Chapter 3 Sikap aneh Raihan
"Pakai jasku saja." Raihan melepaskan jasnya dan memasangkan ke tubuh Rania. Raihan menuntun sang wanita untuk duduk di anak tangga. Lalu, laki-laki itu berjongkok di depan Rania.
"Maaf ... itu salahku ...." Raihan mengeluarkan tisu basah dari kantongnya dan reflek membuka kedua kaki Rania lebar-lebar.
Sontak Rania membulatkan kedua matanya.
"P-pak ...."
Raihan menaikkan sedikit dress Rania dan mulai mengusap paha Rania dengan tisu basah tersebut. Paha yang disentuh oleh Pak Pandu. "Laki-laki menjijikkan ... sudah tua dan tidak tahu diri."
Rania terdiam begitu saja saat Raihan dengan telaten mengelapi paha dan tangannya dengan lembut. Ada rasa haru dalam hati Rania, ini seperti Raihan Atmadja di masa lampau yang Rania cintai.
"Anggap saja malam ini Raihan Atmadja tidak mengingat apapun tentang kesalahan Rania di masa lampau. Aku akan mengabaikan itu untuk saat ini," ucap Raihan dengan pelan. Lalu menarik lengan Rania untuk diantarkan pulang.
"Sudah mau turun hujan, mobilku tidak ku parkirkan disini, parkiran mobilku jauh, kita harus berjalan kaki kesana."
Rania menuruti Raihan begitu saja dengan tubuhnya yang masih lemas akibat kejadian tadi. Belum sampai, hujan turun langsung dengan deras, membuat Raihan dan Rania berteduh di dekat sebuah wartel. Saat ia tahu, Rania masih ketakutan akan kejadian tadi.
Laki-laki itu dengan gentle membawa bahu sang wanita untuk menghadap ke arahnya. Sadar akan perlakuan lembut Raihan, Rania mendongakkan kepalanya. Disana, mata teduh itu, mata teduh milik Raihan memandang Rania dengan lembut. Mata Rania berkaca-kaca, sebenarnya sudah dari tadi ia tahan-tahan agar tidak menangis, namun saat melihat mata Raihan, air matanya luruh begitu saja.
"Maaf …," lirih Raihan dan membawa tubuh Rania ke dalam pelukannya. Raihan mengunci tubuh Rania dalam dekapan hangatnya. Sangat erat dan paling erat. Entah perasaan apa yang datang. Rania memberanikan diri untuk menyenderkan kepalanya pada dada bidang Raihan.
"Eungh ... a-aku takut …," gumamnya dengan lirihan yang tentu di dengar oleh Raihan.
Raihan semakin mempererat pelukannya dan melayangkan kecupan lembut di puncak kepala Rania. "Maaf ... maaf …," lirihnya yang malah membuat Rania semakin menangis deras. Raihan tidak tega, walau bagaimanapun di masa lampau Raihan pernah mencintai Rania dengan tulus.
Seiringnya air hujan turun, sebanyak itulah jantung Raihan berdetak lebih cepat, perasaan hangat terus menjalari tubuhnya, tidak pernah berubah persis seperti masa lampau.
Raihan memutar kembali memorinya....
"Sayang ... sayang kemarilah," ucap Raihan menarik lengan Rania lembut dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya.
"Kak, malu is …," jawab Rania sambil celingak celinguk ke samping.
"Apa yang malu, kan Rania pacar Kakak."
"Ihhh ... ga usah besar-besar ngomongnya, entar ada yang denger, gimana?"
"Memangnya kenapa, sih? Kamu punya pacar lain, ya?" Raihan menggerak-gerakkan tubuh Rania yang ada dalam pelukannya.
Rania mendongak. "Mana ada Ran-"
Cup!
Belum selesai berbicara, Raihan sudah membungkam mulut Rania dengan mulutnya. Berkahir, Raihan yang melumati bibir Rania dan digigiti kecil-kecil. Raihan melepas ciumannya dan berbisik di telinga Rania.
"Habis ini ya ... aku mau …."
"Mau apa?" tanya Rania kebingungan.
"Mau minta jatahku, udah enggak tahan."
"Mesum banget isss!" Rania memukul dada Raihan pelan. "Kemarin malam Kakak udah ambil jatah, masa mau lagi?"
"Ya gimana, namanya juga pengen."
Rania menggelengkan kepalanya.
"Enggak! Rania besok ada UTS!"
"Kan besok Kakak juga yang ngawasi UTS kalian, nanti Kakak tunjukin deh jawabannya."
