Chapter 9 Tidur Bersama
Hari-hari yang paling menyibukkan sepanjang hidupnya, harus kembali Emily rasakan saat ini. Kepalanya pusing dan lelah mengurus pernikahan dadakannya. Namun tentu saja, ini tidak sebanding dengan masa lalu saat dia mengurus pernikahannya seorang diri. Meski memang, dulu dia melakukannya tanpa kenal lelah karena pernikahan itu adalah hal yang sangat diinginkannya. Beda dengan sekarang, di mana dia menikah karena tidak memiliki pilihan lain.
Keenan juga jadi sering datang ke rumah ini tanpa mengabarinya. Anaknya, Javier, selalu menjadi alasan ketika lelaki itu ke sini. Semakin hari, Javier bahkan semakin dekat dengannya. Emily kadang khawatir melihat kedekatan itu, karena ayah kandung Javier bukanlah Keenan. Cepat atau lambat, dia juga harus memberitahu anaknya mengenai ayah biologisnya.
"Huh." Emily mendesah kasar dan berjalan pelan menghampiri lemari. Dia mengambil satu setel pakaian. Emily hendak pergi mandi setelah selesai mengurus surat pernikahan. Sekarang, dia hanya tinggal menunggu waktu pernikahan tiba. Sayangnya, Emily yang saat ini sibuk membuka pakaian, dia lupa jika pintunya tidak dikunci. Hingga siapa pun bisa masuk ke kamarnya dengan bebas, seperti saat ini.
"Emily, Mama—"
Ucapan itu terhenti, bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka dan sang pemilik kamar yang sedang melepas pakaiannya pun, ikut terdiam. Hingga kemudian menoleh dengan mata terbelalak. Namun keduanya sama-sama tak bereaksi untuk beberapa detik, mereka hanya terpaku pada pemandangan yang ada di depan mata. Begitu pun Keenan, lelaki yang tadi membuka pintu kamar Emily.
Pandangan Keenan tertuju pada tubuh calon istrinya. Menatapnya tanpa berkedip. Emily berdiri dengan hanya mengenakan pakaian dalam dan itu bahkan tidak mampu menutupi kemolekan tubuhnya. Membuat dia yang melihatnya merasa aneh. Lebih tepatnya, tubuhnya bereaksi. Hingga akhirnya Keenan langsung tersadar dan menggeleng. Mengenyahkan pikiran kotor yang tiba-tiba memenuhi kepalanya. "M-maaf, aku tidak tahu kau sedang ganti baju."
Suara Keenan berhasil menyentak kesadaran Emily. Dia langsung berkedip dan menatap tajam lelaki yang kini menunduk. Namun tanpa rasa malu, Emily justru dengan santai menarik masuk Keenan ke kamarnya. Dia mendorong calon suaminya ke dinding sembari memerangkap tubuhnya. Tak lupa, dia menutup pintu kamar. "Kau, apa kau sengaja masuk tanpa mengetuk pintu hanya untuk melihatku telanjang?"
"Apa?" Keenan yang sejak tadi berusaha tak menatap Emily, kini dengan berani menatap wanita itu. Dia menyadari Emily tanpa rasa canggung berpakaian setengah telanjang di hadapannya.
"Sudah kuduga, kau itu mata keranjang. Kauingin melihat tubuhku sebelum kita menikah 'kan?"
Keenan yang tidak punya pikiran itu, jelas langsung tersinggung. Dia menyingkirkan tangan Emily yang menghalanginya. "Tidak, aku ke sini bukan untuk itu. Mama—"
"Ayolah, Ken! Kau harus akui itu, kau mata keranjang! Dasar penjahat kelamin!" Emily dengan berani berkacak pinggang sambil menempelkan tubuhnya dengan tubuh Keenan. Membuat lelaki itu tampak menahan napas.
"Bisakah kau menjaga sikapmu? Walau kita akan menikah, bagaimana bisa kau menggodaku terang-terangan seperti ini? Dan mulai sekarang, sebaiknya berhenti memakai pakaian kekurangan bahan!"
Emily mengernyit, lalu menjauhkan dirinya sambil melipat kedua tangannya di dada. "Sejak kapan aku mengizinkanmu mengatur gaya berpakaianku?"
"Sejak aku menjadi calon suamimu. Aku tidak suka kau tidak risi seperti ini dilihat olehku." Keenan melirik Emily yang semakin membusungkan dadanya. Wanita itu juga menatapnya dengan angkuh seakan menantangnya.
