Chapter 8 Tinggallah Bersamaku
"Ada apa denganmu? Tumben wajahmu kusut seperti itu?"
Emily melirik temannya sekilas dan hanya menghela napas kasar, lalu kembali terdiam. Dia sama sekali tidak tertarik membahas apa yang terjadi. Bahkan rasanya, dia terlalu malas melakukan sesuatu. Memikirkan pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, membuatnya pusing. Meski memang dia tidak lagi terlibat mengurusi ini itu. Semua tugasnya selesai, sekarang hanya orang tuanya dan orang tua Keenan yang bekerja.
"Tante Em, Tante lagi sedih ya?"
Pandangan mata Emily berpindah pada bocah perempuan yang tiba-tiba mendekatinya. Itu adalah Evelyn, anak temannya, Ashley, sekaligus teman bermain anaknya. Bocah yang berusia beberapa bulan lebih muda dari Javier. Evelyn sangat manis dan lucu, membuat dia selalu ingin mencubit pipi bulatnya. "Nggak kok. Tante nggak sedih, Sayang."
"Mommy kenapa?"
Kini giliran Javier yang mendekat. Anaknya juga menatap khawatir. Sorot matanya seolah hendak bertanya dan Emily hanya bisa mengusap lembut rambut putranya seraya tersenyum.
"Mommy nggak apa-apa, Sayang. Sana kalian main lagi."
"Beneran Mommy nggak apa-apa?"
"Iya."
Setelah Emily meyakinkan putranya, Javier akhirnya kembali bermain mandi bola dengan Evelyn. Seperti dia yang berteman dengan Ashley, Javier pun menjadi dekat dengan anak temannya.
"Astaga, bukankah anak kita sangat lucu? Bagaimana kalau kita jodohkan mereka?" usul Ashley sambil berdecak melihat keakraban yang terjalin.
Emily seketika menoleh saat mendengar celetukan temannya itu. Ashley tersenyum sangat lebar sambil menaikturunkan alisnya. Seolah itu adalah hal yang seru. "Apa? Kau gila ya? Anakku baru berusia enam tahun!"
"Ayolah, Em. Javier sangat manis dan tampan. Eve akan cocok dengannya."
Rengekan temannya tak membuat Emily langsung mengiyakan. Dia hanya memutar bola matanya dan menatap anaknya yang asyik bermain dengan Evelyn. Putranya terlihat asyik bermain dengan anak perempuan itu. Javier memang selalu menanti hari di mana dia akan bermain dengan Evelyn, meski kadang mereka juga sering bertengkar saat bertemu dan hanya di beberapa kesempatan keduanya tampak akur. Mungkin salah satunya saat Evelyn nyaris tertabrak anak yang main perosotan, Javier langsung menariknya hingga tubuh mereka tenggelam dalam bola-bola itu.
"Biarkan saja. Kita jangan memaksa. Kau tahu rasanya jika sesuatu yang dipaksakan tidak akan berhasil. Lagian mereka masih anak-anak."
"Cckk, padahal aku ingin Javier jadi menantuku." Ashley merengut kecewa dan menatap Emily yang kini tersenyum kecil. Dia yang sedih, langsung berubah senang melihat perubahan suasana hati temannya. "Akhirnya, kau tersenyum juga. Dari tadi wajahmu terlihat kusut seperti baju yang belum disetrika. Padahal sebentar lagi kau akan jadi pengantin baru."
"Berhenti menggodaku, Ashley."
"Aku tidak menggodamu, aku bersungguh-sungguh. Cepat kau kenalkan calonnya padaku. Aku ingin menilai seperti apa dia."
Emily menyipitkan matanya dan langsung mendekati Ashley. "Jangan, nanti dia akan langsung jatuh cinta padamu."
Ashley dengan percaya menyibak rambutnya dan tersenyum lebar. "Jika dia tergoda denganku, kau harus membuangnya."
"Ambil saja. Aku tidak tertarik dengannya. Akan bagus kalau kau berhasil menggodanya," jawab Emily dengan serius. Biasanya semua lelaki akan jatuh hati pada temannya ini. Keenan pun pasti begitu. "Ah, begini saja, bagaimana kalau rayu dia? Buat dia tertarik padamu."
"Apa? Kau bercanda?" Ashley refleks tertawa melihat temannya sangat serius. Emily memang sudah gila, bagaimana mungkin wanita itu memintanya untuk menggagalkan pernikahannya sendiri? Padahal dia tidak benar-benar serius dan hanya menggodanya saja. "Om Evan pasti akan mencincangku kalau tahu itu! Aku tidak mau!"
"Tidak mau? Kau yakin? Kau bisa memiliki dua suami."
"Hei! Kaupikir aku wanita apaan? Aku hanya mencintai Om Evan. Ya, walau dia sudah tua, aku tetap mencintainya. Ngomong-ngomong, kenapa dia belum menghubungiku ya?"
Emily melirik temannya yang mulai gelisah sendiri. Terlihat Ashley membuka tasnya dan memeriksa ponselnya. Temannya itu, padahal dulu bilang jijik, tapi sekarang sangat mencintai suaminya. "Mungkin Om Evan sedang cari istri muda."
"Apa katamu! Om Evan sedang dalam perjalanan bisnis. Dia bilang akan memberi kabar saat sampai. Pak tua itu tidak akan mengkhianatiku. Kalau sampai itu terjadi, aku akan kebiri dia!"
Emily tanpa sadar meringis ngilu mendengar perkataan temannya yang sadis. Mulut temannya memang sejak dulu tidak bisa direm. Untung Ashley memiliki suami yang sabar. Sayangnya, ucapan temannya itu mengundang perhatian orang tua lain yang saat ini tengah mengajak bermain anak-anak mereka. Ada tatapan terganggu saat perkataan Ashley terdengar jelas. "Ssstt, jangan bicara keras-keras, di sini banyak anak kecil."
"Oh, astaga, aku lupa. Ini semua gara-garamu, Em."
"Apa? Aku?"
"Ya, kau menakutiku. Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku memikirkan suamiku yang jauh," bisik Ashley dengan tatapan memelas.
"Kau lebay."
"Ini tidak lebay! Ini sungguhan! Kita lihat saja, setelah kau menikah nanti, kau juga akan merasakan apa yang kurasakan!"
"Tidak mungkin." Emily menggelengkan kepalanya.
"Berani bertaruh? Kau harus membelikanku mobil baru, bagaimana?"
Pandangan Emily jatuh pada tangan yang Ashley ulurkan. Dia mengangkat alisnya melihat wanita itu sangat percaya diri. Tentu saja dia tidak mungkin seperti Ashley. Mustahil. Apalagi jika itu pada Keenan. Hingga Emily dengan yakin langsung menjabat tangan Ashley. "Jika kau salah, restoran itu akan menjadi milikku."
"Hei!"
***
"Mommy, kapan-kapan, kita pergi sama Daddy ya?"
Emily melirik anaknya yang kini asyik memakan es krim dan terus berceloteh setelah puas bermain. Hari weekend yang mereka habiskan, sepertinya cukup membuat Javier senang. "Javier nggak mau lagi main sama Eve?"
"Mau, Iel mau main sama Eve, sama Daddy juga," jawab Javier dengan malu-malu.
Reaksi anaknya yang seperti itu, membuat Emily tertawa tanpa sadar. Entah mengapa dia jadi teringat dengan ucapan Ashley soal perjodohan. "Ya sudah, ayo turun. Kita sudah sampai."
Emily membuka pintu mobilnya dan membantu anaknya untuk turun. Mereka kemudian berjalan beriringan menuju pintu, tapi sebelum masuk, Emily menyadari ada sebuah mobil yang terparkir di depan rumah mungilnya. Siapa yang datang? Emily penasaran, tapi pertanyaannya itu segera terjawab oleh teriakan anaknya saat pintu terbuka.
"Daddy!"
"Ken?" Kening Emily berkerut dalam, ketika menyadari seseorang yang membukakan pintu dan dipeluk anaknya adalah Keenan. Lelaki itu keluar dengan setelan kasual, tidak seperti biasanya yang selalu mengenakan pakaian formal. "Kenapa kau ada di rumahku?"
Keenan yang sedang memeluk Javier, sontak melepaskannya dan menatap Emily yang melipat kedua tangannya di dada. "Kita bicara di dalam saja. Ayo, Javier, ikut Daddy!"
Emily menaikkan salah satu sudut bibirnya tak percaya, saat Keenan dengan santainya menggiring masuk Javier ke dalam, seakan lelaki itu adalah pemilik rumahnya. "Kau masuk seenaknya, kaupikir ini rumahmu?" cibirnya.
"Aku 'kan calon suamimu, bukan orang asing," jawab Keenan dengan santai sambil berjalan menuju ruang tengah. Dia menyadari rumah Emily terlalu mungil. "Saat kita menikah nanti, kuharap kaumau tinggal bersama di rumahku."
"Kau saja yang tinggal di rumahku!"
Keenan berhenti melangkah. Dia kemudian berbalik menatap Emily yang melipat kedua tangannya di dada. Lalu pandangannya beralih menatap Javier.
"Javier, bagaimana menurutmu, kamu mau 'kan tinggal sama Daddy nanti? Ada banyak mainan di sana. TV yang besar dan kamar mandi yang luas," ucap Keenan sambil mensejajarkan tubuhnya dengan Javier. Menyadari jika anak itu menatapnya dengan mata berbinar.
"Banyak mainan, Dad? Beneran?"
"Iya, ada banyak dan semua itu akan menjadi milik Javier kalau Javier mau tinggal sama Daddy."
"Ken!" Sadar anaknya sedang dipengaruhi, Emily mendekat dan langsung menarik Javier menjauhi Keenan. "Javier, kamu—"
"Mommy, Iel mau tinggal sama Daddy. Boleh 'kan, Mom?"
Terlambat. Emily terdiam kaku saat melihat tatapan memelas anaknya. Keenan benar-benar berbahaya dan pandai membuat anaknya menuruti keinginannya. Sungguh licik memanfaatkan anaknya dengan cara seperti ini.
"Jangan khawatir. Mommy sangat menyayangimu, dia pasti mengizinkannya. Benar begitu 'kan?" Keenan melirik Emily yang melotot, seakan siap menyemburkan kalimat penuh umpatan.
"Baiklah, kalian menang."