Bab 7 Kecurigaan Elena
Alex selalu bisa mengintimidasi Elena di saat-saat genting. Elena sudah siap membuka mulut untuk membantah perintah Alex, tapi pria itu sudah menaiki anak tangga satu-persatu dengan langkah yang tegap meski pelan. Elena bisa melihat punggung Alex yang lebar dan kekar. Sial! Umpat Elena dalam hati.
“Nyonya Elena?” panggil Vero, mendekati Elena yang masih diam sambil menggigit bibir geram. “Apa saya perlu menyiapkan sesuatu?” Sepertinya kepala pelayan itu mendengar perintah Alex pada Elena.
Elena menggeleng cepat. Tanpa bilang apapun pada Vero, dia melangkah. Selama Latham belum stabil, Elena akan mencoba untuk menahan diri. Posisinya tidak diuntungkan jika dia berani melawan Alex sekarang.
Sesampainya di kamar pengantin, Elena menoleh ke berbagai sudut kamar besar itu untuk mencari sosok Alex. Bahkan di sofa besar—tempat biasa Alex merokok pun juga tidak ada.
“Sepertinya kamu tidak membaca peraturanku dengan teliti,” ucap Alex.
Dia berdiri di dekat jendela besar kamar itu, seperti baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang hitam masih basah, membasahi bahunya yang lebar. Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan memantulkan kilauan di kulitnya, membuat Alex terlihat lebih gagah dan misterius.
“Peraturan apa?” Suara Elena menyalak, persis anjing galak.
“Aku tidak suka kekacauan. Tidak boleh ada orang yang meninggikan suaranya di depan Sophia,” Alex melirik Elena dengan ujung matanya yang lancip. “Aku yakin David sudah menulis semuanya dengan rinci. Aku sudah mengeceknya sendiri,”
Pria gila! Umpat Elena dalam hati. Bisa-bisanya Alex membuat peraturan tertulis pada wanita yang dinikahinya—penuh paksaan.
“A-aku tidak peduli,” Elena mencoba untuk berani. “Posisiku tidak bersalah. Anakmu yang lebih dulu menyerangku,” Elena maju dua langkah, agar bisa berhadapan dekat dengan Alex. “Dan juga, aku tidak pernah setuju untuk menjadi ibu dari anakmu. Kamu sama saja menipuku karena tidak bilang kalau kamu punya anak,”
“Ibumu tahu, Elena Morgan,” Alex memandang Elena tajam dan dingin. Seakan pria itu bisa menusuk jantung Elena dengan mata hijaunya. Tiba-tiba dia berjalan pelan, dan kini jaraknya dengan Elena hanya beberapa jengkal. “Belajarlah untuk mencari tahu segala informasi tentang musuhmu sebelum berperang,” bisik Alex.
Kata-kata Alex seperti racun yang mengalir melalui telinga dan langsung menuju ke hati Elena. Seolah udara di sekitarnya semakin menipis. Elena benar-benar tidak tahu apa-apa tentang orang yang sekarang menjadi suaminya itu.
“Sekarang kamu diam, eh?” ejek Alex. Namun wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi.
Alex menarik pinggang Elena agar semakin dekat dengannya. “Kenapa kamu mendadak diam, setelah memakiku tadi?”
Nafas Elena menderu. Merasakan sensasi aneh yang menyenangkan ketika tangan Alex menyentuh pinggangnya. Namun di satu sisi, ada dorongan hatinya untuk menantang Alex.
“Tabitha Hill,” ucap Elena lantang.
Alex berhenti sejenak, alisnya terangkat sedikit mendengar nama itu. Senyum tipis muncul di sudut bibir, sementara mata hijaunya tetap terpaku pada Elena. Namun, Elena bisa merasakan ketegangan yang mulai muncul. Dia yakin telah berhasil menyentuh titik sensitif Alex dan dia siap menghadapi konsekuensinya.
“Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Tabitha Hill?” Nada suara Elena tajam, berusaha tidak menunjukkan sisi lemah meski ada perasaan takut.
“Jadi, kamu ingin tahu semuanya? Tentang pernikahan kami, dan kenapa semuanya berakhir," Suara Alex terdengar rendah, hampir seperti bisikan yang menggoda Elena.
