Bab 8 BIMASAKTI
Panglima Chen dan Ratu Yang menatap pada Lu Shiceng penuh harap. Sedangkan Lu Shiceng masih terdiam tampak sedang berpikir. Sepertinya dewa memang memberikan jalan padanya untuk segera bertemu dengan pria bernama Yang Peng.
"Baik," jawab Lu Shiceng kemudian sembari mengangguk.
Ratu Yang dan Panglima Chen tampak tersenyum puas.
"Silakan, Yang Mulia." Panglima Chen mempersilakan sang ratu untuk mulai berjalan. Sedangkan dirinya dan Lu Shiceng mengapit wanita cantik itu dari belakang.
Panglima Chen tampak langsung menyukai Lu Shiceng. Dia bertanya banyak pada pemuda itu. Namun Lu Shiceng hanya menjawab secukupnya saja.
"Yang Mulia Ratu! Syukurlah anda sudah kembali," tukas Perdana Menteri Han yang langsung menyambut Ratu Yang saat mereka tiba di tenda.
"Yang Mulia, anda baik-baik saja?" kali ini Min Jue yang bertanya. Sepasang netranya menatap wajah sang ratu dengan cemas.
"Aku baik-baik saja. Jangan cemas." Ratu Yang tersenyum.
Perdana Menteri Han dan Min Jue menoleh pada pria tampan yang berdiri bersisian dengan Panglima Chen.
"Yang Mulia, siapa pria tampan itu? Apakah dia seorang Dewa yang sudah menolongmu?" bisik Min Jue pada Ratu Yang.
Ratu Yang tersenyum tipis kemudian berkata, "Ya, dia yang menolongku. Namanya Lu Shiceng," jawab sang ratu dengan berbisik. Keduanya pun tertawa kecil.
Lu Shiceng yang diam-diam melihat hal itu hanya tersenyum tipis.
"Wah, siapa pendekar tampan ini? Aku baru melihatnya," tanya Perdana Menteri Han pada Panglima Chen lalu menoleh pada Lu Shiceng. Wajah pemuda itu terasa tidak asing baginya.
"Perdana Menteri, pemuda ini yang telah menyelamatkan Yang Mulia. Namanya Lu Shiceng, dia datang dari Barat," jawab Panglima Chen sembari tersenyum. Tangannya menepuk satu bahu Lu Shiceng.
Lu Shiceng segera membungkuk memberi hormat pada Perdana Menteri Han. Pria tua itu pun tersenyum padanya. Dia memperhatikan pemuda di hadapannya itu. Entahlah, wajah pemuda ini seperti tak asing baginya. Namun ia lupa, dimana pernah melihat wajah itu.
Setelah jembatan selesai diperbaiki, para rombongan ratu pun mulai melanjutkan perjalanan menuju bukit tinggi gunung Huan Zhu. Panglima Chen dan Lu Shiceng menaiki kudanya dan berada di barisan paling depan.
"Hei, Yang Mulia. Min Jue rasa pemuda itu sangat baik dan tampan. Namun wajahnya sangat dingin," ucap Min Jue pada Ratu Yang di sisinya.
"Ya, dia memang sangat tampan namun sangat dingin pula. Bahkan dia seperti batu es. Tapi dia sangat pandai jurus pedang. Kau tahu, Min Jue? Pangeran Tong Yi sampai lari terbirit-birit karenanya," ucap Ratu Yang, lantas tertawa kecil kemudian.
"Oh, astaga. Jika benar begitu, sepertinya si batu es itu cocok untuk menjadi Raja Dong Taiyang." Min Jue tersenyum jahil pada Ratu Yang. Membuat pipi sang ratu bersemu merah.
"Kau ini," ucapnya malu-malu. Dia pun menyikap sedikit tirai tandunya. Terlihat punggung Lu Shiceng yang sedang menaiki kudanya. Bibir merah Ratu Yang mengulas senyum tipis.
Sedangkan Min Jue hanya mengulum senyumnya melihat tingkah sang ratu.
Malam pun tiba. Rombongan Ratu Yang akhirnya tiba di puncak bukit gunung Huan Zhu. Para prajurit segera mendirikan tenda untuk mereka bermalam. Sedangkan Lu Shiceng dan Panglima Chen tampak sedang menyalakan api unggun.
Udara dingin bukit Huan Zhu bisa saja membuat tubuh mereka membeku.
"Lu Shiceng, katakan padaku. Apa yang membuatmu datang ke Timur?" tanya Panglima Chen saat dirinya duduk bersisian dengan Lu Shiceng. Api unggun mulai berkobar. Suasana bukit menjadi lebih hangat.
"Tak ada. Aku hanya mengembara saja," jawab Lu Shiceng.
Panglima Chen tersenyum tipis. Sebenarnya pemuda di sampingnya itu sangat dingin dan menyebalkan. Namun entah kenapa dirinya seperti menyukai sipat pemuda itu. Lu Shiceng tidak terlihat seperti rakyat jelata. Wajah dan sikap pemuda itu lebih mencirikan garis keturunan seorang bangsawan.
Siapa sebenarnya pemuda ini? Panglima Chen hanya bertanya dalam hati. Mereka pun duduk bersama tanpa obrolan.