"Katakan saja kau mau menyentuhnya."
"Berhenti main-main! Aku mengatakan sesuatu yang serius. Cepat ganti pakaianmu, Mama menghubungiku dan meminta kita untuk makan malam bersama."
Emily tersenyum mengejek melihat Keenan langsung mengalihkan pandangan. Lelaki itu sepertinya memang tidak memiliki nafsu atau memang punya? Tapi Keenan tampak tahan dengan godaannya. Jika itu lelaki lain, dia mungkin sudah ditiduri sekarang. Tidak pernah ada lelaki yang tahan setelah melihat tubuhnya selama ini.
Ah, tidak. Emily berusaha mengenyahkan bayangan masa lalu dan kebiasan buruknya. Dia sekarang punya Javier. Tidak seharusnya dia bersikap seperti wanita murahan lagi yang melayani lelaki.
"Jika sudah selesai, cepat turun. Aku akan membantu Javier bersiap."
Emily yang melihat Keenan hendak pergi, seketika langsung memegang pergelangan tangannya. "Tunggu, ada sesuatu yang ingin kukatakan. Ini penting."
"Ada apa?"
"Aku ini wanita murahan. Aku tidak ingat berapa banyak lelaki yang sudah meniduriku. Aku melakukannya bukan hanya dengan Ayah kandung Javier," ucap Emily dengan tegas. Dia tidak mau menyembunyikan fakta ini dari Keenan. Meski dia tidak menganggap pernikahannya nanti adalah sungguhan, dia merasa Keenan harus tahu. Sesaat, Emily melihat Keenan terkejut, tapi lelaki itu kembali memasang ekspresi keheranan.
"Terus?"
"Aku hanya ingin memberitahukan ini padamu. Jika kau tidak suka, kau bisa batalkan pernikahan kita dari pada kau menghinaku nantinya."
Keenan bergeming dan mengamati Emily. "Apa kau masih melakukannya sekarang?"
"Aku tidak pernah lagi melakukannya semenjak mengandung Javier."
"Kalau begitu, kau tidak perlu khawatir dan lupakan masa lalumu itu. Aku juga tidak akan mencelamu," ucap Keenan terakhir kalinya sebelum kemudian beranjak pergi meninggalkan Emily.
Perasaan lega entah mengapa hadir dalam hatinya setelah mendengar perkataan Keenan. Namun ada juga perasaan takut karena masih ada keburukannya yang belum Emily katakan di masa lalu. Meski dia sudah berusaha memperbaiki semuanya, tetap saja, terkadang dosa itu terus membayanginya. Terutama soal cinta pertamanya. Ayah kandung anaknya.
***
"Javier, sini main sama Oma!"
Emily menatap anaknya yang diam saat nyonya Silvi mengulurkan tangan dan memintanya mendekat. Seperti perkataan Keenan, mereka akhirnya makan malam bersama kedua orang tua lelaki itu. Seperti sebuah keluarga hangat yang selalu diimpikannya. Mereka tidak hanya menerimanya, tapi juga menerima Javier.
Sayangnya Javier tampaknya masih canggung saat harus berbaur dengan kakek-nenek barunya. Beda ketika bermain dengan Keenan. Bahkan anaknya itu malah menoleh ke arahnya dengan tatapan cemas. Javier pasti ragu karena takut nyonya Silvi dan Tuan Vian sama seperti orang tuanya. Tak ingin membuat anaknya salah paham, Emily tersenyum lebar. "Tidak apa-apa, mainlah dengan mereka sekarang."
Setelah Emily berhasil meyakinkan anaknya, Javier akhirnya mau mendekati keduanya dan tentu saja, orang tua Keenan langsung memeluk Javier dengan gembira. Seakan putranya adalah cucu mereka. Pemandangan yang tidak pernah Emily lihat sebelumnya, membuat dia merasa tersentuh. Javier selalu meras tidak nyaman jika dia tinggal bersama orang tuanya, tapi dengan mereka, anaknya tampak mulai tersenyum kecil. Semoga pilihannya ini benar. Putranya tidak akan lagi merasa kesepian.
"Ngomong-ngomog, bagaimana persiapan pernikahan kalian? Apa semuanya sudah beres?" tanya Tuan Vian yang menatap Keenan dan Emily bersamaan. Dia membiarkan istrinya bermain dengan Javier.
