Bab 9 Aku Ingin Bercerai
"Mbak, nggak ke sini? Udah siang lho? Mbak baik-baik aja kan? Nggak kenapa-napa kan?" cecar Shela dari ujung sana. Ia langsung menghujani Shanum dengan berbagai pertanyaan dengan nada cemas.
"Aku baik-baik saja, Shel. Ini mau jalan ke butik. Kenapa? Ada masalah ya di sana?" tanya Shanum dengan suaranya yang tenang.
"Eh, nggak ada sih, Mbak. Aku cuma cemas aja. Biasanya jam segini Mbak udah di butik. Tapi, sampai siang begini kok belum datang ke sini, takut kenapa-napa." Shela menyampaikan kecemasannya sedari tadi pada atasannya itu.
"Oh, ya ampun sampai segitunya, Shel. Aku nggak apa-apa kok. Ini lagi nyetir, jalan ke sana. Udah dulu ya," ucap Shanum berpamitan mematikan sambungan telepon, karena dia harus fokus menyetir.
"Oke, Mbak. Aku tunggu ya. Hati-hati!" pesannya sebelum sambungan telepon berakhir.
Shanum ingin meralat ucapannya tadi. Nyatanya ia tak benar-benar sendirian di dunia ini. Ada juga beberapa orang yang berdiri di pihaknya, termasuk Shela.
Wanita itu lantas melajukan mobilnya menuju butik. Meski sebenarnya, ia sudah cukup lelah hari ini. Ingin lekas merebahkan tubuh di kasur yang empuk, sambil menscroll postingan video di aplikasi Toktok.
Akan tetapi, demi menjaga kewarasan saat ini, Shanum lebih memilih menghindar dulu dari ibu mertuanya. Ia tidak ingin terpancing emosi mendengar kejulidannya.
"Biarkan seperti ini dulu untuk sekarang," ucapnya pelan.
"Akan tiba waktunya mereka tahu kebenarannya, tanpa susah payah kujelaskan siapa diriku." Shanum menggumam pada dirinya sendiri.
Sesampainya di butik, Shela langsung menyambut atasannya itu dengan senyum ramahnya. Dia adalah pegawai tetap di butik ini.
"Selamat siang, Mbak Shanum." Ia menyapa ramah. Menampilkan lesung pipi yang manis di kedua pipinya.
"Siang." Shanum menyahut sambil mengangguk lalu melempar seulas senyum. Ia melirik arloji yang menunjuk angka dua siang itu. Ia lantas berjalan ke ruangannya.
Sampai di ruangan, ia menjatuhkan bobot tubuh di atas sofa. Kepalanya terkulai lemah di sandaran sofa.
Usia Shela hanya terpaut dua tahun dari Shanum. Ia bahkan sudah menganggapnya seperti seorang adik.
Tak memiliki kakak maupun adik membuatnya terkadang merasakan kesepian. Jadilah, sejak butik oni berdiri dari hasil tabungannya, Shanum merekrut Shela untuk menjadi pegawainya.
Sikap jujur dan uletnya membuat Shanum semakin mengaguminya. Hingga Shanum sepenuhnya mempercayakan butik padanya jika dirinya sedang malas atau ingin di rumah saja.
Waktunya memang terkadang banyak Ia habiskan di rumah. Membuat cemilan lezat untuk Arya, dan juga memasak makan malam untuknya.
Tapi apa, dia justru mengatakan pada ibunya jika Shanum adalah benalu, yang kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki. Menadahkan tangan dan kerap meminta nafkah dari Arya.
Itulah yang Shanum tidak pernah bisa menyangka.
'Ah, Bisa-bisanya dia mengatakan hal semacam itu. Saat jatah bulanan untuk ibunya saja, ia yang memintaku untuk mengaturnya.' Shanum bergelut dengan hatinya, kemelut hidup yang tengah dialaminya.
"Bahkan aku kadang melebihkannya dari uang pribadiku. Semata demi baktiku kepada seorang mertua. Namun, semuanya hanya dibalas dengan pahitnya empedu. Di mata mertuaku, tidak ada manisnya sedikitpun diriku ini." Shanum menghela napasnya dalam-dalam.
Uang bulanan yang selalu Arya berikan, Shanum manfaatkan sebaik mungkin untuk memenuhi semua kebutuhan rumah.
Sisanya dia tabung. Ia tidak pernah hobi untuk menghamburkan uang walaupun dari awal ia berasal dari keluarga yang mapan. Wanita itu sadar, jika bekerja untuk mendapatkan uang itu bukan hal yang mudah. Semudah membalikkan telapak tangan.
