Bab 2 Pertemuan Ayah dan anak
Nara digendong paksa oleh James keluar dari tempat itu, dia hanya pasrah dan tidak melawan.
Hanya air matanya yang tidak berhenti mengalir dari sudut matanya.
Lima tahun ini dia selalu dianiaya, sampai ingin bunuh diri, tapi setiap teringat dengan putrinya yang tak berdosa, dia kembali menjadi tegar.
Dia membenci James!
Membenci James yang telah menghancurkannya!
Membenci James yang membuat dia dan putrinya teraniaya.
Dia memutuskan untuk tidak menikah, dan bekerja dengan giat agar bisa memberikan putrinya masa depan yang cerah.
Tidak disangka, setelah lima tahun, pria ini kembali muncul di hadapannya. Membuka luka lama di hatinya, dan menaburkan garam diatas luka itu.
Lantas, apakah Tuhan merasa dia belum cukup menderita, dan harus diberi cobaan lagi?
James tidak tega melihat Nara seperti ini, dan menurunkannya.
Dia yang tidak mengenal kelembutan, pertama kalinya berbicara dengan nada yang amat lembut : “Beri saya satu kesempatan untuk menebus kesalahan padamu dan anak kita, ya?”
“Bukan hanya demi putri kita, tapi juga demi dirimu.”
Saat putrinya terbahas, tubuh Nara tiba-tiba gemetaran.
Dia mengangkat kepalanya, dan tatapan matanya menunjukkan sedikit tanda kehidupan.
James berkata dengan lembut : “Saya tahu kalian sangat menderita selama ini, saya tahu kamu membenciku, tapi tolong beri saya satu kesempatan untuk menebus semua itu.”
“Seorang anak yang tumbuh dengan orang tua tunggal , tidak akan bahagia, itu bahkan membuat mereka kehilangan jati diri.”
“Nara, beri saya satu kesempatan, ya?”
Tatapan mata Nara sangat sulit diartikan, memang benar, putrinya sudah mulai memahami beberapa hal.
Keluarga tanpa Ayah itu tidak lengkap, dan tidak bahagia.
Setiap kali putrinya menanyakan dengan kasihan dimana ayahnya?
Dia hanya bisa menyembunyikan air matanya, dan tidak menjawab apa-apa.
Putrinya benar-benar membutuhkan sosok seorang ayah!
Nara menatap James, tatapan mata James begitu tegas dan bertekad.
Setelah sekian lama, dia akhirnya membuat keputusan dan berkata : “Baik, saya akan memberimu satu kesempatan untuk bertemu dengan putriku.”
“Tapi saya peringatkan kepadamu, jangan sakiti putriku, saya hanya ingin putriku memiliki seorang ayah, baru memutuskan untuk memberimu kesempatan ini.”
“Lalu, saya mengizinkanmu bertemu putriku, bukan berarti saya menganggapmu sebagai suamiku, mengerti?”
James menganggukkan kepalanya : “Baik!”
James mengerti maksud Nara, dia mengizinkan dirinya untuk menemui dan mengenali putrinya demi kebahagiaan putrinya.
Tapi Nara tidak bisa memaafkannya, dan lebih tidak mungkin menganggapnya sebagai suaminya.
James tahu kalau selama ini dia sangat teraniaya, pintu hatinya tidak mungkin terbuka begitu saja, itu perlu waktu.
……
Pada waktu itu!
Di TK Sabang Satu, didalam ruangan kelas.
Para guru tidak tahu kemana!
Seorang anak yang berbadan gemuk dan mengenakan pakaian dari merek ternama, sedang memegangi seutas tali dengan ekspresi penuh kemenangan.
Ujung tali satunya lagi, terkalung pada leher seorang gadis kecil, dia menggiring gadis kecil itu layaknya seekor anjing.
Bocah gemuk itu menarik tali itu dengan erat, sambil menggonggong dengan keras : “Wina Santika, sekarang kamu adalah anjingku, anjing itu harus menggonggong, ayo cepat kamu menggonggong!”
Gadis yang sedang merangkak di lantai itu berusia sekitar 4 tahun, wajah kecilnya menjadi kotor.