"Semua sudah hampir beres. Kami hanya perlu fitting baju sekali lagi."
"Bagus, Papa senang mendengarnya. Lalu, apa kalian memiliki rencana bulan madu setelah pernikahan?"
Mendapat pertanyaan yang agak sensitif, Keenan kali ini tidak langsung menjawab dan melirik Emily lebih dulu. Seperti dugaannya, wanita itu tampak terkejut dan menunjukkan reaksi tidak nyaman.
"Hmm? Kenapa? Kalian mau bulan madu 'kan?" ulang Tuan Vian saat tak ada jawaban.
"Tida—"
"Iya," potong Keenan, sebelum Emily menyelesaikan kalimatnya. Jawabannya yang berlawanan, refleks membuat wanita itu melotot, seolah memberi peringatan. Namun Keenan yang melihat itu, dengan acuh tak acuh mengalihkan pandangan. Entah mengapa, dia senang melihat wajah kesal Emily. Wanita itu selalu menggodanya dan membuatnya mati kutu, tidak ada salahnya dia membalasnya. "Aku ingin mengajak Emily pergi ke villa keluarga, tapi mungkin tidak akan lama. Aku masih harus bekerja."
"Baiklah, Papa setuju."
"Apa? Tunggu, Ken, kau bicara apa? Kita tidak mungkin meninggalkan Javier."
"Kamu tenang saja, Emily, kalau kamu mengkhawatirkan anakmu, kami bisa menjaganya," sahut Tuan Vian sambil melirik istrinya yang asyik mengajak Javier dan memberikan beberapa mainan. "Istriku sangat menyukai anakmu."
"Kau dengar? Kau tidak perlu khawatir sekarang." Keenan menatap Emily sambil menaikkan salah satu sudut bibirnya. Menikmati wajah cantik calon istrinya yang menahan kesal.
"Baiklah, terserah kau saja." Emily menyerah. Dia tidak bisa membantah calon mertuanya dan hanya diam saat menyadari Keenan sengaja melakukannya. Sampai kemudian, terlihat nyonya Silvi mendekat sambil menuntun anaknya.
"Emily, Javier sepertinya sudah mengantuk," ucap nyonya Silvi sambil melirik Javier yang beberapa kali menguap dan mengusap matanya. Sebuah mobil-mobilan kini dipegangnya.
"No, Oma, Iel nggak ngantuk kok. Ayo main lagi!"
"Nggak ngantuk gimana, Sayang? Kamu menguap dari tadi."
"Tapi Iel mau main sama Oma lagi."
"Astaga, cucu Oma sangat menggemaskan. Oma juga mau main sama Javier, tapi untuk malam ini, kamu tidur dulu ya? Kita lanjut besok, ok? Oma akan beli banyak mainan untuk kamu."
Berhasil dirayu, Javier akhirnya menurut dan langsung dihampiri oleh Emily dengan sigap. "Kalau begitu, sepertinya kami harus pulang, Ma, Pa."
"Eh, kok pulang? Kalian menginap di sini saja!" usul nyonya Silvi sambil melirik ke arah suaminya, bermaksud meminta bantuan.
Tuan Vian pun berdehem. "Iya, menginaplah. Masih ada kamar kosong."
"Tapi, seragam sekolah—"
"Aku sudah membawa seragam sekolah anakmu." Kali ini, Keenan ikut menimpali dan membuat perhatian Emily teralihkan padanya.
"Javier, mau tidur di sini 'kan?"
"Mau Oma!" jawab Javier dengan mata berbinar. Dia kemudian melirik ke arah Emily penuh permohonan. "Mommy, bolehkan? Iel mau tidur sama Mommy sama Daddy juga. Ya, boleh, ya? Kita tidur bertiga."
Permintaan Javier serta merta membuat kaget semua orang di sana, kecuali nyonya Silvi yang menahan tawa dan Keenan langsung tersedak saat minum. Telinga lelaki itu tampak memerah. Sementara Emily yang mendapat permintaan seperti itu, langsung mati kutu. Ekspresi masam menghiasi wajahnya saat menyadari tidak ada yang bisa membantunya. Keenan yang biasanya membantu dia memberi pengertian pada Javier pun, kini hanya menunduk. Dia merasa seperti dijebak, apalagi saat melihat senyum malu-malu dan mata yang berbinar ibu mertuanya.