***
Shanum masih tetap dengan posisinya. Ia tampak menatap langit-langit ruangan yang bernuansa biru langit itu seraya memijat pelipisnya pelan.
Rasanya seperti mimpi yang terjadi padanya seharian ini. Shanum berusaha memejamkan matanya erat demi menghalau kerisauan yang menjalar dalam hati.
Tok! Tok!
"Mbak, aku boleh masuk?" ucap suara dari balik pintu.
"Ya, masuklah," sahut Shanum singkat.
Pintu berderit terbuka, lalu seseorang dari balik pintu yang Shanum yakin adalah Shela itu pun berjalan menghampirinya.
"Aku buatkan teh rosella buat Mbak Shanum. Diminum Mbak, mumpung masih hangat," tawarnya sambil meletakkan nampan yang dibawa.
Aroma teh rosella yang dibawa oleh Shela seketika terhidu oleh hidungnya. Aromanya cukup menenangkan.
Shanum lantas meraih gelas berisi teh itu. Lalu menyeruputnya perlahan.
"Hati-hati, masih panas, Mbak," ucap Shela mengingatkan.
Shanum menikmati tiga teguk teh itu mengaliri tenggorokannya. Lumayan untuk menghilangkan rasa haus yang sedari tadi dia rasakan. Namun, dia mengabaikannya.
Begitu berat hari ini baginya. Semua terjadi dengan tiba-tiba. Tanpa ada aba-aba.
"Shel?" panggilnya lirih. Shela sontak menoleh ke arah bosnya.
Shanum menaruh gelas berisi teh itu ke atas meja.
"Sepertinya Mbak sedang ada masalah ya?" tanya Shela seakan dapat membaca pikiran Shanum.
"Ya begitulah. Masalah yang amat berat, Shel." Shanum menjawab ambigu.
Shela hanya manggut-manggut tanda mengerti. Namun, enggan memberi pertanyaan lagi pada Shanum.
Shanum tahu jika Shela tipe orang yang tidak akan bertanya lebih jauh, sebelum si empunya cerita menceritakan sendiri.
"Mas Arya punya istri baru," ujar Shanum tiba-tiba, hingga membuat Shela terkejut dan mulutnya menganga lebar.
"Apa? Kok bisa, Mbak? Pernikahan Mbak Shanum sama Mas Arya kan selama ini baik-baik aja, adem pula. Nggak ada masalah. Kok tiba-tiba …," ucapnya panjang lebar masih keheranan dengan pengakuan Shanum.
'Ya, kamu pasti nggak akan pernah mengiranya, bukan? Apalagi aku, Shel.' Shanum membatin.
"Iya benar. Entahlah, mungkin karena sampai saat ini aku belum juga hamil, Shel." Shanum menjawab seraya menundukkan kepalanya.
"Itu kan bisa dibicarakan, Mbak. Wah, benar-benar ya Mas Arya ini keterlaluan banget, aku jadi gemes deh." Shela justru tampak meledak-ledak dengan emosinya. Padahal yang seharusnya emosi adalah Shanum. Tapi, entah apa alasannya ia justru tak merasakan apa pun saat ini. Seakan sudah mati rasa.
Shanum hanya menggelengkan kepala saja seraya tersenyum tipis melihat tingkah karyawannya itu.
"Lho serius, Mbak. Pengen aku cabein tuh yang banyak terongnya, kalau aku jadi Mbak," gurau Shela gemas. Tak menyangka jika suami bosnya yang baik hati itu akan menduakan wanita sebaik dan secantik Shanum.
"Hush, ngawur kamu! Bisa-bisa kepanasan itu terong!" seloroh Shanum tersenyum lepas mendengar celotehan Shela yang sukses menghiburnya itu.
"Ya lagian segala kawin lagi, dan punya istri baru. Tega amat jadi laki! Hmm, terus keputusan Mbak gimana sekarang?" Nada suara Shela kini terdengar mulai serius. Wanita itu juga seperti dapat merasakan apa yang sedang dialami Shanum. Wanita mana yang tidak sakit hatinya ketika sang suami tega membagi cinta, bahkan raganya.
"Ya, apalagi. Aku nggak mau dimadu, Shel. Aku belum bisa berbagi raga dan rasa dengan yang lain. Aku nggak bisa." Shanum menatap lurus ke arah depan.
"Jadi…?" Shela menatap lekat wajah Shanum yang datar tanpa ekspresi itu.
"Aku akan bercerai." Shanum menjawab penuh keyakinan.
Seakan-akan keputusannya untuk berpisah dengan Arya tak bisa ditawar lagi.
***