Alex bergerak lebih dekat lagi, hingga Elena bisa merasakan setiap tarikan napas Alex di wajahnya. "Tapi, kamu harus siap dengan apa yang akan kamu temukan. Terkadang, lebih baik tidak tahu apa-apa,”
Elena merasa darahnya mendidih. Dia tahu, berada di dekat Alex seperti bermain dengan api, tetapi dia tidak bisa mundur sekarang. Tidak, demi harga dirinya.
Pandangan Alex yang tadinya menggoda kini menjadi dingin dan keras, seperti es yang tidak bisa ditembus. Dengan satu gerakan cepat, dia menarik tubuh Elena lebih dekat. Dan sebelum Elena bisa bereaksi, Alex mendorong mundur tubuh Elena hingga wanita itu terjatuh di atas ranjang.
Elena sampai terengah-engah karena tidak siap. Apalagi kini tubuh Alex menindihnya, sama sekali tidak memberi kesempatan pada Elena untuk bergerak.
"Jika kamu berpikir bisa melawanku dan mencari tahu hal yang tidak seharusnya kamu tahu, pikirkan lagi, Elena Morgan. Latham Holdings akan hancur dalam sekejap," ucap Alex dengan suara rendah.
Elena menelan ludah. “Aku tidak akan berhenti sebelum aku tahu,” balas Elena. “Pasti ada alasan, kenapa Tabitha memperingatkanku malam itu,”
Alex tersenyum dingin. Lantas mengecup kening Elena. “Kamu memang keras kepala,” gumamnya. “Sayangnya, kamu tidak tahu dengan siapa kamu berurusan,”
“Lepaskan aku!” seru Elena.
“Tidak, Sayang. Tidak akan,” bisik Alex lagi. “Kamu harus menjadi istri yang patuh,” Alex mulai menelusuri setiap sudut tubuh Elena dengan lidahnya.
Elena bersuara lirih, namun sebisa mungkin dia tahan. Elena hanya tidak ingin Alex merasa senang karena bisa membuatnya melayang—setidaknya untuk malam ini. Elena tidak ingin menjadi istri yang patuh malam ini.
“Alex, buka pintunya!”
Seseorang menggedor pintu kamar pengantin itu dengan begitu keras dan berulang kali. Alex terpaksa menghentikan kegiatannya. Ada kilatan marah di balik mata hijaunya.
Ketika Alex membuka pintu, seorang pria dengan mata lebar dan rambut coklat ikal berdiri kesal memandang Alex. Wajahnya tampak lebih muda, namun ekspresinya bengal luar biasa.
“Apa maumu?”
Pria itu melongok ke dalam. Namun Alex secepat mungkin mendorong keras tubuh pria itu.
“Ini masih terlalu sore untuk bercinta,” seloroh pria itu santai. Dia sama sekali tidak takut pada Alex.
“Apa maumu?” ulang Alex. Kesabarannya hampir habis.
Sementara Elena masih duduk diam di ranjang, takut untuk bergerak. Setelah Victoria dan Sophia, kini muncul penghuni lain di mansion Blackwood. Elena sama sekali tidak menyukai kemunculan orang-orang itu, yang menurutnya selalu tiba-tiba.
“Asistenku sudah lama memberi kabar kalau kamu menikah. Tapi karena aku di Tokyo, aku tidak bisa datang ke pernikahanmu,” ucap pria itu, yang bernama Adrian Blackwood.
Adik kandung Alex. Dia sedang mengurus beberapa proyek ekspansi Blackwood Industries di Asia, yang membuatnya tidak berada di Riverton selama beberapa minggu terakhir.
Alex tidak antusias. Dia hanya diam, memandang Adrian tanpa ekspresi.
“Ngomong-ngomong, mana istrimu?”
“Kenapa kamu mencarinya?” Alex membalas ketus.
“Kudengar dia anak pemilik Latham Holdings,” Adrian tersenyum. Senyum yang lebih mirip seringaian. “Sungguh menarik,” imbuhnya.
Alex tetap sunyi.
“Harusnya aku bertindak lebih cepat, agar wanita itu bisa menjadi milikku sebelum kamu ambil,”
“Adrian,” Alex mendekat. Tiba-tiba mencengkeram kerah baju Adrian, seperti siap menghajar. “Jaga mulutmu, atau kurobek sekarang juga,” ancam Alex serius.
Melihat respon marah Alex, Adrian justru menyeringai. Sama sekali tidak ada rasa takut. “Menarik,” timpal Adrian. “Aku jadi makin penasaran dengan wanita itu, melihat responmu seperti ini,”