Bab 7 Tekad Shanum
"Kenapa, Sha? Kamu udah nggak percaya lagi sama aku?" tanyanya sembari menatap wajah Shanum lekat.
"Gimana aku mau percaya, Mas. Pernikahan saja bisa kamu khianati, apalagi perusahaan ini. Ingat, Mas. Aku bukanlah benalu yang seperti ibumu katakan. Kamu berada di posisi sekarang itu berkat kemurahan hati Papa. Camkan itu!" ucapku spontan hingga membuat Arya tergemap dan diam seribu bahasa.
Arya tampak menelan ludahnya susah payah. Rupanya Shanum masih mengingat dengan jelas bagaimana penghinaan Bu Desi terhadapnya kemarin. Jika ada yang harus disebut benalu, maka yang tepat adalah dirinya sendiri. Dialah benalu yang sesungguhnya.
Akan tetapi, kepiawaiannya berbicara telah membuat sang ibu, adik kandung dan istri barunya itu percaya kalau Shanum lah yang menumpang hidup padanya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya.
Arya tak berkutik dan hanya masih diam mematung di tempatnya. Shanum mengambil tas selempangnya, lalu segera bergegas keluar dari ruangan itu.
'Mas Arya pasti syok mendengarku bisa menumpahkan amarah seperti tadi.' Shanum membatin. Jelas saja, karena ini adalah pertama kalinya dia bersikap frontal setelah mengetahui semua pengkhianatan Arya di belakangnya.
Orang bilang, saat kita merasa takut dan lemah, amarah adalah jalan terbaik untuk menutupi rasa itu.
Ya, Shanum hanya sedang menutupi kelemahanku dengan amarah. Dengan begitu, siapa pun tidak akan bisa menganggap remeh.
"Sha, kamu mau kemana?" tanya Arya tepat saat Shanum sudah mencapai ambang pintu.
"Ke mana saja, asalkan nggak satu ruangan denganmu dan menghirup udara yang sama!" sahut Shanum ketus tanpa menoleh ke arah pria yang masih menjadi suaminya itu.
Brak!
Pintu pun tertutup. Shanum sengaja membantingnya sedikit keras agar Arya tahu betapa besar kemarahan serta kekecewaannya terhadap Arya saat ini.
Saat baru saja keluar dari ruangan, Shanum mendadak berpapasan dengan Feri yang tampak sepertinya mau menemui Arya lagi dengan membawa beberapa berkas di tangannya.
"Sha, kamu kenapa?" tanya Feri, seraya menarik lengan Shanum. Wanita cantik itu mau tak mau menghentikan langkah sejenak.
"Nggak apa-apa. Aku cuma mau pergi," sahut Shanum sambil berusaha melepas cekalan tangan sahabatnya itu.
"Kamu habis nangis?" tanyanya lagi, yang jelas merasa ada yang janggal dengan Shanum. Feri tahu kalau sahabat masa kecilnya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Bukan urusanmu," jawab Shanum ketus. Lalu, ia berlari kecil meninggalkan Feri tanpa membagi hal yang membuatnya rapuh. Namun, sedetik kemudian Shanum sadar. Jika Feri bisa saja dimintai tolong untuk membantunya dalam belajar mengurus perusahaan Almarhum papanya itu.
Shanum pun lantas menghentikan langkah, menolehkan wajah ke arah Feri yang masih berdiri beberapa langkah di belakangnya.
"Feri, maukah kamu membantuku?" tanya Shanum tiba-tiba.
"Membantumu? Tentu saja. Kapan kamu ada waktu untuk bertemu?" Feri bertanya dengan senyuman misterius terukir di wajahnya. Seakan memang kata-kata itulah yang sudah ditunggunya sejak dulu.
Kata di mana Shanum datang dan menginginkannya untuk membantu. Feri, seperti mengetahui sesuatu yang besar!
"Aku akan menghubungimu, nanti." Shanum berucap singkat, lantas wanita itu melanjutkan langkahnya, ia berniat untuk menuju ke suatu tempat yang sangat ingin didatanginya saat ini.
***
Setelah urusan di kantor Arya selesai. Shanum melajukan kendaraan roda empatnya menuju ke tempat kedua orang tuanya dikebumikan. Saat rapuh seperti ini, ia sangat merasa butuh tempat untuk sekadar berbagi keluh kesah.
Tapi, apa boleh buat. Keduanya sudah tiada, jadi ia hanya bisa datang mengunjunginya ke sana untuk mencurahkan isi hatinya yang terasa penuh seakan ingin meledak saja.
Bersyukurlah kalian yang masih memiliki kedua orang tua yang lengkap. Rindu yang paling berat, adalah rindu pada orang yang tak dapat kita temui lagi di dunia.
Mobil yang dikendarainya tampak berhenti sebentar di depan toko bunga. Wanita itu turun dari mobilnya, dan membeli dua buket bunga mawar putih untuk almarhum Papa dan juga Mamanya.
Setelah buket bunga yang ia pilih selesai dikemas. Shanum segera bergegas melajukan mobilnya lagi menuju ke tempat peristirahatan terakhir mereka.
Sesampainya di sana, Shanum melangkahkan kaki jenjangnya turun dari mobil melewati jalan setapak di TPU itu. Letak makam kedua orang tuanya memang bersebelahan agar dirinya mudah untuk menemukannya.
Tiba di dua gundukan tanah yang bersebelahan, tampak dipenuhi rumput pendek yang tumbuh menghiasi gundukan itu. Shanum lantas bergantian menaruh dua buket bunga yang dibelinya. Pertama, ia taruh di makam Almarhum Papanya. Selanjutnya, ia taruh di makam Mamanya.
Setelah memanjatkan doa-doa di dalam hati. Shanum terdiam sejenak. Pikirannya terbang ke awang-awang. Merenungi segala hal yang tiba-tiba terjadi.
Bohong bila dia tidak pernah mencintai Arya selama tiga tahun berumah tangga dengan pria itu. Semua perhatian dan kasih sayangnya telah meluluhlantakkan hatinya sebagai seorang wanita yang sudah tak punya orang tua lagi. Sampai-sampai Shanum hampir menyerahkan seluruh hatinya untuknya.
"Andai dia nggak pernah menghadirkan madu pahit dalam pernikahan ini. Aku sudah berniat untuk memulai program hamil beberapa minggu ke depan," gumam Shanum lirih sambil menahan buliran air mata yang tergenang di matanya.
"Rasanya … sudah cukup selama ini aku menguji kesetiaannya. Namun, Tuhan begitu baik. Ia menunjukkan padaku lebih awal seperti apa Mas Arya yang sesungguhnya padaku," ucapnya lagi masih bermonolog sendiri.
"Aku sangat beruntung, sebelum telanjur ada benihnya yang tertanam di rahimku." Shanum menggumam lagi, kali dua bulir air matanya tumpah begitu saja.
Shanum tertawa kecil sambil menyeka air matanya, "Setidaknya, perpisahan yang akan terjadi hanya akan menorehkan luka untukku. Nggak untuk seorang anak yang tak berdosa."
Shanum berjongkok di antara kedua gundukan makam itu. Ia mengusap pelan makam yang bertuliskan nama lengkap ayahnya serta tanggal wafatnya itu.
"Pa, Mas Arya ternyata tak sebaik yang papa kira." Shanum menggumam lirih. Wanita itu membuang napasnya kasar.
"Pa, Ma, kenapa di saat kita telah melabuhkan hati pada seseorang, ternyata orang itu tega menusuk kita dengan belati berkarat. Sakit, Pa, Ma," tutur Shanum pada kedua orang tuanya yang sudah tiada.
"Pa, Maafkan Aku, jika nantinya aku nggak bisa mempertahankan pernikahan yang Papa inginkan ini," ucap Shanum menyampaikan maksud kedatangannya ke pusara kedua orang tuanya.
"Ma, andaikan Mama masih ada di dunia ini, aku pasti ingin memeluk dan menceritakan semua keluh kesahku sama Mama," ucap Shanum seraya mengusap pusara Kinanti, mama kandungnya yang telah wafat sejak dirinya masih berusia belasan tahun.
Shanum yakin mereka berdua akan menangis jika tahu perlakuan Arya dan keluarganya.
"Bisa-bisanya dia menganggapku benalu yang ingin menggerogoti hartanya!" keluh Shanum geram.
"Terbalik! Dialah yang benalu." Shanum menegarkan hatinya. Ia harus kuat untuk menghadapi apa saja yang akan terjadi ke depannya. Mengingat dia sudah memutuskan untuk berpisah dengan Arya.
Ya, perceraian adalah hal yang terlintas di benak Shanum saat ini. Tetapi, sebelum itu dia harus menegaskan posisinya pada ibu mertua dan adiknya yang telanjur percaya menganggapnya benalu dalam kehidupan Arya.
"Mas Arya lah yang benalu," gumamnya mengumpulkan tekad dan keberanian untuk menghempaskan Arya dan keluarganya.
***