Sedangkan Ratu Yang dan Min Jue sedang bersiap di dalam tenda. Malam semakin larut. Gugusan bintang Bimasakti akan muncul tengah malam nanti. Mereka harus segera bersiap sekarang.
"Lu Shiceng, ikutlah denganku mengawal Yang Mulia Ratu melihat bintang," tukas Panglima Chen pada Lu Shiceng yang sedang bersandar di bawah pohon besar menghadap api unggun.
"Melihat bintang?" tanya Lu Shiceng tampak tak yakin. Apakah dia tak salah dengar? Tengah malam begini mau melihat bintang? Gumannya dalam hati.
"Benar. Ayo ikut!" ajak Panglima Chen setengah memaksa.
"Baiklah," meski malas akhirnya Lu Shiceng pun bangkit. Keduanya segera berjalan menuju rombongan Ratu Yang.
Sang ratu melihat Lu Shiceng dari balik tirai tandunya yang tipis. Bibirnya mengulas senyum. Dia senang karena Lu Shiceng mau mengawalnya. Min Jue yang melihat hal itu hanya mengulum senyumnya. Cinta memang gila. Sang ratu sampai hilang wibawa karenanya, pikir Min Jue.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit. Akhirnya mereka pun tiba di puncak di mana biasa Ratu Yang melihat bintang. Lu Shiceng dan Panglima Chen mengikat tali kuda mereka pada sebuah pohon, lantas segera menghampiri tandu Ratu Yang.
"Silakan, Yang Mulia." Panglima Chen mempersilakan Ratu Yang keluar dari tandu. Dia dan Lu Shiceng membungkuk hormat.
Ratu Yang segera melangkah. Ekor matanya melirik pada Lu Shiceng yang sedang menunduk padanya. Dia terus asik memandangi pemuda itu sampai tidak konsentrasi berjalan. Akibatnya ia tersandung dan hampir terjatuh.
"Yang Mulia!" jerit Min Jue karena Ratu Yang tergelincir di depan tandunya. Perdana Menteri Han dan yang lain tampak kaget dan cemas. Beruntung Lu Shiceng langsung menangkap sang ratu agar tidak terjatuh.
Ratu Yang memandangi wajah Lu Shiceng. Tubuhnya berada dalam dekapan pria dingin itu. Lu Shiceng pun membalas tatapannya. Keduanya saling berbagi pandangan sesaat, sampai akhirnya Lu Shiceng segera melepaskan sang ratu. Astaga, apa ini? Dia bisa dipenggal nanti, pikir Lu Shiceng.
"Maafkan hamba, Yang Mulia." Lu Shiceng menuduk pada Ratu Yang. Dia sudah memeluk sang ratu untuk kedua kalinya. Tidak dibunuh di tempat ini pun masih beruntung.
"Tak apa, Lu Shiceng. Aku yang seharusnya berterima kasih padamu," tukas Ratu Yang lalu tersenyum dan kembali melanjutkan langkahnya. Min Jue segera menyusul bersama beberapa dayang.
Panglima Chen tersenyum kagum lalu menepuk bahu Lu Shiceng, "Ayo!" ucapnya kemudian. Lu Shiceng hanya mengangguk dan segera mengikutinya.
Tengah malam pun tiba. Ratu Yang dan Min Jue tampak mulai melakukan sebuah ritual. Mereka menaburkan bunga yang dibawa para dayang pada lembah tepi jurang. Tak lama kemudian gugusan bintang muncul di atas langit hitam malam.
"Bimasakti?"
Lu Shiceng kagum melihat gugusan bintang itu. Sungguh indah. Panglima Chen yang berdiri di sampingnya ikut memandangi langit bersamanya. Sedangkan Ratu Yang dan Min Jue tampak tertawa bahagia sembari memandangi gugusan bintang itu.
"Kau tahu, Lu Shiceng? Sejak kematian ayahnya Yang Mulia Ratu selalu bersedih. Tapi malam ini dia tampak sangat bahagia. Itulah sebabnya, mengapa kami menuruti keinginannya untuk datang ke tempat ini hanya untuk melihat bintang saja," tukas Perdana Menteri Han yang baru saja berdiri di samping Lu Shiceng.
Panglima Chen mengangguk membenarkan.
"Apa? Jadi Yang Mulia telah kehilangan ayahnya?" tanya Lu Shiceng sekenanya sembari menoleh pada Perdana Menteri Han.
"Benar, Yang Mulia Raja Yang Peng telah tiada. Itulah sebabnya di usianya yang masih muda, Tuan Puteri Yang Zhu harus menggantikan ayahnya menaiki tahta kerajaan Dong Taiyang."
Apa?
Sepasang netra Lu Shiceng membulat sempurna. Dia sangat kaget mendengar Yang Peng telah tiada. Bukankah seharusnya dirinya yang harus membunuh pria itu? Sekarang bagaimana? Apa yang harus ia lakukan? Tujuannya datang ke Timur tak lain hanya untuk membunuh Yang Peng.
Ekor matanya melirik pada Ratu Yang di sana. Wanita itu tampak sedang tertawa bahagia bersama para dayangnya. Ya, gadis itu adalah puteri dari Yang Peng. Apakah dia saja yang ia bunuh untuk membalaskan dendamnya?