Chapter 8 Vano Terluka

The day. Hari terakhir Rania bekerja di perusahaan keluarga Atmadja. Dia sudah mengemasi barang-barangnya dan diletakkan dalam dua buah kardus. Tidak ada yang tersisa, hanya ada sebuah vas bunga kecil yang bukan kepunyaannya. Seseorang berlari menghampiri Rania dengan tergesa-gesa. Tampak, napasnya tersengal-sengal karena berlarian sepanjang jalan koridor menuju ruangan staff yang ditempati Rania. "Kakak! Kakak. Vano sedang menangis diluar. Bos memarahinya karena Vano dan Dean memecahkan pot bunga keramik di dekat ruang vip," ucap Rahayu sambil menarik-narik lengan Rania tidak sabaran. Mengajak seniornya itu untuk segera menghampiri Vano. Rania membulatkan matanya dan kaget atas perkataan Rahayu. "Dimana anakku sekarang?" Rania bergegas memakai sepatu haknya dan mengikuti jalan Rahayu. "Masih disana. Ada si Jihan Jihan itu juga Kak, cepatlah! Vano menangis keras." Rahayu terus menarik-narik lengan Rania dengan tidak sabaran. Rania pun berlari tergesa-gesa mengikuti langkah kaki Rahayu dibelakangnya. Belakangan, Rania sangat sensitif dengan sesuatu yang berkaitan dengan Vano. Ia takut, putranya tiba-tiba sakit ataupun diganggu anak sebayanya. "Huahhhh .... B-buna .... B-buna ...." teriak Vano histeris sambil mengusap telapak tangannya yang memerah karena sakit. Begitu pedih, sampai air matanya mengalir deras tanpa mau berhenti. "V-vano ...." panggil Rania, saat mendapati Vano yang lengannya sedang dipegang oleh Raihan. Tampak, Raihan berusaha membujuk putra laki-laki Rania agar berhenti menangis. Raihan menolehkan kepalanya menghadap Rania. "Anakmu memecahkan pot bunga, tangannya berdarah dan tidak mau diobati," ucap Raihan dengan raut wajah yang dingin namun tetap terlihat khawatir. "B-bos memarahi anakku?" tanya Rania ragu-ragu, dia takut dengan tatapan dingin yang terpampang dari wajah Raihan. Seketika nyalinya ciut dan merasa ingin cepat-cepat membawa Vano untuk segera pulang ke apartemen. Raihan menatap Rania dengan sedikit tidak enak. "Aku memarahi Dean dan Vano, mereka bermain dan membuat ribut, menganggu kenyamanan para investor disini." Jihan menggendong keponakannya yaitu Dean yang juga menangis. Kini, Jihan kesal dengan Raihan atas sikapnya. Bisa-bisanya calon suaminya malah mengurusi anak orang lain ketimbang membujuk Dean yang merupakan keponakan calon istrinya. "Kenapa Mas memarahi Dean, sih? Dia baru saja sembuh dari sakitnya," protes Jihan pada Raihan. Dia khawatir karena Dean baru sembuh, tapi malah menangis karena dimarahi oleh Raihan. Raihan pun memandang Jihan sekarang. "Aku tidak memarahi yang berlebihan. Aku hanya memberi pengertian. Lihat kan akibatnya? Mereka memecahkan pot bunganya, berakibat telapak tangan Vano berdarah." "Kenapa Mas peduli dengan telapak tangannya yang berdarah? Apa Mas akan menuduh Dean yang nakal disini?" Raihan menarik napas dengan kasar dan menghembuskan perlahan. "Bukan seperti itu, aku memarahi untuk menasehati. Lihat sendiri, jika nakal bisa mengakibatkan terluka," kilahnya dengan ucapan yang sabar agar tak melukai hati calon istrinya. "Tetap saja, Mas tidak boleh memarahi keponakanku!" bela Jihan lagi. Dia tetap tidak terima atas sikap Raihan. "Aku tidak memarahinya tanpa alasan, Jihan. Sudahlah, aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu," jawabnya dingin sambil menuntun Vano yang masih terisak tangis. Bahkan, Raihan membawa Vano pergi dengan mengabaikan Rania begitu saja. Laki-laki itu membawa putra Rania untuk diobati lukanya. "Mas! Mas!" teriak Jihan saat punggung Raihan terlihat menjauh dan menghilang dari balik dinding ruangan. Rahayu menyusul bosnya, meninggalkan Jihan, Dean dan Rania disana. Rania lalu bergerak memungut mainan Vano yang ada di lantai, dia tidak berbicara pada Jihan untuk menghindari pertengkaran. "Puas kau Rania! Puas?" Rania mendongak. "Apa?" "Sudah puas kau mengambil Mas Raihan dariku, Rania? Puas, hah?" Mata Jihan menyalang merah menusuk pandangan Rania. Tidak ada binar perdamaian, hanya ada tembok pembatas yang dibangun oleh Jihan agar mereka tidak saling menjadi teman atau mengerti perasaan sesama wanita. Rania mengepalkan tangan kanannya. "Kenapa aku harus puas, Jihan? Dia ayahnya, dia lebih merasakan ikatan batin terhadap Vano. Kau tahu itu dengan jelas!" "K-kau! Beraninya kau menyerangku!" Rania memandang Jihan dengan smirk yang terbentuk dari senyumannya. "Kau takut? Bahkan aku belum memberitahu dia tentang Vano dan kau sudah ketakutan seperti ini. Bagaimana nanti, jika dia tahu kau ikut andil dalam permainan Tuan Haru Atmadja." Rania mengayunkan tubuhnya dan pergi meninggalkan Jihan yang masih emosi dan menahan amarah. Raihan membawa Vano ke meja Rania. Dia mengobati telapak tangan anak laki-laki itu yang berdarah. Memberi obat luka dan menutupi dengan perban secara pelan dan hati-hati. "Itu akibat anak nakal, tangannya jadi luka, kan? Setelah ini tidak boleh menjadi anak yang nakal, ya," ucap Raihan sambil memasangkan perekat untuk perban yang melapisi telapak tangan Vano. "Baik, Paman ...." jawab Vano dengan takut-takut. Kepalanya terus menunduk dengan cairan kuning yang mengalir dari arah lubang hidungnya. Rahayu datang dan membuat Raihan menoleh. "Yu, bawa Vano untuk membasuh wajahnya. Wajahnya terlihat pucat sehabis menangis. Nanti, juga belikan dia permen kepala beruang karena permen dia yang tadi jatuh dan sudah kotor," titah Raihan pada pegawai kepercayaannya itu. "Baik, bos." Rahayu menggandeng lengan Vano. "Ayo Ano, kita basuh wajahmu dulu, ya. Nanti, kita akan beli jajan dan permen kepala beruang setelah ini." "Iya, Onty Yuyu," jawab Vano dengan suara menggemaskannya. Dia suka pada Rahayu yang begitu menyukai dan menyayangi anak kecil. Rahayu tersenyum dan mengusap kepala Vano, mereka berdua berjalan meninggalkan Raihan yang sedang menunggu kehadiran Rania. Berlalu begitu saja, Raihan menunggu Rania yang berjalan ke arahnya sekarang. Terlihat, Rania yang sedikit salah tingkah saat ditatap oleh Raihan tanpa berkedip sedikit pun. "Bos, maafkan kelakuan anakku, bonusku yang aku pinta tidak usah dikirimkan. Itu, untuk mengganti pot keramiknya," ucap Rania sambil membungkukkan tubuhnya, meminta maaf atas kekacauan yang disebabkan oleh Vano. "Pot keramik itu 25 juta, ibuku yang membelinya waktu itu." Mereka jelas tahu, masih ada serpihan hati keduanya yang saling terkait dan belum terselesaikan. Raihan yang masih menyimpan Rania lekat dalam hatinya dan juga ... Rania yang masih mencintai ayahnya Vano tanpa ada kurang sedikit pun. Takdir mereka sudah ditentukan, entah tali yang mengikat akan terus bersambungan atau tali tersebut akan putus dengan sendirinya karena keadaan sudah tidak sama seperti dahulu lagi. Mata Rania membola sempurna saat mendengar harga pot bunga yang dilontarkan Raihan barusan. Sungguh, sangat fantastis dan membuat orang seperti Rania tercengang. "A-ah, kalau begitu, gajiku yang terakhir ini saja untuk menambah kekurangan harga potnya," sungut Rania sambil membungkukkan kepalanya. Tidak apa gajinya tidak usah dibayarkan, asal bisa mengganti harga pot tersebut dan membuat ibu dan anak itu tidak ada kaitan lagi dengan perusahaan Atmadja setelah ini. Raihan menarik lengan Rania dengan sedikit kuat, disandarkannya tubuh Rania di dinding ruangan yang mereka tempati sekarang. Disana, tidak ada siapa-siapa karena karyawan sudah pulang semua dan hanya menyisakan dua insan tersebut yang saling bertatapan. "Sekarang, sudah sore." Raihan mengurung tubuh Rania di dalam kukungan tubuhnya. "Ini hari terakhirmu bekerja, aku akan tetap mengirimkan gaji dan bonusmu sesuai kesepakatan," tegas Raihan. Matanya tidak pernah lepas untuk memandangi wajah cantik wanita yang ada di hadapannya. Rania sedikit mengerjapkan kedua matanya, dia sangat gugup berada sedekat ini dengan Raihan. Rasanya, mulut wanita itu ingin berteriak keras karena malu. "Setelah aku melihat Vano, aku sedikit menyadari sesuatu. Aku tahu, Rania tidak akan memberitahu kebenaran ini. Jadi, aku akan mencari tahu sendiri," tuturnya dengan suara yang pelan, memasuki indera pendengaran Rania dengan sopan. Iya, Raihan merasakan ada ikatan yang menguat antara dirinya dan putra bungsu Rania. "K-kebenaran apa?" tanya Rania gugup. "Aku tidak menutupi apapun darimu," sambungnya lagi. Terlihat jelas, raut wajah Rania tengah menutupi sesuatu, semakin membuat Raihan penasaran dan bertanya-tanya tentang apa yang sedang disembunyikan wanita itu saat ini. "Cih! Lihat saja jika aku mengetahuinya nanti. Saat waktu itu tiba, jangan pernah coba lagi kau kabur dariku!" Raihan melepaskan kedua tangannya yang sedang mengurung tubuh Rania. Dia meninggalkan ibunya Vano yang masih terpaku di tempatnya. "Jika dia tahu, itu artinya Vano akan sembuh, kan …," gumamnya saat punggung Raihan sudah tidak terlihat lagi. Rania terduduk lemas dan menenggelamkan wajahnya di perpotongan kakinya. Hati dan pikirannya bercampur aduk menjadi satu. Ada rasa cemas yang menghantui dan ada rasa sesak yang menggerogoti. Benarkah, jika Raihan mau mengakui Vano dan bersedia membiayai pengobatan Vano kedepannya? Atau laki-laki itu tidak sudi jika putra kandungnya terlahir dari rahim mantan kekasihnya ini? Hanya Tuhan dan Raihanlah yang mengetahui perkara tersebut. *** Hari-hari dilewati Rania dengan perasaan yang lebih baik, tidak ada tekanan dalam pekerjaan maupun tuntutan pengerjaan laporan dalam jangka singkat. Rania bahagia walau efek keuangannya jadi menurun drastis. Namun, Rania masih tetap bersyukur saat ini. Lima hari setelah Rania resmi dipecat, wanita itu bekerja di sebuah restaurant dan menjabat sebagai koki. Seperti sebelumnya, Rania mendapatkan kebebasan untuk membawa putranya bekerja. Hari-harinya, dia habiskan berkutik pada pisau dan dapur, skill masaknya memang tidak sebagus saat ia berkutik dengan pensil gambarnya. Tentu, Rania sudah terbiasa dengan alat gambar. Di lain sisi, Raihan juga disibukkan dengan pekerjaannya yang semakin hari semakin memadat. Ditambah dengan kekacauan akibat tidak terkontrolnya pekerjaan yang sebelumnya hal itu menjadi tanggung jawab Rania. Mereka belum menemukan pengganti Rania. Bahkan, Renan sudah tidak acuh lagi dengan apa yang terjadi di perusahaan ini. Dia bahkan tidak ingin ambil tanggung jawab atas penindak lanjuti siapa yang akan menggantikan Rania. Biar saja, Raihan yang pusing sendiri. Anehnya, disela kesibukannya, Raihan juga berniat mencari tahu tentang Rania dan Vano pada ibunya. Hal ini sempat tertunda karena Hani yang sering pergi keluar rumah dan berakibat jarang bertemu putra-putranya. Raihan bertekad saat pekerjaannya sudah lebih baik terkontrol, dia akan menanyakan pada ibunya itu. Ya, walau mungkin akan menyakiti hati Hani, Raihan tetap akan bertanya. Seperti sore ini, Raihan pulang ke rumah lebih awal dari biasanya. Dia mencari ibunya di seluruh ruangan rumah dan tidak didapati keberadaan sang ibu. Berakhir, dirinya mendengar sayu-sayu suara parau Hani dan suara tegas milik Haru. Tangan Raihan sudah memegang knok pintu kamar ibunya, ketika akan dibuka, suara ayah dan ibunya sedang bertengkar terdengar jelas di telinganya. "Dia ayahnya! Apa kau tidak punya hati? Cucuku butuh donor sumsum dari ayah kandungnya!" Kemarahan Hani melambung-lambung pada Haru, serta kalimat cucu yang membuat jantung Raihan terasa berhenti berdetak. Apa maksudnya dengan cucu? "Kenapa kau peduli? Biarkan saja anak itu mati! Setidaknya Raihan tidak akan tahu sampai waktu itu tiba!" balas Haru tidak mau kalah, ia juga kesal pada Hani yang terus membahas tentang Rania Arsita. Deg! Jantung Raihan mulai berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Ada apa kaitan cucu dan hal yang tidak diketahui oleh Raihan? "Apa maksudmu, bajingan? Kau membohongi Raihan dan membuat rencana seolah-olah aku tertekan karena Rania menggoda suamiku! Cuih! Aku bahkan tidak akan peduli lagi jika kau bermain dengan wanita diluar sana! Aku depresi karena kau memisahkan aku dengan Rania dan cucuku!" Brsss! Hani membanting vas bunga yang terletak di atas meja disamping tempat tidurnya. "Kau! Jangan merusak rencanaku! Aku hanya ingin Raihan hidup dengan tentram bersama menantu pilihanku!" bantah Haru lagi semakin membuat suasana panas dan ketegangan yang tercipta di antara keduanya. Bahkan, mereka tidak sadar ada sosok Raihan yang menguping pembicaraan mereka berdua. Raihan yang mendengar itu, meremas knok pintu kuat-kuat. "Sebenarnya ... a-apa yang terjadi?" gumam Raihan, ia tampak ragu untuk mendorong knok pintu tersebut, ia takut pada kenyataan yang terjadi dan kalimat-kalimat selanjutnya yang akan ia dengar dari Hani dan Haru. "KAU BRENGSEK SUAMIKU! RAIHAN HANYA AKAN BAHAGIA BERSAMA RANIA DAN ANAK KANDUNGNYA, VANO!" DUG! Seperti ada belati yang menusuk hati Raihan dengan gerakan tangkas dan tepat. Tes! Air mata Raihan terjatuh, tangannya juga ikut terjatuh menggantung begitu saja. "A-apa i-ini ...." Hukum takdir berjalan sesuai aturan. Tidak ada permainan yang sengaja dijalankan, hanya ada kebenaran yang akan terus terungkap kedepannya. Manusia memang dilahirkan untuk memiliki rasa penyesalan dan keegoisan. Jika dua kata itu bersatu, maka hidupmu akan merasa sis-sia saja. Garis Tuhan selalu menuju akhir yang baik, tinggal bagaimana hambanya menjalankan dan mengeksekusi sesuai ekspektasi. Namun, dibalik itu ada realita yang menanti. Jika tidak sesuai yang diharapkan, bukankah harus tetap bersyukur? Begitulah pandangan dunia. Jalan terjal berbatu akan selalu ada. Tapi, jangan lupa, jalan berbunga lebih banyak dari yang kau pikirkan. ••• Hari terakhir Rania bekerja di perusahaan keluarga Atmadja. Dia sudah mengemasi barang-barangnya dan diletakkan dalam dua buah kardus. Tidak ada yang tersisa, hanya ada sebuah vas bunga kecil yang bukan kepunyaannya. Seseorang berlari menghampiri Rania dengan tergesa-gesa. Tampak, napasnya tersengal-sengal karena berlarian sepanjang jalan koridor menuju ruangan staff yang ditempati Rania. "Kakak! Kakak. Vano sedang menangis diluar. Bos memarahinya karena Vano dan Dean memecahkan pot bunga keramik di dekat ruang vip," ucap Rahayu sambil menarik-narik lengan Rania tidak sabaran. Mengajak seniornya itu untuk segera menghampiri Vano. Rania membulatkan matanya dan kaget atas perkataan Rahayu. "Dimana anakku sekarang?" Rania bergegas memakai sepatu haknya dan mengikuti jalan Rahayu. "Masih disana. Ada si Jihan Jihan itu juga Kak, cepatlah! Vano menangis keras." Rahayu terus menarik-narik lengan Rania dengan tidak sabaran. Rania pun berlari tergesa-gesa mengikuti langkah kaki Rahayu dibelakangnya. Belakangan, Rania sangat sensitif dengan sesuatu yang berkaitan dengan Vano. Ia takut, putranya tiba-tiba sakit ataupun diganggu anak sebayanya. "Huahhhh .... B-buna .... B-buna ...." teriak Vano histeris sambil mengusap telapak tangannya yang memerah karena sakit. Begitu pedih, sampai air matanya mengalir deras tanpa mau berhenti. "V-vano ...." panggil Rania, saat mendapati Vano yang lengannya sedang dipegang oleh Raihan. Tampak, Raihan berusaha membujuk putra laki-laki Rania agar berhenti menangis. Raihan menolehkan kepalanya menghadap Rania. "Anakmu memecahkan pot bunga, tangannya berdarah dan tidak mau diobati," ucap Raihan dengan raut wajah yang dingin namun tetap terlihat khawatir. "B-bos memarahi anakku?" tanya Rania ragu-ragu, dia takut dengan tatapan dingin yang terpampang dari wajah Raihan. Seketika nyalinya ciut dan merasa ingin cepat-cepat membawa Vano untuk segera pulang ke apartemen. Raihan menatap Rania dengan sedikit tidak enak. "Aku memarahi Dean dan Vano, mereka bermain dan membuat ribut, menganggu kenyamanan para investor disini." Jihan menggendong keponakannya yaitu Dean yang juga menangis. Kini, Jihan kesal dengan Raihan atas sikapnya. Bisa-bisanya calon suaminya malah mengurusi anak orang lain ketimbang membujuk Dean yang merupakan keponakan calon istrinya. "Kenapa Mas memarahi Dean, sih? Dia baru saja sembuh dari sakitnya," protes Jihan pada Raihan. Dia khawatir karena Dean baru sembuh, tapi malah menangis karena dimarahi oleh Raihan. Raihan pun memandang Jihan sekarang. "Aku tidak memarahi yang berlebihan. Aku hanya memberi pengertian. Lihat kan akibatnya? Mereka memecahkan pot bunganya, berakibat telapak tangan Vano berdarah." "Kenapa Mas peduli dengan telapak tangannya yang berdarah? Apa Mas akan menuduh Dean yang nakal disini?" Raihan menarik napas dengan kasar dan menghembuskan perlahan. "Bukan seperti itu, aku memarahi untuk menasehati. Lihat sendiri, jika nakal bisa mengakibatkan terluka," kilahnya dengan ucapan yang sabar agar tak melukai hati calon istrinya. "Tetap saja, Mas tidak boleh memarahi keponakanku!" bela Jihan lagi. Dia tetap tidak terima atas sikap Raihan. "Aku tidak memarahinya tanpa alasan, Jihan. Sudahlah, aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu," jawabnya dingin sambil menuntun Vano yang masih terisak tangis. Bahkan, Raihan membawa Vano pergi dengan mengabaikan Rania begitu saja. Laki-laki itu membawa putra Rania untuk diobati lukanya. "Mas! Mas!" teriak Jihan saat punggung Raihan terlihat menjauh dan menghilang dari balik dinding ruangan. Rahayu menyusul bosnya, meninggalkan Jihan, Dean dan Rania disana. Rania lalu bergerak memungut mainan Vano yang ada di lantai, dia tidak berbicara pada Jihan untuk menghindari pertengkaran. "Puas kau Rania! Puas?" Rania mendongak. "Apa?" "Sudah puas kau mengambil Mas Raihan dariku, Rania? Puas, hah?" Mata Jihan menyalang merah menusuk pandangan Rania. Tidak ada binar perdamaian, hanya ada tembok pembatas yang dibangun oleh Jihan agar mereka tidak saling menjadi teman atau mengerti perasaan sesama wanita. Rania mengepalkan tangan kanannya. "Kenapa aku harus puas, Jihan? Dia ayahnya, dia lebih merasakan ikatan batin terhadap Vano. Kau tahu itu dengan jelas!" "K-kau! Beraninya kau menyerangku!" Rania memandang Jihan dengan smirk yang terbentuk dari senyumannya. "Kau takut? Bahkan aku belum memberitahu dia tentang Vano dan kau sudah ketakutan seperti ini. Bagaimana nanti, jika dia tahu kau ikut andil dalam permainan Tuan Haru Atmadja." Rania mengayunkan tubuhnya dan pergi meninggalkan Jihan yang masih emosi dan menahan amarah. Raihan membawa Vano ke meja Rania. Dia mengobati telapak tangan anak laki-laki itu yang berdarah. Memberi obat luka dan menutupi dengan perban secara pelan dan hati-hati. "Itu akibat anak nakal, tangannya jadi luka, kan? Setelah ini tidak boleh menjadi anak yang nakal, ya," ucap Raihan sambil memasangkan perekat untuk perban yang melapisi telapak tangan Vano. "Baik, Paman ...." jawab Vano dengan takut-takut. Kepalanya terus menunduk dengan cairan kuning yang mengalir dari arah lubang hidungnya. Rahayu datang dan membuat Raihan menoleh. "Yu, bawa Vano untuk membasuh wajahnya. Wajahnya terlihat pucat sehabis menangis. Nanti, juga belikan dia permen kepala beruang karena permen dia yang tadi jatuh dan sudah kotor," titah Raihan pada pegawai kepercayaannya itu. "Baik, bos." Rahayu menggandeng lengan Vano. "Ayo Ano, kita basuh wajahmu dulu, ya. Nanti, kita akan beli jajan dan permen kepala beruang setelah ini." "Iya, Onty Yuyu," jawab Vano dengan suara menggemaskannya. Dia suka pada Rahayu yang begitu menyukai dan menyayangi anak kecil. Rahayu tersenyum dan mengusap kepala Vano, mereka berdua berjalan meninggalkan Raihan yang sedang menunggu kehadiran Rania. Berlalu begitu saja, Raihan menunggu Rania yang berjalan ke arahnya sekarang. Terlihat, Rania yang sedikit salah tingkah saat ditatap oleh Raihan tanpa berkedip sedikit pun. "Bos, maafkan kelakuan anakku, bonusku yang aku pinta tidak usah dikirimkan. Itu, untuk mengganti pot keramiknya," ucap Rania sambil membungkukkan tubuhnya, meminta maaf atas kekacauan yang disebabkan oleh Vano. "Pot keramik itu 25 juta, ibuku yang membelinya waktu itu." Mereka jelas tahu, masih ada serpihan hati keduanya yang saling terkait dan belum terselesaikan. Raihan yang masih menyimpan Rania lekat dalam hatinya dan juga ... Rania yang masih mencintai ayahnya Vano tanpa ada kurang sedikit pun. Takdir mereka sudah ditentukan, entah tali yang mengikat akan terus bersambungan atau tali tersebut akan putus dengan sendirinya karena keadaan sudah tidak sama seperti dahulu lagi. Mata Rania membola sempurna saat mendengar harga pot bunga yang dilontarkan Raihan barusan. Sungguh, sangat fantastis dan membuat orang seperti Rania tercengang. "A-ah, kalau begitu, gajiku yang terakhir ini saja untuk menambah kekurangan harga potnya," sungut Rania sambil membungkukkan kepalanya. Tidak apa gajinya tidak usah dibayarkan, asal bisa mengganti harga pot tersebut dan membuat ibu dan anak itu tidak ada kaitan lagi dengan perusahaan Atmadja setelah ini. Raihan menarik lengan Rania dengan sedikit kuat, disandarkannya tubuh Rania di dinding ruangan yang mereka tempati sekarang. Disana, tidak ada siapa-siapa karena karyawan sudah pulang semua dan hanya menyisakan dua insan tersebut yang saling bertatapan. "Sekarang, sudah sore." Raihan mengurung tubuh Rania di dalam kukungan tubuhnya. "Ini hari terakhirmu bekerja, aku akan tetap mengirimkan gaji dan bonusmu sesuai kesepakatan," tegas Raihan. Matanya tidak pernah lepas untuk memandangi wajah cantik wanita yang ada di hadapannya. Rania sedikit mengerjapkan kedua matanya, dia sangat gugup berada sedekat ini dengan Raihan. Rasanya, mulut wanita itu ingin berteriak keras karena malu. "Setelah aku melihat Vano, aku sedikit menyadari sesuatu. Aku tahu, Rania tidak akan memberitahu kebenaran ini. Jadi, aku akan mencari tahu sendiri," tuturnya dengan suara yang pelan, memasuki indera pendengaran Rania dengan sopan. Iya, Raihan merasakan ada ikatan yang menguat antara dirinya dan putra bungsu Rania. "K-kebenaran apa?" tanya Rania gugup. "Aku tidak menutupi apapun darimu," sambungnya lagi. Terlihat jelas, raut wajah Rania tengah menutupi sesuatu, semakin membuat Raihan penasaran dan bertanya-tanya tentang apa yang sedang disembunyikan wanita itu saat ini. "Cih! Lihat saja jika aku mengetahuinya nanti. Saat waktu itu tiba, jangan pernah coba lagi kau kabur dariku!" Raihan melepaskan kedua tangannya yang sedang mengurung tubuh Rania. Dia meninggalkan ibunya Vano yang masih terpaku di tempatnya. "Jika dia tahu, itu artinya Vano akan sembuh, kan …," gumamnya saat punggung Raihan sudah tidak terlihat lagi. Rania terduduk lemas dan menenggelamkan wajahnya di perpotongan kakinya. Hati dan pikirannya bercampur aduk menjadi satu. Ada rasa cemas yang menghantui dan ada rasa sesak yang menggerogoti. Benarkah, jika Raihan mau mengakui Vano dan bersedia membiayai pengobatan Vano kedepannya? Atau laki-laki itu tidak sudi jika putra kandungnya terlahir dari rahim mantan kekasihnya ini? Hanya Tuhan dan Raihanlah yang mengetahui perkara tersebut. *** Hari-hari dilewati Rania dengan perasaan yang lebih baik, tidak ada tekanan dalam pekerjaan maupun tuntutan pengerjaan laporan dalam jangka singkat. Rania bahagia walau efek keuangannya jadi menurun drastis. Namun, Rania masih tetap bersyukur saat ini. Lima hari setelah Rania resmi dipecat, wanita itu bekerja di sebuah restaurant dan menjabat sebagai koki. Seperti sebelumnya, Rania mendapatkan kebebasan untuk membawa putranya bekerja. Hari-harinya, dia habiskan berkutik pada pisau dan dapur, skill masaknya memang tidak sebagus saat ia berkutik dengan pensil gambarnya. Tentu, Rania sudah terbiasa dengan alat gambar. Di lain sisi, Raihan juga disibukkan dengan pekerjaannya yang semakin hari semakin memadat. Ditambah dengan kekacauan akibat tidak terkontrolnya pekerjaan yang sebelumnya hal itu menjadi tanggung jawab Rania. Mereka belum menemukan pengganti Rania. Bahkan, Renan sudah tidak acuh lagi dengan apa yang terjadi di perusahaan ini. Dia bahkan tidak ingin ambil tanggung jawab atas penindak lanjuti siapa yang akan menggantikan Rania. Biar saja, Raihan yang pusing sendiri. Anehnya, disela kesibukannya, Raihan juga berniat mencari tahu tentang Rania dan Vano pada ibunya. Hal ini sempat tertunda karena Hani yang sering pergi keluar rumah dan berakibat jarang bertemu putra-putranya. Raihan bertekad saat pekerjaannya sudah lebih baik terkontrol, dia akan menanyakan pada ibunya itu. Ya, walau mungkin akan menyakiti hati Hani, Raihan tetap akan bertanya. Seperti sore ini, Raihan pulang ke rumah lebih awal dari biasanya. Dia mencari ibunya di seluruh ruangan rumah dan tidak didapati keberadaan sang ibu. Berakhir, dirinya mendengar sayu-sayu suara parau Hani dan suara tegas milik Haru. Tangan Raihan sudah memegang knok pintu kamar ibunya, ketika akan dibuka, suara ayah dan ibunya sedang bertengkar terdengar jelas di telinganya. "Dia ayahnya! Apa kau tidak punya hati? Cucuku butuh donor sumsum dari ayah kandungnya!" Kemarahan Hani melambung-lambung pada Haru, serta kalimat cucu yang membuat jantung Raihan terasa berhenti berdetak. Apa maksudnya dengan cucu? "Kenapa kau peduli? Biarkan saja anak itu mati! Setidaknya Raihan tidak akan tahu sampai waktu itu tiba!" balas Haru tidak mau kalah, ia juga kesal pada Hani yang terus membahas tentang Rania Arsita. Deg! Jantung Raihan mulai berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Ada apa kaitan cucu dan hal yang tidak diketahui oleh Raihan? "Apa maksudmu, bajingan? Kau membohongi Raihan dan membuat rencana seolah-olah aku tertekan karena Rania menggoda suamiku! Cuih! Aku bahkan tidak akan peduli lagi jika kau bermain dengan wanita diluar sana! Aku depresi karena kau memisahkan aku dengan Rania dan cucuku!" Brsss! Hani membanting vas bunga yang terletak di atas meja disamping tempat tidurnya. "Kau! Jangan merusak rencanaku! Aku hanya ingin Raihan hidup dengan tentram bersama menantu pilihanku!" bantah Haru lagi semakin membuat suasana panas dan ketegangan yang tercipta di antara keduanya. Bahkan, mereka tidak sadar ada sosok Raihan yang menguping pembicaraan mereka berdua. Raihan yang mendengar itu, meremas knok pintu kuat-kuat. "Sebenarnya ... a-apa yang terjadi?" gumam Raihan, ia tampak ragu untuk mendorong knok pintu tersebut, ia takut pada kenyataan yang terjadi dan kalimat-kalimat selanjutnya yang akan ia dengar dari Hani dan Haru. "KAU BRENGSEK SUAMIKU! RAIHAN HANYA AKAN BAHAGIA BERSAMA RANIA DAN ANAK KANDUNGNYA, VANO!" DUG! Seperti ada belati yang menusuk hati Raihan dengan gerakan tangkas dan tepat. Tes! Air mata Raihan terjatuh, tangannya juga ikut terjatuh menggantung begitu saja. "A-apa i-ini ...." Hukum takdir berjalan sesuai aturan. Tidak ada permainan yang sengaja dijalankan, hanya ada kebenaran yang akan terus terungkap kedepannya. Manusia memang dilahirkan untuk memiliki rasa penyesalan dan keegoisan. Jika dua kata itu bersatu, maka hidupmu akan merasa sis-sia saja. Garis Tuhan selalu menuju akhir yang baik, tinggal bagaimana hambanya menjalankan dan mengeksekusi sesuai ekspektasi. Namun, dibalik itu ada realita yang menanti. Jika tidak sesuai yang diharapkan, bukankah harus tetap bersyukur? Begitulah pandangan dunia. Jalan terjal berbatu akan selalu ada. Tapi, jangan lupa, jalan berbunga lebih banyak dari yang kau pikirkan. •••
Pengaturan
Latar belakang
Ukuran huruf
-18
Buka otomatis bab selanjutnya
Isi
Chapter 1 Kemarahan Raihan Chapter 2 Mempermalukan Rania Chapter 3 Sikap aneh Raihan Chapter 4 Bertemu Dino Chapter 5 Kesakitan Rania Chapter 6 Pertemuan Rania dan Hani Chapter 7 Kemarahan Rania Chapter 8 Vano Terluka Chapter 9 Raihan Menyadari Chapter 10 Raihan Bermimpi Chapter 11 Mereka Kembali Bersatu? Chapter 12 Euphoria Raihan Chapter 13 Sebatas Orang Tua Chapter 14 Mobil Putar Chapter 15 Vano Sesak Nafas appChapter 16 Kemarahan Raihan appChapter 17 Raihan Baru Tahu appChapter 18 Tidur Berdua appChapter 19 Operasi Vano appChapter 20 Raihan Cemburu appChapter 21 Plinplan appChapter 22 Pernikahan Diundur appChapter 23 Long distance relationship appChapter 24 Memories appChapter 25 Ada yang menunggu appChapter 26 Pasar Malam appChapter 27 Swiss ; Solusi? appChapter 28 Emosional appChapter 29 Renan dan kesetiaannya appChapter 30 Mau Kencan appChapter 31 Percaya appChapter 32 Sosis Panggang dan Selai Nanas appChapter 33 Demam dan Penghianat appChapter 34 Ketahuan appChapter 35 Nekat appChapter 36 Memilih Jihan appChapter 37 Diculik appChapter 38 Filipina appChapter 39 Tembakan appChapter 40 Vano Drop appChapter 41 Rania manja dan sebuah ciuman appChapter 42 Memaafkan appChapter 43 Skenario Takdir appChapter 44 Kilas balik Vano appChapter 45 Kilas balik Vano (2) appChapter 46 Selamat tinggal bayi kecil buna appChapter 47 Berusaha mengikhlaskan appChapter 48 Mencari Irene appChapter 49 Helm kecil kenangan appChapter 50 Makan es krim dan insiden? appChapter 51 Satu ginjal appChapter 52 Satu ranjang appChapter 53 Rania Nekat appChapter 54 Tawaran Jeffrey appChapter 55 Kebingungan Rania appChapter 56 Mengerjai Rania appChapter 57 Menuju altar pernikahan appChapter 58 Keputusan Renan appChapter 59 Rayla, dia sudah beristri appChapter 60 Rania tahu appChapter 61 Rania Hamil appChapter 62 Pemotretan Rania appChapter 63 Naik Kuda appChapter 64 Lahiran appChapter 65 End app
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
UREAD GLOBAL PTE. LTD.
101 Upper Cross Street #05-40A People's Park Centre Singapore 058357
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta