Bab 2 Intuisi Wanita Terlalu Tajam, Bukan Hal yang Baik
Asisten Ranti sedikit terkejut, "Dokter Erina ternyata kenal suami pasien wanita tadi?"
Erina menatap wajah akrab di depannya yang dipenuhi dengan kebingungan, keterkejutan, kegelisahan, tapi yang paling banyak adalah kekhawatiran terhadap wanita di dalam.
Meskipun dia sudah sangat menahan diri, tapi masih tidak bisa menyembunyikan keputusasaan dan kegelisahan yang tak terbendung.
"Kamu adalah ...." Erina melirik ke ruang operasi, "Suaminya?"
Ranti menjawab dengan cepat, "Iya, benar, keluarga yang menandatangani persetujuan operasi tadi adalah dia."
Erina merasa sekujur tubuhnya menjadi dingin, wajahnya juga menjadi agak buruk, "... Oh."
Kenneth menggigit bibirnya, "Erina, aku akan menjelaskan detailnya padamu nanti."
Erina memaksa dirinya untuk tetap tenang dan menjaga profesionalisme sebagai seorang dokter, dia mengambil napas dalam-dalam, "Jangan khawatir, operasinya sangat sukses, ibu dan bayi dalam keadaan baik. Saat ini masih perlu observasi beberapa hari di rumah sakit dan infus untuk menjaga kondisi kehamilannya. Kalau tidak ada masalah, mereka bisa pulang akhir pekan ini."
Ekspresi Kenneth menjadi lega, "Oke."
Setelah sejenak, dia menambahkan, "Erina, terima kasih atas kerja kerasmu."
"Tidak masalah, istri siapa pun dia, sebagai seorang dokter, aku akan berusaha menyelamatkannya."
Erina kembali ke ruangannya, minum segelas air dingin, setelah beberapa saat baru dia tenang.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, pintu ruangannya diketuk.
Dia mendengar suara di luar, "Erina, ini aku."
Erina bangkit dan membukakan pintu untuknya.
Kenneth terlihat sedikit lebih baik dari sebelumnya, tapi lingkaran matanya masih merah, dan kekhawatiran di wajahnya belum hilang sepenuhnya.
Baru saja dia terlalu terkejut di luar ruang operasi, hingga sekarang dia baru menyadari, ada noda darah di kemeja putih Kenneth, kemejanya juga kusut, dan lengan bajunya penuh dengan bercak air.
Ada dua kemungkinan, entah dia terkena air ketuban ketika membawa wanita itu ke rumah sakit, atau air mata wanita itu yang baru saja menangis di ruang perawatan.
Dia berbalik dan kembali ke tempat duduknya, lalu bertanya dengan lembut, "Kamu sudah pergi menjenguknya, ‘kan?"
Kenneth mengangguk perlahan, "Ya, dia sudah tertidur."
"Dia ...."
Kenneth berkata, "Anak itu bukan anakku."
Erina tiba-tiba merasa lega, dan duduk kembali di kursinya seolah-olah kehilangan kekuatan.
"Dia mengalami kecelakaan mobil, dalam kondisi kritis, aku yang membawanya ke rumah sakit. Aku dapat kabar kalau dia perlu menjalani operasi, tapi surat persetujuan operasi hanya bisa ditandatangani oleh keluarga, jadi aku hanya bisa ...."
Erina mengerti, "Aku yang menyuruh asisten mencari keluarga untuk menandatangani surat itu."
"Sekarang aku mengerti," kata Kenneth, "Tadi di depan pintu operasi banyak orang, aku tidak bisa menjelaskannya padamu. Kalau orang lain tahu aku bukan suaminya, maka tidak ada yang bisa membantunya menandatangani surat itu, menyelamatkan nyawa tetap lebih penting."
Erina sekarang benar-benar mengerti.
Dia merasa sedikit bersalah, bagaimana mungkin Kenneth yang begitu lembut dan dapat diandalkan bisa berselingkuh.
Sepertinya dia kebetulan bertemu kecelakaan di jalan menuju kantor, tidak tega melihat seorang wanita hamil terlantar, jadi dia segera membawanya ke rumah sakit.
"Apa urusan di kantor sudah selesai? Aku ada di sini, jadi kamu tidak perlu khawatir pada wanita hamil itu."
Kenneth membuka mulutnya, seolah-olah ingin bicara, tapi kemudian berhenti, "Erina, aku ...."
Erina bertanya, "Ada apa?"
Namun, Kenneth menggelengkan kepala, "Kantor tidak ada masalah. Apa kamu sudah selesai? Aku ... aku tunggu di luar, kita pulang bersama."
Setelah selesai menjalani operasi, wanita hamil tersebut tentu saja mendapat perawatan dari perawat, jadi dia tidak punya urusan lagi.
Setelah melepas jas putihnya, dia mengambil lembaran hasil pemeriksaan kehamilan dari laci, melipat dan menyimpannya di dompet, baru kemudian mengambil tasnya dan keluar.
Erina sudah sangat familier dengan mobil putih Cayenne milik Kenneth, dia langsung melihatnya dan berjalan mendekat dengan cepat.
Dari jauh, dia sudah dapat mencium bau tembakau yang menusuk hidung.
Cahaya malam redup, bayangan tinggi Kenneth bersandar di jendela mobil, dengan titik cahaya oranye yang terang.
Erina mengerutkan kening, berjalan mendekat dan bertanya, "Kenapa kamu mulai merokok?"
Kenneth terkejut, dan rokok di tangannya jatuh ke tanah.
Barulah Erina menyadari bahwa sudah ada sekitar sepuluh puntung rokok di tanah, sepertinya semuanya rokoknya.
Hari ini, Kenneth terlihat tidak seperti biasanya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Kenneth menggelengkan kepala, wajahnya terlihat lelah, tapi dia tetap dengan sopan membantunya membukakan pintu mobil, "Masalah di kantor, naiklah."
"Apa parah?"
"Hanya masalah kecil."
Erina duduk di kursi penumpang depan dan memasang sabuk pengaman.
Setelah sebentar menunggu, Kenneth baru naik ke mobil, menyalakan mesin, dan menginjak gas.
"Tunggu!" Erina segera berteriak.
Kenneth juga terkejut, "Ada apa?"
Saat dia hendak berbicara, terdengar makian di luar, "Dasar tidak punya mata, bagaimana mengemudinya? Kamu tidak lihat orang sebesar ini? Apa kamu akan tanggung jawab kalau menabrak orang?"
Kenneth dulu sering menjemputnya pulang dari rumah sakit, dia selalu berhati-hati, tidak pernah membuat kesalahan, entah apa yang terjadi dengannya hari ini.
Beruntungnya, orang itu tidak lanjut mempermasalahkannya, setelah mengomel beberapa kali, dia pun pergi.
Kenneth mengerutkan bibir, kembali menghidupkan mesin mobil, dan masuk jalan raya.
Erina agak khawatir, "Kamu sungguh baik-baik saja?"
Kenneth terlihat agak kesal dan tidak sabar, "Sudah kubilang baik-baik saja."
Erina tertegun, lalu terdiam.
Beberapa menit kemudian, Kenneth minta maaf, "Maafkan aku, Erina. Belakangan ini banyak urusan, emosiku tidak begitu baik, bukan maksudku marah padamu."
Erina mengangguk, "Ya, hati-hati mengemudinya."
"Hm."
"..."
"Erina."
"Ya?"
"Wanita tadi itu ...." Kenneth menjilat bibirnya, tampak kesulitan bicara, "Pasien yang kamu operasi tadi, dia sendirian di rumah sakit, seharusnya dia baik-baik saja, ‘kan?"
Erina tersenyum, "Ternyata kamu sedang memikirkannya."
"Bukan, aku hanya tanya saja."
"Di rumah sakit ada perawat yang akan merawatnya, dan pihak rumah sakit juga akan menghubungi keluarganya."
"Kalau keluarganya tidak bisa datang, bagaimana?"
"Bagaimana kamu tahu kalau mereka tidak bisa datang?"
Kenneth membuka mulutnya, tapi tidak berkata apa-apa.
Meskipun dia fokus ke depan memperhatikan jalan, dia mendengarkan perkataan Erina dan mengemudi dengan hati-hati.
Setelah itu, mereka berdua tidak berbicara lagi.
Saat tiba di rumah, langit sudah mulai terang.
Kenneth memarkir mobil di depan pintu rumah, tidak turun dari mobil, dan berkata padanya melalui jendela mobil, "Istirahatlah dengan baik, aku harus kembali ke kantor untuk menangani urusan kantor."
Erina mengangguk.
Dia benar-benar kembali ke kantor atau tidak, Erina juga tidak ingin menanyakannya.
Intuisi wanita terlalu tajam, terkadang itu juga bukan hal yang baik. Jika dia lebih cuek, mungkin dia bisa menganggap semua perilaku anehnya malam ini tidak terjadi.
...
Sabtu ini adalah ulang tahun ke-31 Kenneth, Erina dan Kenneth sudah sepakat untuk kembali ke kediaman lama bersama.
Dia bekerja malam sebelumnya, dan pulang kerja pada pukul delapan pagi hari Sabtu.
Saat hendak pergi, dia membuka dompet dan melihat selembar kertas yang dia lipat menjadi ukuran kotak korek api dan terletak di saku dompetnya.
Itu adalah hadiah ulang tahun yang sudah ia siapkan sejak lama, tapi sekarang dia agak ragu, tidak tahu harus memberikannya atau tidak.
Erina meletakkan dompetnya kembali ke dalam tas, mengganti jas putihnya dan bersiap-siap untuk pulang, namun ponselnya berdering.
Itu adalah telepon dari sahabatnya, Larissa.
"Erina, aku barusan lihat suamimu pulang dengan seorang wanita hamil!"