Bab 2 Persiapan
Lima tahun kemudian, Tiara sedang duduk di sebuah kapal pesiar menerjang ombak dan birunya lautan. Dia melingkarkan lengannya di sebuah biola berwarna coklat mahoni sambil menyetel biolanya dengan tenang.
Anggota orkestra lainnya juga duduk di dekatnya, duduk santai dengan penuh semangat sambil membicarakan si pemilik kapal pesiar ini, yang kebetulan adalah Pangeran Kecil dari keluarga Samuel.
Katanya, sang Pangeran Kecil ini sudah jadi miliarder meskipun dia bahkan belum berumur empat tahun, dan kakek buyutnya —Bapak Samuel—tidak main-main saat merayakan ulang tahun anak laki-laki ini. Bahkan, kapal pesiar ini adalah hadiah bagi sang Pangeran Kecil, dan beliau membelinya saat itu juga tanpa perlu mengedipkan mata.
"Hei, menurutmu kenapa keluarga Samuel meminta orkestra kita untuk tampil di acara ulang tahun sang Pangeran Kecil? Maksudku, kan masih ada banyak orkestra yang lebih terkenal dari pada kita!”
"Siapa yang mengira, kan? Yang aku dengar sang Pangeran Kecil sendiri yang memilih kita untuk tampil hari ini. Kita harus berterima kasih padanya karena kita bisa tampil di kapal pesiar seperti ini, dan bayaran kita naik empat kali lipat hanya untuk acara ini!”
Mendengar ini, beberapa anggota orkestra mulai merasa iri. “Seandainya saja kita bisa memiliki kekayaan setidaknya sepersepuluh dari kekayaan sang Pangeran Kecil. Bayangkan saja, pasti hidup kita akan jauh lebih mudah!”
"Takdir memang memihak ke orang tertentu saja. Dan sepertinya sang Pangeran Kecil merebut semuanya! Yang bisa kita lakukan cuma merasa iri padanya!”
……
Mendengar percakapan itu, bibir Tiara tersenyum kecut, menurutnya itu sama sekali tidak lucu. Dia bahkan berpikir, takdir terkadang berpihak pada orang-orang tertentu saja sejak mereka lahir, sama seperti sang Pangeran Kecil dari keluarga Samuel ini.
Dan ada pula orang-orang bernasib sepertinya, yang bahkan sudah terjatuh sebelum wasit memulai perlombaan. Ayah Tiara adalah seorang bajing*n yang suka bermain perempuan tanpa sepengetahuan istrinya dan mengabaikan semua yang sudah dilakukan istrinya demi dirinya. Dia meninggalkannya dan melupakan masa-masa perjuangan bersama membangun bisnisnya dari nol sampai bisa sukses.
Ketika Ibu kandung Tiara meninggal dunia, Tiara dan Pandu tidak punya siapa-siapa selain satu sama lain.
Makanya, Tiara sampai terpaksa menjual darah dagingnya sendiri demi uang untuk biaya pengobatan Pandu. Aku tidak pernah bertemu dengan anakku … Pikirnya penuh rasa sesal. Setiap kali dia mengingat hal ini, hatinya terasa sakit, seolah ingin mencabik-cabiknya.
Saat dia teringat kejadian malam itu, tahun ini bayinya pasti sudah berumur empat tahun, hampir seumuran dengan sang Pangeran Kecil. Aku bahkan tidak tahu apakah dia seorang anak laki-laki yang tampan atau perempuan yang menggemaskan. Aku tidak tahu dimana dia berada dan apakah dia dalam keadaan baik-baik saja…
Tiba-tiba, matanya mulai nanar, dan dia bisa merasakan sebuah sensasi yang menusuk hidungnya dan rasanya air matanya akan mengalir.
Saat itu, terdengar sebuah teriakan melengking yang membuyarkan lamunannya. "Tiara! Apa yang kamu lakukan disini?”
Mata Tiara yang tadinya berkaca-kaca seketika menjadi jelas kembali saat dia berbalik ke arah sumber suara, dan dia melihat sosok yang tidak ingin dia temui sepanjang hidupnya, selamanya—Sofia Romario!
Sofia memakai sebuah gaun yang elegan, dan wajahnya dirias sedemikian cantiknya. Ada kesan angkuh saat dia mengangkat dagunya dan menatap Tiara, sama seperti yang dia lakukan enam tahun lalu.
Tiara merasa jijik melihat Sofia, karena dia tidak menyangka akan bertemu dengannya disini.
"Haha! Jadi memang benar-benar kamu, ya!" Setelah yakin kalau perempuan yang ada di ruang tunggu itu adalah Tiara, Sofia mendekat. Suara ketukan sepatu hak tingginya di lantai terdengar menggema di seluruh ruangan. Ketika dia berdiri di depan Tiara, dia mencibir dengan angkuh, “Aku tidak menyangka kamu masih hidup. Kenapa? Karena aku mengira kalau kamu dan adik laki-lakimu yang tidak berguna itu sudah mati sejak dulu!”
