Bab 4 Bukannya Tidak Bisa, Tapi Sudah Tidak Mau Lagi
Sarah tiba di rumah besar Keluarga Wijaya sekitar pukul 11.40.
Pelayan rumah itu terkejut melihatnya.
Dia tahu ada tamu lain yang akan datang, tapi dia tidak tahu bahwa tamunya adalah Nyonya Muda. Mengingat bahwa Tuan Muda Axel dan Nona Trisha ada di ruang tamu saat ini, dia jadi berkeringat dingin.
Tentang kenyataan bahwa Axel dan Sarah sudah menikah, selain orang tua kedua keluarga, yang tahu adalah Rio, pelayan Keluarga Wijaya, dan beberapa orang yang dekat dengan mereka.
"Ikui saya."
Pelayan itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti instruksi Nyonya Besar, dan dengan berani memandu jalan.
Sebelum mereka sampai di pintu ruang tamu, mereka mendengar suara manja yang riang gembira, "Aku menang lagi, apa kamu sengaja membiarkanku menang, Kak Axel?"
Sarah berhenti melangkah.
Dia merasa pikirannya kosong sejenak, tapi dia langsung memahami semuanya.
"Cih."
Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa sinis, dan melangkah masuk.
Karena dia harus memindahkan buku, dia tidak memakai riasan hari ini, dan berpakaian sangat sederhana. Dia mengenakan kemeja putih longgar dan celana jeans. Rambut panjangnya diikat longgar dengan ikat rambut.
Namun, kulitnya masih putih bersih, dengan mata indah dan bibir merah. Beberapa helai rambut yang tidak terikat pun menambahkan sedikit kesan polos dalam kecantikannya.
Di ruang tamu, Axel terkejut melihat Sarah yang masuk, "Kenapa kamu ...."
"Ibumu yang menyuruhku datang." Sarah berkata dengan ekspresi datar, tatapan matanya tampak sinis, "Loh, bukankah kamu seharusnya di Hakam? Kapan kamu belajar teleportasi?"
"…."
Ada sedikit rasa bersalah di mata Axel.
Trisha yang duduk di sofa, berdiri dan berjalan ke depan Sarah, lalu mengulurkan tangan dengan kesan menantang, "Halo, aku Trisha Hotama."
Sarah tidak mau menatapnya sama sekali, dan menganggap gadis itu tidak ada.
Di luar pintu, ada sosok Maurita berjalan masuk.
Dia melihat Sarah sekilas, lalu dengan ramah menarik tangan Trisha, "Trisha, apa kamu senang hari ini? Anggap saja ini rumahmu sendiri."
Setelah itu, dia mulai memperkenalkan Sarah, "Ini Bu Sarah dari perusahaan kami, aku ingin bicara dengannya."
Semua orang tahu bahwa Sarah adalah istri Axel, tapi dia sengaja diperkenalkan sebagai karyawan perusahaan. Ini menunjukkan bahwa Maurita tidak suka dengan Sarah. Dia juga seolah memberi tahu Trisha bahwa Sarah tidak berarti apa-apa, dan tidak ada hambatan untuk pernikahan antara Keluarga Wijaya dan Keluarga Hotama.
Trisha mendongak dengan bangga, "Jadi, dia cuma seorang karyawan perusahaan."
Sarah tidak melihat Trisha dan Maurita, dia hanya menatap Axel dengan tenang.
Dia ingin melihat reaksi pria itu.
Tapi pria itu masih saja mempertahankan ekspresi wajah yang dingin, dan tidak ada tanda-tanda bahwa pria itu ingin membelanya.
Apa Axel tidak mengerti, dia tidak tahu? Tidak, dia tahu, dia hanya tidak peduli dengan rasa malu Sarah lagi.
"Bu Maurita, bukankah kamu mencariku karena mau membicarakan sesuatu? Bagaimana kalau kita bicara di sini?" Sarah menatap mertuanya.
