusan kuliah Yoana selesai, lalu pergi ke Kota Yogasa untuk mencari Ivory.
Memberi Ivory sejumlah uang yang tak akan pernah habis seumur hidup, itu satu-satunya hal yang bisa Fabian lakukan!
...
Di saat bersamaan.
Seorang pria paruh baya muncul di depan vila yang dihancurkan itu.
Pria itu memiliki wajah panjang, hidung akuilinus, dan wajahnya terlihat sangat menyeramkan. Dia memberikan kesan sulit didekati.
"Caranya sangat hebat. Apa ini diledakkan dengan bom? Siapa yang berani menyentuh anggota Klub Santrice-ku?"
Melihat pemandangan di depannya, ekspresi pria paruh baya itu sangat dingin.
Kemudian, dia mengambil ponselnya dan menelepon. Panggilan segera diangkat.
"Tuan Trevor, Tigris sudah mati. Vila tempat dia tinggal juga dihancurkan oleh bom, diperkirakan seluruh pasukannya musnah."
Begitu ucapan itu dilontarkan, lawan bicara terdiam untuk waktu yang lama.
"Adith, aku ingat Tigris memasang kamera pengawas tersembunyi di pohon beringin di sebelah kanan vilanya. Periksalah apa ada petunjuk!"
Mendengar hal ini, Adith segera melihat sekeliling. Dia melihat sebuah pohon beringin, lalu menemukan kamera tersembunyi itu.
Dia pun menonton hasil rekaman.
Dalam rekaman itu, muncul seorang pemuda berambut panjang dengan ekspresi muram.
Hanya terlihat pemuda itu mengibaskan tangannya, seluruh vila pun hancur. Kemudian, pemuda itu keluar dari jangkauan kamera pengawas.
"Benar, dia menggunakan bom untuk meledakkan vila!"
Adith menyipitkan matanya.
Tentu saja, dia tak mungkin berpikir pemuda itu bisa menghancurkan vila hanya dengan mengibaskan tangannya.
Dia mengira pemuda itu memegang tombol peledak di tangannya. Gerakan tangannya itu untuk menekan tombol itu.
"Bagaimana?"
"Ini ulah seorang pemuda berambut panjang! Dia mengubur bom di sekitar vila, lalu meledakkan seluruh vila!"
"Bagus, cepat periksa identitasnya! Aku ingin lihat siapa yang berani menyentuh orang-orangku!"
"Baik, Tuan Trevor!"