Pandu… Tiara menggertakkan giginya. Kalau Sofia dan Ibunya, Laksmi, tidak menghentikan biaya pengobatan Pandu, Tiara pasti tidak akan pernah melahirkan anak laki-laki itu. Apalagi sampai merasakan pedihnya harus berpisah dengan darah dagingnya sendiri!
Ibu dan anak yang kejam inilah yang bertanggung jawab atas semua kekejian yang terjadi padaku!
Rasa benci terlihat di mata Tiara saat dia membalas perkataan Sofia dengan sinis, “Kalau kamu dan Ibumu yang bajing*n itu masih bisa hidup, ya tentu saja, aku dan Pandu masih sangat baik-baik saja. Kami hanya tinggal menunggu petir menyambar penyihir kejam seperti kalian sampai mati!”
"Kamu—" Sofia kehilangan kata-katanya, tercekat dengan perkataan Tiara. Sejauh yang dia ingat, Tiara adalah orang yang sangat pemalu dan tidak suka melawan orang lain. “Padahal baru beberapa tahun kita tidak bertemu, tampaknya kamu sudah jadi tikus kejam, ya!”
"Tidak, aku tidak sekejam kamu dan Ibumu,” balas Tiara dingin.
Sekarang, prioritas utamanya adalah tampil sempurna tanpa kesalahan, dan ini bukan saat yang tepat untuk membawa-bawa masalah di masa lalu. Dengan berpikir seperti itu, Tiara berdiri dan pergi mencari tempat yang sunyi untuk berlatih, dan tidak mau menghabiskan waktu dengan keberadaan Sofia yang merusak mata.
Sedangkan Sofia, justru semakin kesal melihat Tiara yang tidak mempedulikannya. Dia hanya bisa mengingat betapa sulitnya dia dan Ibunya mencoba mengusir Tiara dan Pandu dari kediaman Romario.
Dia mengira kalau dia sudah menang. Tapi entah kenapa, dia masih merasa kalau dirinya lebih rendah daripada Tiara saat dia berdiri di depannya, walaupun dengan penampilan mewah dan cantik.
Entah itu dari sisi penampilan ataupun keanggunan, Tiara adalah yang terbaik diantara mereka berdua!
Saat memikirkan hal ini, sekelebat rasa iri terlintas di mata Sofia. Tiara seharusnya membusuk di jalanan setelah kami mengusirnya! Beraninya dia muncul di acara mewah ini, seolah dunia adalah miliknya?!
Mata Sofia menatap sebuah biola berharga yang sedang dibawa oleh Tiara, dan seketika dirinya dipenuhi rasa benci. Setelah melihat di sekelilingnya tidak ada yang memperhatikannya, dia menjulurkan kakinya ke lantai.
"Ah!" Tidak sengaja tersandung, Tiara terjerembab dan terjatuh ke lantai. Saat dia terjatuh, suara retak biola yang ikut jatuh pun terdengar.
Suara decitan terdengar dari biola yang rusak saat dua senar tertarik dan patah satu demi satu seketika.
Di saat yang bersamaan, Adam Satyasa—manajer orkestra—masuk dan ketika dia melihat insiden di depannya, wajahnya pun pucat pasi. Panik, dia membentak, “Tiara! Aku tidak percaya kamu sudah merusak biola itu! Nyonya Fania sudah berbaik hati meminjamkannya pada kita, dan biola itu cuma ada satu di dunia! Kita tidak akan mampu mengganti rugi meskipun kita sampai menjual seluruh orkestra!”
Tiara pucat pasi. "I-Ini bukan salah saya!” Dia berusaha berdiri dan menatap Sofia dengan tajam, lalu berkata, “Itu karena dia! Dia sengaja membuatku tersandung!”
"Aku? Jangan berbohong demi menutupi kesalahanmu sendiri!” Sofia mengangkat tangannya, menyangkal tuduhan dan pura-pura tidak bersalah. “Kamu tersandung kakimu sendiri, jadi jangan salahkan aku karena perbuatanmu sendiri!” Lalu, dia menyilangkan tangannya sambil menatap Tiara dengan licik. “Kalau aku jadi kamu, aku akan langsung meminta maaf pada Nyonya Fania, lalu keluar dari orkestra. Aku yakin kesalahanmu ini akan membuat reputasi orkestranya jadi jelek!”
"Dia benar! Ikut aku sekarang dan meminta maaf pada Nyonya Fania." Adam meraih pergelangan tangan Tiara dan menariknya menuju pintu. “Dan satu lagi, kamu juga tidak perlu tampil setelah ini. Orkestra kita tidak butuh orang ceroboh sepertimu, jadi pergilah setelah penampilan hari ini!”
Meninggalkan orkestra? Ini membuat tubuh Tiara dingin dan wajahnya pucat pasi saat dia berkata dalam hatinya, Tidak! Kalau aku kehilangan pekerjaan, aku tidak akan punya uang untuk menghidupi diriku dan Pandu. Aku tidak bisa meninggalkan orkestra ini!
"Pak Adam, saya benar-benar tidak—"
Tapi saat dia akan memohon pada Adam, sebuah suara anak kecil yang tenang dan lembut terdengar dari pintu. “Kenapa dia yang harus meminta maaf? Harusnya yang minta maaf itu nona yang ada disana!”