"Enggak!" Rania melepaskan pelukannya pada Raihan, membuat lelaki itu mengerucutkan bibirnya.
"Pelit."
"Biarin."
"Kuburannya sempit."
"Kakak!!"
Setelah itu mereka saling tertawa dan kembali menuju kos-nya Rania dengan berjalan kaki. Mereka memang sangat suka berjalan kaki di malam hari, entah hanya untuk menghirup udara segar atau membeli sesuatu. Semenjak itu, Raihan jadi jarang pulang ke apartemennya, dia lebih suka menghabiskan waktunya bersama Rania.
Tap!
"Pak." Rania melepaskan pelukannya pada Raihan membuat Raihan tersentak. "Pak. Hujannya sudah berhenti, aku memikirkan anakku yang sedang menunggu."
Rania sudah hendak berjalan lagi. Tiba-tiba saja tangannya ditarik Raihan, membuat tubuh Rania memutar menghadap Raihan kembali.
Dengan keberanian yang siap, Raihan bertanya pada Rania. "Vano itu siapa? Dan berapa umurnya sekarang?"
***
Sudah satu minggu berlalu, tidak ada yang spesial ataupun berubah. Raihan kembali menjadi sosok sebelumnya. Namun, dia sekarang lebih bisa mengontrol emosinya jika melihat Rania. Sekarang, laki-laki itu sedang fokus pada buku agenda di atas meja kerjanya. Dia membaca rangkaian kegiatan proses berjalannya perusahaan. Apalagi, sebentar lagi dia ditunjuk untuk meneruskan perusahaan ayahnya itu.
Cklek!
Pintu ruangannya terbuka, menampilkan wajah sempurna Jihan yang menawan. Wanita itu datang membawa cemilan untuk Raihan.
"Mas? Fokus sekali?" Jihan meletakkan kotak makannya di atas meja dekat sofa. Kakinya mengayun mendekati Raihan.
"Oh, Jihan. Mas sedang melihat grafik perkembangan perusahaan." Raihan tersenyum tipis saat Jihan alih-alih langsung meminta Raihan memangkunya. Raihan dengan siaga menerimanya. Sebenarnya pikirannya juga bercabang, bersangkut paut dengan hal lain. Terutama malam itu, saat ia bertanya pada Rania, siapa Vano?
'Vano itu siapa? Berapa umurnya?'
Perempuan di depannya sedikit tersentak, membuat Raihan semakin curiga.
Wanita itu dengan santai menjawab, 'dia anakku bersama suamiku.'
'Siapa suamimu? Dimana dia, sampai kau harus membawa dua anakmu dan membesarkannya seorang diri? Bercerai?'
Rania menggelengkan kepalanya. 'Tidak. Suamiku adalah Naresh Raykarian.'
'Naresh Raykarian? Jika tidak bercerai, kemana dia?'
'Dia sudah pergi meninggalkan dunia sebelum Vano lahir.'
Raihan terdiam mendengar penuturan Rania. Lalu, Rania melanjutkan lagi. 'Dia bukan anak ayahmu. Walau aku gila uang, aku tidak akan nekat membiarkan sebuah janin tumbuh dari seorang laki-laki yang sudah beristri.'
Begitu saja waktu berlalu, perkataan Rania masih terngiang-ngiang di kepala Raihan, sampai-sampai Jihan harus menyadarkan Raihan dari lamunannya.
"Kenapa melamun?" Jihan mengelus dagu Raihan membuat lelaki itu sedikit tidak nyaman. Ya, memang ada laki-laki dielus seperti ini tidak geli? Atau bahkan lebih.
"Lagi banyak pikiran aja," jawab Raihan sambil memberikan senyum tampannya untuk calon istrinya.
Cklek!
Junaidi masuk ke dalam ruangan Raihan sambil membawa berkas untuk persiapan rapat yang akan dipimpin oleh Raihan nanti.
"Pak, permisi. Ini bahan untuk rapat nanti siang." Junaidi meletakkan berkasnya di atas meja dan melirik sebentar ke arah Jihan yang juga memerhatikannya. Junaidi menunduk dan memberi hormat pada Jihan.
"Dari tim skema perencanaan siapa yang menggantikan Renan?"
"Rania, Pak."
"Oh, ya sudah. Terima kasih."
Junaidi pun pamit dan keluar ruangan meninggalkan mereka berdua.
"Mas ...."
"Iya," jawab Raihan yang membenahi berkas-berkasnya. Dia berniat akan menemui divisi pemasaran untuk menanyakan langsung detail pemasaran bulan ini, berjalan stabil atau tidak.
"M-mas kemarin …. Rania ...."
Raihan memberhentikan aktivitasnya dan menatap Jihan dengan lembut. "Aku sudah tidak ada apa-apa lagi dengan Rania, kau tahu itu ...."
Jihan memeluk leher Raihan dengan erat. "Lantas, kapan Mas akan benar-benar memberikan seluruh hati Mas untukku?" Rasanya sangat sulit untuk Jihan lalui, membuat laki-laki itu untuk hanya menatap ke arahnya saja, sangat sulit.
Raihan membalas pelukan Jihan dengan sayang. "Aku sedang berusaha Jihan, aku juga tidak ingin mengecewakan ayah dan ibuku, pahami aku sedikit lagi, ya ...." Jihan hanya diam mendengar jawaban dari Raihan, dirinya juga mengerti keadaan Raihan sekarang.
***
Seperti biasa, Vano selalu ikut Rania bekerja. Bagi Vano, kantor Buna adalah rumah kedua setelah rumah pertamanya (Apart Jakarta). Anak laki-laki itu bermain di dekat ruang para staff bekerja. Tidak mengganggu dan asyik dengan dunianya sendiri. Dia bermain dengan mobil truk mainannya dan tayo bus mainannya.
"Bum-bum ... Ano akan tablak tayo na ... awas ... bum-bum." Vano menabrakkan mobil truknya ke mobil tayonya. "Bum-bum ... citttt ... tayo na asuk julang," ucapnya lagi dengan antusias.
Seorang laki-laki berjongkok di samping Vano. "Kau sedang apa?" tanyanya melihat Vano bermain di bawah lantai.
Vano menoleh dan terkejut. "A-ano yagi main obil-obilan …. Ano t-tidak menculi kok tuan ...," jawabnya sopan sekali. Mendengarnya, membuat laki-laki itu tersenyum tipis. Merasa bersalah. Raihan merasa bersalah, sangat.
Raihan mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Vano. Tepat saat itu, getaran hangat menjalar begitu saja menyelimuti hati Raihan, entah mengapa senyaman itu.
"Maafkan Paman, ya. Paman tidak bermaksud jahat pada Ano waktu itu."
Vano melebarkan senyumannya. "Iya, Paman. Kata Buna, Paman waktu itu cedang banak pikilan."
Raihan tersenyum mendengar balasan anak itu. Rania mengajarkannya dengan sangat baik.
"Mau ikut Paman membeli jajanan?" tawarnya dengan reflek begitu saja. Bukankah Vano anak yang lucu dan sangat menggemaskan? Siapa pun pasti akan dengan suka rela mengajaknya membeli jajan.
"Apa boyeh?"
"Tentu, boleh. Ayo ...." Raihan menyodorkan telapak tangannya, membuat Vano menaruh tangannya di telapak tangan Raihan. Lagi, euphoria itu muncul. Bahkan, Raihan ingin mencium pipi anak laki-laki itu dan menggendongnya.
Raihan membawa Vano pergi ke kantin untuk membelikan jajanan. Menyisakan Rania yang sejak tadi berdiri di balik pintu utama ruangan staff. Dia memegangi dadanya yang bergemuruh hebat. Niat awal ingin mengajak Vano makan, malah tidak jadi karena seseorang lebih dulu membawa putranya pergi.
"Kuatkan aku, Tuhan …," lirih Rania sendu.
Semoga kedepannya dia masih mampu bertahan sebelum ia benar-benar siap meninggalkan perusahaan ini dengan uang tabungan yang cukup. Setelah uang tabungannya cukup, Rania berniat akan pergi dan menetap di Daegu bersama David dan Vano.
***
Rapat dimulai dengan dipandu oleh Sobri, penanggung jawab dan penasehat direktur utama perusahaan, istilahnya kaki tangan dari ayah Raihan. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Rania juga fokus pada penjelasan dari ketua tim pemasaran yang sedang persentasi. Dia tidak ingin mengecewakan Renan dengan menjadi orang bodoh dan tidak tau apa-apa tentang rapat ini.
"Ran ... matamu sudah hampir copot, berkedip sedikit biar ga juling," ucap Yoga yang berada di samping Rania.
"Kalau ga gini, aku jadi dongo. Mataku rabun, minusku naik ... aku belum mengganti kaca mataku."
"Kapan kau akan menggantinya?"
"Harusnya bulan ini aku berniat mengganti kaca mata. Namun, David dan Vano ingin beli robot apa itu aku lupa namanya ... katanya limited edition. Jadi, aku tunda lagi beli kaca matanya sampai bulan depan."
"Ya Tuhan Ran, aku jadi pengen jadi anakmu. Biar diutamain beli mainan dari pada kebutuhan sendiri."
Rania terkekeh kecil. "Haha. Aku sekarang hidup hanya untuk membahagiakan David dan Vano. Selebihnya, aku tidak tertarik, yang penting anak-anakku bahagia." Yoga yang terkesan, reflek merangkul Rania. Rekan kerjanya itu memang pantas menjadi role model untuk wanita karir di luar sana. Hidup dan bekerja demi anak.
Raihan melihat ke arah keduanya, dia menatap intens Rania yang sedang terkekeh dengan Yoga.
"Cih! Bahkan dia masih bisa terkekeh di saat ibuku di rumah menderita karena ulahnya," gumamnya dengan manik mata tajam yang mematikan.
***
Kediaman Atmadja sore itu sedang tidak baik-baik saja, terjadi keributan yang cukup membuat atensi orang-orang disekitarnya bisa terganggu jika terdengar di telinga mereka.
Hani dan Haru terus saling beradu mulut di dalam kamar utama mereka dan Hani yang sangat membenci tatapan suaminya itu, Haru.
"Kau laki-laki jahat yang pernah aku temui, Haru!" teriak ibu Raihan, Hani. Wanita itu menatap nyalang kepada sang suaminya yang berada dihadapannya. Sungguh, Hani sangat ingin mencabik-cabik wajah suaminya itu. Dia merasa hidupnya semakin kelam karena perilaku buruk Haru yang dengan sengaja telah merusak kebahagian seseorang.
"Tidak usah meneriakiku, kau cukup duduk enteng menikmati masa tuamu, itu saja," balas ayah Raihan, Haru. Laki-laki yang menginjak usia lebih dari setengah abad itu tidak mau kalah dari istrinya dan dia menganggap dirinya benar saat ini.
"Kau menyakiti hatiku! Kau membuatku tertekan selama masa hidupku! Tolong jangan begini! Aku lelah!" Hani menyerakkan buku-buku Haru yang berada di atas meja kerjanya. Membiarkan berserakan di lantai bersama perkakas kecil lainnya termasuk gelas teh yang ada di atas meja tersebut.
"Yang kulakukan sudah benar, Hani! Jangan campuri urusanku lagi! Kau nikmati saja harta dan kemewahan ini! Pergi berbelanja bersama teman-temanmu itu, apa uang yang selalu kuberikan itu tidak cukup untukmu?" Haru berdiri dari duduknya sambil memijit batang hidung. Dirinya juga dilanda rasa pusing di bagian kepala karena terus meladeni kemarahan istrinya tersebut.
"Aku tidak hidup tenang selama ini! Jangan terus menyakiti hatiku dengan kelakuanmu itu! Aku tidak butuh uangmu! Yang kubutuhkan saat ini adalah kebajikan dan hati nuranimu yang menghitam itu. Aku mohon ... jangan ambil kebahagianku ...." Hani pun terduduk di lantai dengan lemah, rasanya dia sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan suaminya. Jari-jemarinya ia kepal begitu kuat sambil memukuli dadanya yang begitu sesak, dia ingin semua berakhir tanpa ada satu pun yang tersakiti.
"Yang kulakukan sudah benar, wanita itu menghancurkan kita, Hani."
"K-kau ... putraku h-hancur."
"Dia bahagia. Putra kita bahagia bersama Jihan. Apa kau tidak lihat itu?"
Hani menggeleng, tidak menyetujui ucapan suaminya. Setelah itu, Hani tidak sadarkan diri tiba-tiba karena kelelahan saat menangis histeris tadi. Tubuhnya rentan jika dia sudah kelelahan atau pun tertekan.
Haru mendekat dan mengangkat Hani keluar kamar. "Sudah ku katakan, kau pikirkan kehidupanmu saja, jangan mencampuri masalah yang lain," bisik Haru di telinga istrinya, lalu bergerak mengayunkan kakinya menaruh Hani di atas tempat tidur.
Dalam setengah sadar Hani bergumam sendu, tangannya juga meraba-raba seprai kasur. "Rania .... R-rania ... j-jangan ambil k-kebahagianku ... Rania."
Mendengarnya, membuat Haru mengabaikan begitu saja. Dia menarik selimut Hani sampai ke atas dada. Setelah itu, Haru melenggang pergi dari hadapan Hani dan memilih ke luar rumah untuk duduk di teras taman belakang. Membiarkan dirinya menghirup udara segar dan bisa berpikir lebih jernih lagi untuk tidak tersulut emosi dan melampiaskan pada istrinya yang mudah tertekan dan jatuh sakit.
•••