Bab 9 AKU INGIN MERAYUMU
Amber bangkit dari duduknya. "Kenapa aku tidak pergi duluan saja?" Kemudian melangkah pergi.
Tapi dia dengan cepat ditarik untuk dihentikan oleh Trysta yang mengejarnya sambil bertanya, "Benarkah? Apakah kamu benar-benar mencintai Calvin?"
Amber menghela nafas. Kali ini Amber tidak bisa untuk tidak merasa pusing. Bagaimana bisa dalam sekejap rumor berubah menjadi dia jatuh cinta dengan Calvin? Gosip benar-benar tumbuh lebih liar saat menyebar. Bukankah tadi dia mengatakan bahwa Calvin pernah menjadi orang yang dia sukai, oke? Dulu! Dulu!!
Trysta tidak bisa menahan tawanya lagi. "Kalau begitu, kamu tadi seharusnya tidak memberi tahu Silvia tentang hal itu!"
Amber tidak ingin membicarakan hal itu lagi. "Bukankah kamu harus pergi? Mengingat letak kamar suite dan semua wanita cantik itu, kamu harus berhati-hati jangan sampai seseorang mencuri pengantin priamu."
Trysta pun berkata dengan nada menekankan, "Biarkan mereka mencoba! Jika dia bisa dicuri, itu berarti sejak awal dia tidak layak untukku."
Setelah Trysta mengatakan kalimat terakhirnya, terdengar ponselnya berdering. Frank yang menelepon Trysta mengatakan sedang menuju ke tempat dirinya berada saat ini.
Tidak lama kemudian terdengar suara pintu diketuk kemudian Amber membuka pintu dan Frank menjulurkan kepalanya. Beberapa orang lain datang tepat di belakangnya. Di sebelah pintu ada dua petugas yang membantu seorang wanita berjas merah muda. Amber ingat kalau dia adalah gadis yang menangkap buket pernikahan sebelumnya juga salah satu pengiring pengantin Trysta.
Frank berjalan dengan tidak stabil dan rona merah akibat minum alkohol masih ada di wajahnya. Terlepas dari mabuknya, dia masih cukup sadar untuk meminta petugas membawa gadis itu masuk.
Trysta yang heran jadi bertanya, "Siapa dia?"
Frank menggosok dahinya saat dia menjelaskan, "Dia pergi mandi setelah minum terlalu banyak dan hampir tenggelam di bak mandi, ini adalah ruang istirahat wanita, 'kan? Bisakah kamu membiarkannya menginap di sini malam ini? Hotelnya sudah penuh dan tidak ada tempat untuk orang tambahan."
Amber tidak keberatan, tapi alih-alih fokus pada gadis itu, saat pandangannya mengarah ke luar, dia melihat seorang pria yang bersandar di tiang lampu dengan hanya setengah wajahnya yang terlihat.
"Ian?"
Karena faktor pencahayaan, ekspresinya tampak agak cemberut. Untuk beberapa alasan, dia tampak tidak bahagia dan emosi negatifnya tampak terpancar keluar.
Setelah memperhatikan tatapannya, tanpa disangka Ian balas menatapnya dengan acuh tak acuh.
Amber memutuskan kontak mata saat Ian berjalan menuju ke dalam. Trysta sedang membantu petugas merawat gadis mabuk itu sambil bertanya, "Mengapa kamu tidak membiarkan seseorang mengirimnya kembali? Mengapa kalian semua ada di sini? Bukankah kamu mengatakan bahwa kamu ingin menikmati mata air panas?"
Amber mengangkat alisnya saat mendengar kata-kata Trysta. Pertama-tama, apakah seorang germaphobe seperti Ian pernah mandi di tempat umum seperti itu?
"Memang." Frank menjawab, "Tapi sudahlah. Jangan sebutkan itu. Saat kami akan melepas pakaian kami. Direktur Ian memiliki sesuatu yang dimunculkan. Jadi, mudah bagiku untuk menemukan Sarah kembali pada saat yang sama."
Sarah adalah pengiring pengantin yang mabuk yang tadinya diduga kerabat jauh Trysta. Saat Frank mengatakan itu, dia lalu menatap Amber dengan agak sungkan.
"Amber, kamu tidak minum malam ini, kan? Temanku harus segera pergi, tapi dia terlalu mabuk untuk mengemudi dan kami juga tidak dapat menemukan sopir pada jam ini. Bisakah aku minta tolong, menyusahkanmu untuk memberinya tumpangan? Tidak jauh, hanya setengah jam perjalanan bolak-balik."
Amber tidak menanggapi, hanya menatap Ian lagi. Dia berdiri di sisi ruanga dan dia tampak cukup sadar untuk mampu mengemudi sendiri. Ya, teman yang dimaksud Frank adalah Ian.
