Bab 3 Delapan Tahun Kemudian

Dengan cepat Andra mendorong kursi rodanya sendiri untuk mendekat. “Alana!” napasnya tercekat. Andra rasanya ingin mati saat ini juga. Ia tidak menyangka dengan apa yang ia lihat saat ini. Sebuah dokumen surat cerai yang sudah ditandatangani oleh Alana kini berada dalam genggamannya. Belum puas Alana membelah hatinya dengan surat cerai itu, mata Andra juga disuguhi dengan pemandangan nahas yang lain. Buku nikah mereka sudah berserakan dalam keadaan robek di atas kasur. Juga ada selembar surat yang mana tulisan tangannya sangat Andra kenali. Itu tulisan tangan Alana. ‘Andra. Maaf aku pergi tanpa pamit. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya bilang sama kamu. Aku sudah tidak sanggup hidup sama kamu, Ndra. Aku bosan hidup susah dan hanya mengandalkan gajimu yang kurang untuk menutupi kebutuhan kita. Apalagi sekarang kaki kamu lumpuh. Hidup kita pasti akan semakin susah.’ ‘Untuk itu aku memilih menyerah dengan pernikahan ini. Aku jatuh hati pada lelaki lain. Dan dia berjanji akan memenuhi kebutuhanku dan memberikan semua yang aku mau. Maaf, Ndra. Terimakasih untuk cinta kamu selama ini. Tolong tandatangani surat cerai kita. Karena aku sudah tidak mencintai kamu lagi.’ Seiring dengan air matanya yang menganak sungai di pipi, Andra meremas surat itu di tangannya. Kepalanya mendongkak menahan semua rasa sakit. Kemudian menggeleng tak menyangka. “Tidak! Kamu tidak bisa meninggalkanku, Alana. Kamu tidak boleh meninggalkanku. Aku mencintaimu. Jangan minta bercerai dariku. Tolong jangan pergi Alana! Jangan pergi..” Andra meraung-raung mengacak semua surat yang ada di atas tempat tidur itu hingga jatuh bertebaran di bawah lantai. Nita dan suster dengan cepat menenangkannya sebelum Andra semakin kalap dan memperburuk kondisinya. “Sadar, Ndra! Sadar! Alana sudah pergi! Dia sudah tidak mencintai kamu lagi. Berhenti menghabiskan air mata kamu hanya untuk menangisi wanita seperti dia!” Tapi Andra masih meraung. Seolah tak mendengarkan Nita sama sekali. Ia meremas dan mengacak sprei untuk menumpahkan tangis dan emosinya. “Kenapa kamu pergi, Alana? Kenapa? Aku memang lumpuh saat ini. Tapi kamu jangan khawatir. Kakiku akan sembuh lagi nanti. Aku masih bisa cari uang untuk kamu. Aku masih bisa bekerja. Jadi tolong pulanglah Alana. Aku tidak mau cerai darimu.” Nita menegakan tubuhnya sambil menghembuskan napas kesal. Ia sangat kesal pada Alana yang berhasil menguasai hati dan pikiran Andra. Rasanya Nita ingin menjambak Alana saat ini juga. “Andra! Dengar Mama! Kamu itu laki-laki yang kuat! Berhenti menangisi dia!” Nita menangkup kedua pipi Andra dan membuat Andra menatap tepat pada matanya. “Aku masih tidak bisa percaya, Ma. Alana pergi meninggalkanku. Dia merobek buku nikah kami dan menulis sebuah surat yang membuatku hancur. Dia bilang, dia sudah tidak mencintaiku lagi..” “Dari awal, Mama dan Papa sudah memberitahu kamu. Kalau Alana itu bukan wanita yang baik-baik. Dia hanya mau memanfaatkan harta kamu, Ndra. Hanya harta yang dia cari. Dia pikir dia akan menjadi kaya setelah menikah dengan kamu. Tetapi akhirnya dia menyerah juga saat yang dia dapatkan hanya kesusahan. Mama minta kamu berhenti membuang air mata untuk wanita murahan itu! Dia tidak pantas untuk kamu tangisi!” Andra merapatkan bibirnya, menahan rasa sesak yang begitu mendera di dalam hatinya. Matanya terpejam mengingat wajah Alana yang selalu ia pandang sebelum tidur. Tapi kini wajah itu menyisakan luka yang mendalam di hatinya. Alana sudah membuat hidupnya hancur berantakan. “Kembalilah, Ndra! Lupakan perempuan itu. Papa dan Mama akan sangat senang kalau kamu mau kembali ke rumah kita. Buktikan pada Alana, kalau kamu bisa jadi orang yang sangat sukses. Biar perempuan itu menyesal telah meninggalkan kamu!” Nita mempengaruhi pikiran Andra. Tentu saja ia tak ingin Andra dan Alana kembali bertemu sampai kapanpun. Yang Nita inginkan adalah Andra kembali ke dalam rumahnya. Dan membantu Darma untuk mengelola perusahaan mereka. Lantas kemudian, Nita dan Darma akan melanjutkan rencana mereka yang dulu sempat tertunda. Yaitu meneruskan perjodohan Andra dengan Sherly. *** “Sudah, Andra. Jika kamu belum bisa, sebaiknya tidak usah dipaksakan,” ucap Ken—terapis yang membantu proses fisioterapi Andra. Ken melihat Andra terjatuh ke bawah saat baru saja akan berlatih berdiri. Ia mengulurkan tangannya hendak mengangkat tubuh Andra. Tetapi dengan cepat Andra menepisnya. “Aku bisa. Aku tidak mau mengakhiri terapi ini tanpa memulainya!” Andra berkata dengan suara yang tegas. Ken menghela napasnya pelan. Pasien yang satu ini begitu keras kepala. Tapi ia mengangguk sebagai jawaban. “Baiklah. Kalau kamu memang mau melanjutkan, biar aku bantu kamu berdiri.” Andra menurut. Ia tak protes saat Ken berusaha mengangkat tubuh bagian atas Andra. Sementara Andra sendiri menjangkau tiang yang ada di kedua sisinya. Agar kakinya bisa berdiri dengan tegak. Nita memerhatikan dari belakang. Ia menggigit jari dan meringis saat Andra beberapa kali nyaris terjatuh lagi. “Sudah ku bilang ‘kan, kalau aku bisa!” Andra berkata saat ia berhasil berdiri. Meski tubuhnya agak condong ke depan dikarenakan kakinya masih belum bisa tegak dengan benar. “Bagus. Aku tahu kamu tidak patah semangat, Andra.” ken menyahut. Andra merasakan sedikit goyah di kakinya. Tapi ia merapatkan bibirnya dan menahan agar kakinya tidak tumbang lagi. Andra meyakinkan dirinya sendiri, kalau ia pasti bisa sembuh. Kakinya pasti akan bisa berjalan kembali. Andra bukan lelaki yang cacat! Ia adalah lelaki yang normal! Namun rupanya ucapan itu tak selaras dengan tubuhnya. Karena beberapa detik kemudian tangan Andra yang memegangi tiang, bergetar dengan hebat. Keringat dingin berucuran di kening dan pelipisnya. Selanjutnya tubuh yang jangkung dan kekar itu ambruk begitu saja. Membuat Ken bergegas mendekat. Nita bahkan menjeritkan nama Andra, dan berlari menghampiri anaknya itu. “Andra! Sudahlah. Terapinya hari ini sudah saja. Nanti kamu bisa terapi lagi lain waktu,” Nita menyentuh lengan Andra. “Iya, Andra. Terapinya cukup sampai di sini. Jika kamu jatuh terus-menerus. Tidak akan baik untuk kondisi kakimu,” tambah Ken. Namun lagi-lagi Andra menggeleng dengan tegas. “Tidak! Aku masih mau latihan berdiri satu kali lagi.” “Ndra! Tapi Mama khawatir—“ “Ma! Jangan perlakukan aku seolah aku ini adalah laki-laki yang lemah dan tidak berdaya! Aku akan bisa berdiri, Ma. Aku pasti bisa berjalan lagi. Aku harus menunjukan pada wanita itu, kalau aku bukan lelaki cacat seperti yang dia katakan. Aku harus membuatnya menyesal, karena telah meninggalkanku!” tegas Andra dengan tatapannya yang tajam. Ken mungkin tidak mengerti dengan apa yang Andra katakan. Tentang siapa wanita yang Andra maksud. Ia memilih tidak ikut campur karena ia hanyalah seorang terapis di sini. Tetapi Nita terkejut dengan amarah yang Andra pancarkan dari matanya. Lelaki itu seperti menyimpan dendam yang mendalam untuk Alana. Dan hal itu tentu saja membuat Nita merasa sangat senang. Akhirnya ia bisa juga membuat Andra membenci Alana. ‘Lihat saja Alana. Aku tidak akan diam mendapat penghianatan seperti ini. Bersenang-senanglah dengan kehidupanmu yang sekarang selagi kamu bisa. Karena jika sudah saatnya, aku akan merebut semua kesenangan itu untuk membalas semua rasa sakit yang sudah kamu buat!’ batin Andra. Nampaknya kebencian telah mendarah daging di hatinya untuk Alana. *** Delapan tahun berlalu… “Tuan Andra. Saya minta maaf, karena belum berhasil menemukan di mana Alana berada.” Rian—salah satu orang suruhan Andra kini berdiri menghadap Andra dengan wajah tegangnya. Bukan apa? Tatapan mata Andra yang tajam seakan terasa menusuk ke dalam jantungnya. Andra telah berubah menjadi lelaki tegas yang tak berperasaan. Ia tak segan menghardik semua orang yang tak bisa menjalankan tugasnya dengan benar. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Kini kedua kaki Andra sudah bisa berdiri dan berjalan dengan normal. Berkat terapi yang rutin ia jalani. Tetapi luka di hatinya tak kunjung samar. Luka itu masih sepekat delapan tahun yang lalu. Dan Andra sampai saat ini masih mencari di mana perempuan yang sudah memberinya luka itu berada? Alana adalah penyebab dari semua rasa sakit yang Andra derita. Tentu saja Andra tidak akan puas sebelum bisa menemukan Alana, dan memberikan pelajaran pada wanita itu. “Kamu gagal? Dan masih berani menghadap kepadaku?” “Maaf, Tuan. Saya akan berusaha mencari Alana sampai ketemu. Saya akan pastikan itu, Tuan. Saya janji.” “Aku tidak percaya,” kata Andra dengan nada dingin. “Sekarang juga kamu akan ku pecat. Keluarlah dari ruanganku dan jangan berani hadapkan wajahmu lagi padaku!” Bola mata Rian melebar. Ia menatap Andra penuh harap, kemudian menggelengkan kepalanya dengan cepat. Rian tidak ingin dipecat. Menjadi orang suruhan Andra untuk mencari Alana adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa menjamin hidupnya. Sebab Andra tak segan membayar orang-orang suruhannya dengan jumlah besar. Untuk itu, Rian akan sangat malang jika ia harus kehilangan pekerjaanya ini. “Saya mohon jangan pecat saya, Tuan Andra. Saya akan pastikan jika saya bisa menemukan Alana dan membawanya pada anda. Tolong berikan saya kesempatan satu kali lagi. Saya tidak ingin dipecat—“ Andra tak menggubrisnya meski Rian memohon hingga mulut lelaki itu berbusa. Jemari tangan Andra yang keras kini bergerak menekan sebuah tombol yang ada di atas meja kerjanya. Tak lama kemudian, dua orang keamanan datang untuk menghadap Andra. “Bawa dia keluar! Dia sudah mengganggu pekerjaanku!” suruh Andra pada kedua keamanan itu. Mereka mengangguk patuh pada Andra, lantas dengan cepat meringkus Rian yang berontak tak ingin ditarik keluar. Ia masih ingin memohon pada Andra agar tidak memecatnya. “Tidak, Pak! Saya tidak mau. Tuan Andra, tolong jangan pecat saya—“ Andra mendengus, melihat punggung ketiga orang itu yang kini menghilang dari balik pintu ruang kerjanya. Setelah bisa berjalan dengan normal, Darma memang langsung memberikan kepemimpinan perusahaannya pada Andra. Karena ia tahu, jika Andra bisa mengembangkan perusahaannya dengan baik. Terbukti dengan banyaknya proyek besar dan berjumlah fantastis yang berhasil Andra taklukan. Hingga Andra bisa membawa bisnis ayahnya jauh lebih maju dari sebelumnya. Sementara Darma memilih diam di rumah. Sebab usianya yang semakin menghadap senja, membuat kondisi tubuhnya mudah jatuh sakit. Jadi ia membiarkan Andra yang mengendalikan semuanya. “Di mana kamu bersembunyi, Alana?” Andra bertanya sinis. Di dalam ruang kerjanya yang sepi. sunyi. Tidak ada satu orang pun di sana kecuali dirinya. “Jangan harap kamu bisa lepas dari aku semudah itu. Karena sampai kapanpun, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kamu harus membayar apa yang kamu lakukan padaku delapan tahun yang lalu. Wanita murahan sepertimu, harus mendapatkan balasannya!” kecam Andra dengan gigi yang mengeletuk. Tatapan matanya sarat akan benci dan kemarahan. Sementara tangannya terkepal dengan erat di atas meja, hingga jari-jemarinya nampak memutih. Alana telah menorehkan luka di hatinya terlalu dalam. Hingga luka itu berbekas dan menyisakan kebencian.
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
FINLINKER TECHNOLOGY LIMITED
69 ABERDEEN AVENUE CAMBRIDGE ENGLAND CB2 8DL
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta