Bab 6 Datang kerumah untuk minta maaf
James menggendong putrinya, dan menghibur mereka dengan berkata : “Jangan sedih, bisa jadi besok Halim akan datang kemari untuk minta maaf kan?”
Dia lebih baik tidak berkata apa-apa daripada membuat masalah seperti ini.
Sarah meluapkan seluruh emosinya kepada James : “Kamu masih berani bicara, kalau bukan kamu yang memukuli Pak Halim dan Mira di perusahaan, Paman tidak akan datang kemari untuk menganggu kami kan?”
Nara tidak menyalahkan James, James memukuli mereka karena melindungi dirinya.
Dia menghela nafas dan berkata : “Pak Halim datang kemari untuk meminta maaf kepadaku? Kamu berpikiran terlalu jauh, dia bersedia untuk tidak membawa masalah ini ke ranah hukum, dan melanjutkan kerja sama dengan perusahaan Primanusa saja, saya sudah sangat bersyukur.”
James berkata dengan tenang : “Tenanglah, kalau saya bilang dia akan datang kemari untuk minta maaf besok, dia pasti akan datang.”
Nara sekeluarga bahkan tidak menanggapi perkataan James, seorang Halim Kusuma, tidak akan mungkin datang meminta maaf kepada mereka.
Bila terjadi mujizat yang membuat Halim tiba-tiba memiliki hati nurani pun, dia tidak akan mungkin datang kemari dan meminta maaf.
Karena kaki kirinya sudah dipatahkan oleh James, dan dia sedang terbaring di rumah sakit.
Mana mungkin Pak Halim datang kemari dengan tongkat hanya untuk meminta maaf ?
Putra merasa James hanya membual lagi, wajahnya menjadi serius dan berkata : “Tidak usah memikirkan hal yang tidak mungkin, pikirkan saja bagaimana cara meminta maaf kepada Pak Halim.”
“Besok saya akan mengantarmu ke rumah sakit untuk minta maaf pada Pak Halim, James, kamu juga ikut.”
Selesai mengatakan hal itu, Putra dan Sarah kembali ke kamar mereka.
Nara juga sedang menampung air untuk memandikan putrinya.
James berjalan keluar ke balkon, mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang : “Tommy, beritahu Samuel….”
Malam itu, James tidur di kamar bersama dengan Nara dan putrinya, walaupun dia tidur di lantai, tapi Nara tetap merasa tidak tenang.
Sebelum tidur dia berkata kepada James : “Saya dengar pria mempunyai kebiasaan tidur yang tidak senonoh, kalau kamu bisa menjaga etikamu, saya akan sangat berterimakasih.”
James menahan tawanya dan berkata : “Baik!”
Wina penasaran dan menatap ayahnya yang tidur dilantai : “Ibu, kenapa Ayah tidak tidur bersama Ibu?”
Wajah Nara merona, dia merasa sedikit malu lalu menegur : “Siapa yang bilang padamu Ayah dan Ibu harus tidur bersama?”
Wina menjawab polos : “Di televisi semuanya seperti itu.”
Nara mendengus dingin : “Acara apa yang kamu tonton, Ibu menghukummu tidak boleh menonton TV selama dua hari.”
Mendengar itu, bibir kecil Wina langsung cemberut, dia merasa sedih.
……
Keesokan paginya, dini hari.
Nara dan sekeluarga sudah bangun, dan menemukan sarapan yang sudah dipersiapkan James.
Putra, Sarah dan Nara saling bertukar pandang, hanya Wina yang berteriak semangat : “Wah, wangi sekali!”
James menyiapkan bubur dan acar, lalu susu dan telur rebus, serta buah-buahan, sangat mewah.
Putra segera tersadar dan menatap James, dia menarik kursi dan berkata : “Kalau begitu, ayo sarapan, setelah ini, kita akan mengantar Wina ke sekolah, lalu membeli buah-buahan dan pergi ke rumah sakit untuk meminta maaf kepada Pak Halim, agar dia mau membuka pintu maaf.”
Baru saja Putra menyelesaikan perkataannya, dari luar terdengar ketukan pintu dan suara yang sangat segan : “Permisi, apa ada orang dirumah?”
Sarah mengernyitkan keningnya : “Siapa yang datang pagi-pagi?”
Nara berkata : “Mungkin sales yang menjual alat pemurni air atau sebagainya, coba saya lihat.”
Nara berkata sambil berjalan kearah pintu.
Saat dia membuka pintu dan melihat orang yang ada dibaliknya, matanya membelalak tak percaya dan dia kehilangan kata-katanya : “Ka….Kamu, untuk apa datang kemari?”
“Nara, siapa itu, kenapa sampai kaget begitu.”
Putra dan Sarah melihat Nara yang terkejut, langsung meletakkan sendoknya.
Dan berjalan menuju pintu, mereka tercengang saat melihat sesosok pria paruh baya yang sedikit botak, mengenakan gaun rumah sakit dan memapah tongkat, kaki kirinya di gips penuh dengan perban.
Dibelakang pria ini, berjejer beberapa pengawal yang mengenakan setelan jas dan sepatu kulit.
Putra dan Sarah tercengang, mereka sedikit tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, dan kebingungan.
Pria paruh baya itu memaksakan senyuman di wajahnya : “Saya, Halim Kusuma, Direktur dari Perusahaan Kusuma Raya. Hari ini datang kemari untuk meminta maaf kepada Pak James Hartawan, dan Nona Nara Santika atas kelakuan saya yang sangat tidak bermoral kemarin.”
Apa?!
Putra, Sarah dan juga Nara yang mendengarkan perkataan Halim tercengang, mereka kaget sampai tidak bisa mengatakan apapun.
Seketika, mereka bertiga teringat.
Semalam, James mengatakan dengan pasti, kalau hari ini Halim akan datang kemari untuk meminta maaf.
Mereka bertiga menoleh kearah meja makan, menatap James yang sedang menyuapi putrinya, dan berpikir dalam hati mereka : Ini hanya kebetulan, atau ulah bocah ini?
Nara menarik nafas dalam-dalam, dia belum sepenuhnya memproses kejadian ini, dan menatap Halim dengan tatapan rumit : “Pak Halim, apa Anda serius?”
Halim yang mendengar itu seketika langsung panik.
Dia segera berkata : “Tentu saja, hari ini saya datang kemari untuk minta maaf dengan tulus.”
“Saya bahkan tidak mengizinkan bawahan saya memapah saya menaiki tangga ini. Saya menaiki tangga dengan tongkat saya ini, untuk membuktikan ketulusan saya untuk meminta maaf.”
Mendengarkan perkataan Halim, mereka bertiga kembali tercengang.
Mereka memperhatikan wajah Halim yang masih memerah, dia juga berkeringat, dan nafasnya masih terengah-engah, sepertinya dia memang menaiki tangga tanpa bantuan orang lain.
Astaga!
Halim Kusuma yang biasanya begitu arogan dan berlagak.
Hari ini datang kerumah mereka, menaiki tangga ke lantai 6 dengan kakinya yang patah, untuk meminta maaf.
Apa hari ini matahari terbit dari barat?
Halim melihat Nara tidak memberikan respon apapun, juga tidak mengatakan kalau dia sudah memaafkannya.
Dia menjadi semakin panik, hatinya kalut, dia menggertakkan giginya : “Nona Nara masih belum memaafkan saya yang hina ini, sepertinya ketulusan hati saya yang hina ini belum cukup.”
“Tentu saja, saya tahu kalau kelakuan saya kemarin sangat keterlaluan, hari ini saya akan bersujud memohon maaf kepada Nona Nara, saya berharap Nona Nara akan bisa memaafkan saya yang hina ini.”
Baru menyelesaikan perkataannya, Halim langsung membuang tongkatnya, mengabaikan kaki kirinya yang masih di gips dan hendak berlutut kepada Nara.
Ini langsung membuat Nara dan kedua orang tuanya semakin kebingungan.
Para bawahan Halim juga berkata dengan panik : “Bos, tulang di kaki kiri Anda patah, kalau Anda memaksakan untuk berlutut, bisa-bisa Anda menjadi cacat.”
Halim mengamuk dan mendorong bawahannya : “Pergi kalian semua, kalian tidak membiarkanku meminta maaf kepada Nona Nara, kalian ingin melihatku mati ya?”
Halim mendorong bawahannya seperti orang gila, dia bersikeras mau berlutut untuk meminta maaf kepada Nara.
Seketika, James menggendong putrinya dan menuju ke pintu, lalu berkata kepada Nara yang masih terbengong : “Istriku, karena Pak Halim sudah begitu tulus, sampai-sampai datang kemari untuk meminta maaf, sepertinya bukan tidak mungkin untuk memaafkannya kan.”
Mendengar perkataan James, Nara langsung tersadar dari lamunannya, dan segera melambaikan tangannya kearah Halim : “Dimaafkan, iya, saya sudah memaafkanmu, tolong jangan berlutut. Kalau kamu sampai menjadi cacat karena berlutut padaku, saya akan menanggung dosa yang berat.”
Halim bertanya dengan semangat : “Kalau begitu, Nona Nara sudah memaafkan saya ya?”
“Iya, saya memaafkanmu.”
Dalam hati Nara berpikir, kalau tidak memaafkannya, dia akan bersikeras berlutut, dia tidak akan bisa menanggung itu.
Halim menepukkan tangannya dan tersenyum : “Ye, sudah dimaafkan, Nona Nara sudah memaafkan saya.”
Dia tersenyum bahagia, lalu berbalik dan pergi.
Beberapa bawahannya, terkejut dan segera memapahnya pergi.
Nara berkata dengan suara pelan : “Apakah dia sudah gila?”
James tersenyum dan berkata : “Tidak, dia hanya sangat bahagia.”
Nara dan keluarganya saling bertukar pandang.