"Kita bicara lain kali saja. Tapi karena kamu sudah datang hari ini, sekalian saja makan malam di sini."
"Aku tidak mau, aku masih ada urusan." Sarah berbalik dan hendak pergi.
Maurita menegur dengan suara keras dari belakang, "Orang tua memintamu untuk tinggal dan makan, kenapa malah bersikap begitu? Tidak sopan sama sekali."
Sarah berbalik, menatap Maurita beberapa saat, "Baiklah, aku akan tinggal untuk makan, jangan menyesal."
Sarah jadi orang pertama yang memilih kursi tunggal.
Trisha dengan berani duduk di samping Axel, bahkan memeluk lengannya, "Kak Axel, ayo kita lanjut main catur."
Axel menarik lengannya, matanya menatap Sarah.
"Apa Bu Sarah bisa main catur?" Trisha juga menatap Sarah.
Sarah melihat papan catur yang terbuat dari bahan giok berkualitas tinggi di atas meja kopi, tapi arah permainan di papan catur menunjukkan bahwa mereka sedang bermain catur lima poin, dan Axel bahkan kalah dalam permainan sepele ini ....
Axel bukannya tidak bisa memanjakan orang, pria itu hanya tidak bisa memanjakannya lagi.
Sarah menatap Axel dengan dingin, lalu mengulas senyuman sinis, "Bisa, apa Nona Trisha mau main?"
Saat ini, Axel tampak sedikit kesal. Dia menatap Sarah dengan tatapan memperingatkan.
Trisha dengan percaya diri mengatur kembali bidak di papan catur, "Bu Sarah, kamu mau warna putih atau hijau?"
Sarah mengambil pion hijau, "Hijau, cocok untukku."
Axel terdiam, "...."
Trisha dan Maurita hampir tertawa melihat kegilaan Sarah. Mereka pernah melihat orang dipermalukan orang lain, tapi belum pernah melihat orang yang menghina diri sendiri.
Beberapa detik kemudian, mereka menyadari bahwa Sarah sebenarnya sedang menghina mereka.
Trisha menggigit bibirnya dan berusaha untuk bergerak lebih dulu.
Puluhan bidak catur sudah tertata di atas papan. Maurita memerhatikan permainan Trisha dengan saksama, sementara Sarah menempatkan bidaknya tanpa aturan, satu di sini, satu di sana, tanpa pola yang jelas. Maurita cenderung memihak Trisha, dan tidak memerhatikan permainan secara objektif. Dia malah melihat ke arah Axel, sambil seolah berkata, 'Lihat, begitulah seharusnya putri dari keluarga terpandang.'
Axel tidak bereaksi sedikit pun.
Ada banyak bidak catur di papan, setiap kali Trisha merasa akan menang, dia akan dihalangi. Ini membuat suasana hatinya jadi naik turun, dia menjadi agak gelisah. Namun, jika dia tidak bisa menang, Sarah juga tidak boleh menang. Paling tidak, mereka bermain imbang.
'Hmph, bermain imbang dengannya, benar-benar merendahkan diri.'
"Giliranmu." Sarah mulai berbicara.
Trisha sudah menempatkan tiga bidak di sudut tersembunyi. Selama dia bisa meletakkan satu, dia pasti akan menang.
Dia dengan tenang meletakkan satu bidak, lalu menatap Sarah dengan tegang. Takut perempuan itu akan menghalanginya lagi. Sarah malah tidak memerhatikan, dan meletakkan bidak caturnya di tempat lain. Trisha lalu berteriak dengan bangga, "Aku menang!"
Maurita pun bertepuk tangan.
Tetapi detik berikutnya, mereka melihat jari-jari halus dan putih Sarah mulai mengumpulkan bidak catur.
Mereka baru sadar, tempat Sarah meletakkan bidak catur sudah menjadi lima.
Raut wajah kedua orang itu seketika memucat.