Wajah kecilnya yang tirus, sudah cukup untuk menggambarkan kecantikan seorang putri.
Tali yang dilingkari dilehernya membuatnya tercekik dan kesulitan bernafas.
Bocah gemuk itu berdecak tidak puas : “Wina, kamu ini anak haram yang tidak punya ayah. Cepat menggonggong, kalau tidak saya akan menyuruh teman-teman untuk memukulmu….”
Wina menangis dan berkata : “Bukan, saya bukan anak haram, saya bukan…..”
“Kalau saya bilang iya ya iya, dasar kamu anak haram! Cepat menggonggong.” Kata bocah gemuk itu.
Anak-anak lain yang melihatnya tidak bisa menahan tawa.
Disaat itu, James dan Nara muncul didepan pintu ruangan kelas.
Raut wajah Nara yang melihat kejadian itu langsung berubah, dan bergegas menggendong putrinya.
Dia melepaskan tali yang terlingkar di leher putrinya, dia panik, kesal, dan sakit hati : “Wina, kamu sedang apa?”
Wina yang melihat Ibunya langsung menangis : “Huhu….Ibu, Liam mengataiku anak haram, dan harus menggonggong. Kalau saya tidak menggonggong dia akan menyuruh teman-teman untuk memukuliku…”
Apa!
Tubuh Nara gemetaran!
Dia tahu kalau bocah gemuk yang bernama Liam itu sering mengganggu putrinya.
Tapi dia tidak menyangka, putrinya akan dianiaya separah ini.
Nara menggendong erat putrinya, dia menghibur putrinya : “Wina bukan anak haram, Wina punya ayah kok.”
Wina terisak-isak : “Tidak, Wina tidak punya ayah…..”
James tidak bisa menahan perasaannya lagi dan berkata dengan keras : “Tidak, kamu punya ayah, saya ayahmu.”
Wina curiga dan bertanya kepada Nara : “Ibu, apa dia benar ayahku?”
Nara menganggukkan kepalany : “Benar, ini Ayah Wina, dia baru saja kembali dari militer.”
“Ayah….”
Nara membiarkan James yang menggendong Wina.
Dia melingkari tangannya pada leher James dan berteriak memanggilnya dengan semangat.
James yang menggendong putrinya dipenuhi oleh kelembutan, dia merespon panggilannya dengan lembut.
Nara yang berdiri disamping dan mendengar putrinya meneriakkan kata Ayah, membuat hatinya bergetar.
Ini pertama kalinya putrinya merasakan cinta kasih seorang ayah.
Wina yang digendong oleh James, melingkari tangannya di leher James, dan berteriak berkali-kali sebelum akhirnya berhenti.
Jiwa kecilnya baru pertama kali merasa begitu bahagia, dan begitu bangga.
Dia menoleh pada Liam dan berkata dengan bangga : “Lihat kan, saya punya ayah, saya bukan anak haram.”
Bocah gemuk itu menjawab : “Dia bukan ayahmu, Ibuku mengatakan padaku, kalau Ibumu mencuri seorang pria dan melahirkan anak haram sepertimu, kamu tidak punya ayah.”
Mendengar itu raut wajah James berubah menakutkan!
Nara tidak tahan lagi dan berkata dengan keras : “Adik kecil, kalau kamu terus bersikap tidak sopan seperti ini, saya akan memberitahu gurumu, biar gurumu yang menghukummu.”
Bocah gemuk itu kaget, dan langsung menangis.
“Putra kesayanganku, siapa yang mengganggumu?”
Saat itu, sebuah suara yang cempreng terdengar.
Sesosok wanita paruh baya yang berbadan gemuk, dan mengenakan perhiasan-perhiasan, memasuki ruangan kelas dengan wajah penuh amarah.
Wanita yang terlihat kaya ini, adalah ibu dari Liam, yang datang untuk menjemputnya pulang.
Saat Liam melihat Ibunya, dia langsung menunjuk Nara, dan berkata sambil menangis : “Ibu, dia menganiayaku, dia memukulku!”