Kali ini, Ian bertindak cukup sopan. Dia berbalik ke arah Amber dan mengatupkan kedua tangannya segera setelah Frank selesai berbicara. "Maaf merepotkanmu."
Tindakan Ian saat ini tidak seperti pria yang sengaja memberikan kondom kepadanya tadi.
Amber tidak mengerti apa yang dia pikirkan dan enggan untuk setuju. Namun, tatapan tulus Frank dan Trysta serta bisikan Trysta—"Cepat suruh dia pergi. Dia akan merusak malam pernikahanku jika dia tinggal di sini lebih lama lagi"—yang akhirnya membuatnya setuju.
Amber ingin menghela nafas. Dengan bijaksana dia menjawab dalam upaya untuk menolak. "Aku jarang mengemudi dan mungkin bukan pengemudi yang baik."
Kali ini Ian berbicara langsung dengannya. "Jangan khawatir. Aku tidak takut mati."
Kata-kata Ian membuat Amber terdiam. Namun, kali ini Trysta yang mulai khawatir. "Sebenarnya, kenapa aku tidak mencari salah satu teman sekelas laki-lakiku saja? Sejujurnya, aku juga agak khawatir dengan Amber yang menyetir."
Frank menggelengkan kepalanya. "Lupakan saja, mereka semua sedang mandi. Akan terlalu merepotkan untuk menyeret orang lain keluar. Jangan khawatir, Amber adalah seorang dokter dengan kepribadian yang bisa diandalkan. Selama dia menyetir perlahan tidak akan ada masalah. Benar kan Direktur Ian?
Ian mengangguk-anggukan kepalanya.
Sementara itu, Trysta menatap Frank tanpa kata. Pasangan itu saling bertukar pandang dan Trysta akhirnya berhenti berbicara.
Keduanya mengantar Amber dan Ian ke parkiran. Saat Trysta melihat mobil itu pergi, dia tidak bisa menahan cemberut. "Apa yang kamu dan Ian rencanakan?"
Frank akhirnya tertawa dan memeluknya. "Apa yang bisa kita rencanakan? Aku hanya meminta teman sekelasmu untuk memberinya tumpangan."
Trysta menatap Frank curiga. "Benarkah? Kalian berdua bertingkah sangat aneh, terutama Ian itu. Dia bahkan lebih aneh lagi bisa datang hari ini."
Frank mencium puncak kepala Trysta. "Apanya yang aneh? Bukankah undangan suamimu layak dia datangi? Dan aku ingin dia segera pergi karena jika dia tetap tinggal, malam ini kita akan ...."
Sisa kata-katanya tenggelam dalam tawa mereka yang tenang. Trysta mendorongnya dengan ringan. "Bersikaplah yang benar."
"Dengan istri sendiri, apa gunanya bersikap benar?"
***
Amber sudah lama memiliki SIM, tapi dia jarang mengemudi dan mengingat betapa mewahnya mobil Frank, wajar saja jika dia gelisah sepanjang perjalanan. Belum lagi dia tidak bisa mengabaikan tatapan serius yang ditembakkan Ian kepadanya dari kursi penumpang.
Ian duduk di sana di sisi Amber dengan tangannya bertumpu pada sandaran tangan di antara mereka dan matanya menatapnya dengan penuh perhatian.
Setelah menyelesaikan pemeriksaannya, dia secara terpisah menyatakan, "Kamu terlihat sangat biasa, tapi mengapa mereka semua menyebutmu cantik?"
Saat baru saja berada di spa, dia telah mendengar semua percakapan teman sekelas Amber. "Terutama mengingat kamu hanya memiliki satu lesung pipit. Sungguh menjijikkan," lanjut Ian.
Amber berusaha sekuat tenaga untuk berpura-pura menganggap dia hanya angin lalu.
Melihat Amber mengabaikannya, Ian tampak bingung. "Mengapa kali ini kamu tidak berbicara?"
Namun, sejujurnya Amber bahkan lebih bingung dengan sikap Ian. Setelah memikirkan permintaan gurunya, dia mengemudi lebih lambat lagi kemudian bertanya, "Mengapa kamu berbicara begitu banyak hari ini?"
Saat pertemuan pertama mereka, selama itu Amber melihat dia jarang berbicara.
Mendapatkan pertanyaan dari Amber seperti itu, Ian terdiam. Namun, tepat ketika Amber hendak merenungkan apakah dia telah mengutarakan pertanyaannya terlalu langsung, dia tiba-tiba angkat bicara lagi.
"Aku ingin merayumu." Ian menatapnya langsung ketika dia bertanya, "Bolehkah aku melakukannya?"