Chapter 10 Hari Pernikahan
Hari yang menegangkan akhirnya tiba. Hari di mana statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Emily mendadak gugup serta takut sekaligus. Dia berdiri tidak nyaman di samping ayahnya. Pandangannya sedikit tak fokus. Emily merasa malu dan hanya bisa melangkah masuk mengikuti langkah ayahnya. Dia berusaha tenang saat melihat semua tatapan tertuju ke padanya. Ada banyak sekali orang yang melihatnya dan juga Keenan yang berdiri bersama Javier.
Emily menelan ludah saat melihat calon suaminya sangat amat tampan, tapi perasaan sedih pun dirasakannya dan pandangannya seketika kembali tertunduk. Air mata menetes bersamaan dengan langkah kakinya yang kian mendekat. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dia akhirnya akan menikah dengan orang lain selain kekasih tercintanya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai. Namun dari posisinya kini, Emily melihat dengan jelas semua orang tersenyum. Bahkan Javier tampak berbinar bahagia.
Suasana di sekitarnya pun tampak syahdu dan khidmat. Apalagi saat Keenan datang dan mengulurkan tangannya untuk menyambutnya naik ke atas pelaminan. Mengikat janji di hadapan Tuhan. Emily pasrah. Dia memejamkan matanya sesaat, sebelum kemudian menerima uluran tangan itu dan ikut dengan Keenan.
Lelaki itu tersenyum tipis dan tampak sangat tenang, lain dengan Emily yang semenjak tadi terus tegang. Bahkan ketika ikrar pernikahan berlangsung, pikirannya tidak fokus. Emily hanya bisa tertunduk saat mendengar Keenan mengucap janji di hadapan Tuhan. Tubuhnya merinding memikirkan lelaki itu sangat sungguh-sungguh. Namun, kesungguhan itu juga membuatnya seketika meneteskan air mata.
Hancur sudah.
Emily merasakan hatinya berdenyut sakit saat dia dan Keenan akhirnya dinyatakan sah sebagai suami-istri. Semua orang bergembira di hari pernikahannya. Namun sepertinya, hanya dia yang berduka. Mereka mungkin menganggap air matanya sebagai air mata bahagia.
"Apa kamu sangat bahagia sampai menangis seperti ini?" bisik Keenan sembari menarik dagu Emily agar menatapnya sembari mengusap bekas air matanya. Sekarang, dia harus mencium wanita yang telah sah menjadi istrinya di hadapan semua orang.
"Berengsek, kaumau kupukul!" Emily menahan suaranya agar tidak terlalu keras. Keenan menyebalkan, bagaimana lelaki itu bisa meledeknya di saat seperti ini?
"Kalau cium, boleh?"
"Apa? Tunggu—"
Terlambat. Emily hanya bisa terpaku saat Keenan sudah memagut bibirnya dengan cepat. Lelaki itu dengan kuat menahan tengkuknya. Membuat Emily tidak bisa mengelak saat lidah panas mereka saling membelit. Keenan tidak mahir berciuman. Lelaki itu sangat kaku, tapi rasanya manis. Emily perlahan mulai menikmatinya.
Sayangnya, saat mereka nyaris lupa diri, suara riuh tepuk tangan terdengar dan itu refleks menghentikan ciuman mereka. Keenan mau tak mau langsung menjauh dengan kedua pipi memerah. Berusaha mengalihkan pandangannya agar tidak canggung ke arah lain, dia justru harus melihat tatapan menggoda dari ibunya yang membuat wajahnya kian memerah.
"Keenan, sialan, awas kau ya!" gumam Emily dengan mata melotot, tapi umpatannya itu bisa didengar jelas oleh Keenan yang hanya ditanggapi dengan senyum kecil.
"Mommy, Daddy!"
Perhatian Emily teralihkan oleh Javier yang tersenyum sangat lebar dan menghampirinya. Putranya itu langsung memeluk kakinya. Tampan. Javier sangat tampan dengan balutan tuxedo hitam dan rambut yang tersisir rapi.
"Sini, Javier sama Daddy."
Acara terus berlanjut. Sementara Emily, Keenan dan Javier kini duduk di tempat yang telah disediakan. Menyiapkan diri untuk berbagai macam rangkaian upacara adat lainnya. Hari yang pastinya akan sangat melelahkan. Emily menyadari itu, hanya tersenyum kecut. Satu-satunya orang yang membuat dia bisa bertahan di sini adalah Javier. Anaknya yang sangat mengharapkan sosok seorang ayah. Javier sangat amat bahagia di hari pernikahannya dengan Keenan. Keduanya juga tampak sangat dekat.
'Anakmu tumbuh dengan baik, James,' gumam Emily dalam hati.
***
Emily lemas. Tubuhnya terasa rontok semua akibat pesta yang menguras tenaga. Dia bahkan harus dituntun oleh sahabatnya menuju kamar pengantin. Membiarkan Keenan serta orang tua mereka di pesta. Javier juga mungkin tengah bersenang-senang bersama kelurganya. "Ouch, sialan, apa ini?" umpatnya saat melihat banyak kelopak mawar di lantai kamarnya.
Tak hanya itu, saat Emily masuk ke dalam, matanya dibuat melotot ketika melihat ranjang yang terdapat bantal berbentuk hati. Semua dihias benar-benar seperti kamar pengantin. Ah, dia memang pengantin, tapi ini keterlaluan! Namun Emily tidak bisa menyalahkan pihak hotel. Mereka sudah melakukan tugasnya dengan baik.
"Wah, astaga, Em! Sangat romantis, aku jadi ingin menikah lagi. Sepertinya malam pertamamu akan sangat menyenangkan," ucap Ashley sambil berdecak. Dia mendudukkan Emily di ranjang dan matanya sibuk menjelajahi kamar pengantin tersebut.
"Kau semakin merusak mood-ku, Ashley."
Ashley terkikik dan langsung duduk di sebelah Emily. Dia menarik kedua pipi temannya itu. "Ayolah, Em, jangan memasang wajah seperti itu. Ini hari pernikahanmu. Kau harusnya bahagia, apalagi bisa menikah dengan orang setampan Keenan."
"Kau genit. Akan kuberi tahu Om Evan, ya."
"Jangan! Aku 'kan bercanda. Kau tidak seru, Em." Ashley langsung bersungut-sungut. "Tapi, selamat atas pernikahanmu. Aku senang kau akhirnya menikah. Kau sudah terlalu lama menghukum dirimu sendiri. Mulai sekarang, berbahagialah."
Emily tersenyum. Dia memeluk Ashley dengan erat. "Aku beruntung memiliki sahabat sepertimu. Terima kasih, Ashley. Kau banyak membantuku dan kau bahkan memaafkan kesalahan besar yang kulakukan padamu."
"Hei, berhenti. Kau membuatku menangis tahu." Ashley menyeka air matanya dan melepaskan pelukan Emily. Bersamaan dengan pelukan terlepas, kamar hotel itu terbuka dan terlihat sang pengantin pria yang merupakan suami Emily muncul.
"Oh, maaf, aku mengganggu."
"T-tidak! Silakan masuk. Saya hanya sudah selesai," ucap Ashley sambil berdiri dan hendak melangkah pergi.
Sayangnya Emily yang menyadari sahabatnya hendak melarikan diri dan meninggalkannya dengan Keenan, sontak menahannya. "Jangan kabur, Ashley. Temani aku!"
"Emily, aku lupa, Om Evan dan Eve sedang menungguku. Jangan khawatir, suamimu sudah ada di sini. Dia yang akan menemanimu." Ashley langsung melepas paksa tangan Emily yang menggenggamnya dan cepat-cepat keluar. Namun sebelum itu, dia berhenti di depan suami temannya. "Tuan Keenan, Emily sedikit kelelahan sekarang, tapi saya yakin dia masih memiliki banyak tenaga untuk Anda. Hanya, tolong jangan terlalu kasar ya. Jangan sampai lecet. Dia sahabat kesayangan saya."
"Ashley!" pekik Emily dengan mata melotot mendengar pesan Ashley pada Keenan.
"Selamat bersenang-senang, Em. Aku pergi dulu!"
Emily membanting bantal, tapi sayang Ashley sudah kabur dan bantal itu malah mengenai tepat di tubuh Keenan. Lelaki yang kini sah menjadi suaminya. Sialan, dia ditinggal begitu saja. "Mana Javier? Kenapa kau datang sendirian?"
"Mama bilang, Javier akan bersamanya malam ini," jawab Keenan dengan kaku. Dia berjalan mendekati ranjang dan melirik Emily yang sudah mengenakan gaun tidur. Acara telah selesai dan dia sangat lelah luar biasa. Namun langkahnya sempat tertahan sejenak ketika melihat banyak kelopak bunga mawar di lantai hingga tempat tidur. Dia harus membersihkan ranjang itu dan menyingkirkan sesuatu yang menggelikan dari sana.
"Lalu kenapa kau malah ke sini! Apa tidak ada kamar lain?"
Keenan mendesah kasar mendengar perkataan Emily. Jika dia bisa, dia akan melakukannya. Namun ibunya memaksanya untuk tidur bersama Emily dan dia yang juga sudah kelelahan, tidak punya pilihan lain. "Aku lelah. Aku ingin tidur. Besok saja mengomelnya."
"Hei, jangan menghabiskan tempat tidur dong! Aku juga mau tidur!" Emily merangkak naik dan menggeser Keenan yang kini tidur terlentang. "Sana, kau menghadap ke sana!"
Keenan pasrah, dia yang tidak mau berdebat, memilih memunggungi istrinya dan merogoh ponsel untuk kemudian dia letakkan di nakas. Namun saat tangannya meletakkan ponsel, matanya tak sengaja melihat bungkusan kecil. Keenan yang melihatnya, langsung mengambil benda itu dan mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. "Emily, kau belum tidur? Lihatlah, ini apa?"
"Hmm, kau menggangguku." Emily berdecak malas, tapi akhirnya dia berbalik dan menatap Keenan yang menyodorkannya sebungkus pengaman untuk pria. Matanya sontak melotot. Tangannya pun langsung merebut benda itu dengan tubuhnya yang refleks terduduk. "Kau, dari mana kau dapat ini?"
"Di meja. Memang itu apa?"
Pertanyaan polos Keenan kali ini membuat Emily menganga. Tidak mungkin lelaki itu tidak tahu apa yang ada di tangannya. Benda yang sering digunakan lelaki setiap kali mereka akan berhubungan badan. Apa Keenan sedang mempermainkannya? "Kau benar-benar tidak tahu?"
"Aku pernah melihatnya, tapi sepertinya aku lupa."
Mata Emily memicing saat melihat Keenan berpikir keras. "Keenan, kau masih perjaka?"
"Apa? K-kenapa kau bertanya seperti itu?" Keenan terduduk dan langsung menggeser tubuhnya dari Emily. Berusaha tetap tenang saat melihat ke arah mana wanita itu menatapnya. Sayangnya, dia kecolongan saat tangan Emily tiba-tiba mendarat di antara pangkal pahanya, sambil meremasnya. "E-emily, kau—"
"Kau ini normal atau gay?"