Chapter 5 Kesakitan Rania

Bragh! Haru menghentam ujung sepatunya ke hidung Rania, membuat hidung Rania menjadi mengeluarkan darah. Rania merintih kesakitan, bahkan dia sudah bersujud di bawah sana, bersujud di depan Haru. Ada rasa pedih pada rongga hidungnya yang tidak dapat dibendung sekarang. Haru berjongkok dan menjambak rambut Rania ke belakang. "Apa kau dendam padaku? Karena aku telah mengambil jantung ibumu?" Mendengar kalimat yang dilontarkan pria paruh baya tersebut, membuat Rania menggelengkan kepalanya. "T-tidak ... a-aku kesi-" "Ayah?" panggil Raihan yang datang bersama Jihan ke tempat sewaan ayahnya. Mereka datang dengan pakaian yang rapi dan tentu saling berpegangan tangan. Harusnya, hari ini Jihan dan Raihan akan melakukan makan malam bersama Haru Atmadja dan ayah Jihan. Namun, tadi ayah Raihan menemukan Rania dan mengajaknya bertemu, setelah itu menyeret wanita itu ke tempat sewaan yang ayah Raihan sewa untuk makan malam nantinya. Tapi, siapa sangka jika Raihan dan Jihan datang lebih awal dari yang jam yang sudah ditetapkan. Melihat kehadiran putranya, Haru melepaskan jambakannya begitu saja, membiarkan Rania mengaduh sakit sambil memegangi lobang hidungnya agar tidak keluar banyak darah. "R-rania, apa yang kau lakukan disini?" tanya Jihan. Dia melihat Rania yang terduduk disana dengan hidung yang berlumur darah. Sungguh, sangat miris sekali melihat ibu dua anak yang menanggung beban. "Dia menggoda Ayah, dia ingin uang 200 juta untuk membeli rumah," ucap seseorang yang juga ada disana sejak tadi, ayah Jihan. "A-apa? R-rania ... Mas, d-dia ...." Jihan menatap Raihan yang masih terdiam memandangi Rania. Ada rasa sakit yang menusuk hatinya dan ada rasa kecewa saat mendengar penuturan ayah Jihan tentang apa yang diinginkan Rania. Rania pun memelototkan matanya dan menoleh pada Ayah Jihan--Danu. "A-aku tidak meminta uang atau-" "Rania, kau itu perempuan. Dulu, ibu Mas Raihan, sekarang ibuku yang akan kau sakiti," ujar Jihan dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis. "A-ak-" "Kau tidak usah mengelak, Rania," ujar ayah Raihan memperingati. "Sudah benar kan perlakuanku untuk memberi pelajaran pada wanita murahan ini. Aku sudah tidak tertipu lagi dengan pelacur satu ini." Raihan mengepalkan kedua tangannya. "Bahkan masih kurang Ayah, pukulan yang kau layangkan untuknya tidak sebanding dengan rasa sakit yang dialami oleh ibuku," ucap Raihan dengan kelopak matanya yang bergetar, setelah itu ia menarik tangan Jihan untuk pergi dari hadapan Rania. Menyisakan Rania yang menahan semuanya sendirian. Rania menepuk-nepuk dadanya dengan kuat. Tangisannya, bahkan tidak bersuara. Rasa sakitnya, begitu diluar batas kemampuan. Dia mengorbankan semuanya, dia berjuang sendirian mengandung Vano dan melahirkannya. Lalu, membesarkannya. Dia tidak berniat mengganggu kehidupan Raihan, tetapi kenapa dia selalu dituduh bertindak jahat? Saat semuanya meninggalkan Rania, wanita itu memilih pergi dari sana dengan jalan yang tergopoh-gopoh. Memegangi kepalanya yang sakit serta perutnya yang tiba-tiba terasa keram, dia terus berusaha berjalan dan menguatkan dirinya sendiri untuk selalu kuat dan mulai mengabaikan orang-orang yang mencaci maki dirinya. Rania berjalan ke pemberhentian bus dan duduk disana seorang diri. Tangannya bahkan merogoh ponsel dan membuka kunci layarnya, menampilkan wallpaper yang bergambar putra sulungnya dan putra bungsunya. Ada secercah senyuman menghiasi sudut bibir Rania yang terangkat, bahkan matanya berkaca-kaca mengamati foto tersebut. "Anak-anakku yang terhebat, Buna sayang sekali sama Abang dan Adek. Maaf Buna belum bisa menjadi ibu yang baik untuk kalian …," lirihnya pelan sekali, bahkan air matanya mengalir membasahi pipi mulusnya. Seorang wanita tiba-tiba saja duduk di sebelah Rania, bahkan menawari tisu. Dilihatnya sekilas, wanita itu berumur 30 tahun ke atas terlihat dari caranya memandang dan guratan wajahnya yang mulai mengalami tanda penuaan dini. "Hidup itu kadang tidak sesuai ekspetasi. Terjadi sesuai kehendak Tuhan dan kita tidak bisa menghindar …," ucapnya dengan jelas dan sedikit keras. "Kau benar …," jawab Rania, kepalanya tertunduk dan memperhatikan tisu yang ada di tangannya. "Jadi?" Rania menoleh dengan raut wajah sedikit bingung. Alisnya terangkat untuk dimintai penjelasan. Wanita dewasa itu tersenyum lebar. "Menangislah dengan keras, tidak apa. Bukan berarti kau lemah atau anakmu akan kecewa. Menangislah, karena Tuhan menunggu untuk mendengar keluh kesahmu yang kau pendam sendiri," lontarnya. Perlahan kedua mata Rania berkaca-kaca, pikirannya membayangkan bagaimana Raihan yang terus memperlakukan dirinya sebagai wanita jahat dan tuan Haru yang menganggap dia wanita sampah dan murahan. Selain itu, dia juga memikirkan senyum lebar Vano atau wajah damai David saat tidur. Rania tidak bisa membayangkan jika keceriaan kedua putranya hilang karena ulah Rania sendiri yang tidak becus menjadi seorang ibu. Rania mulai menunduk dan menenggelamkan kepalanya di antara perpotongan kakinya. Menangis disana dengan bahu yang naik turun dan suara yang bergemetaran. Tidak ada orang di halte tersebut selain Rania dan wanita dewasa tersebut. "Keluarkan semuanya, semesta berhak tahu bahwa kamu sedang sangat lelah. Percayalah, kebahagian setiap orang itu ada, jika sudah waktunya maka Tuhan akan segera mendatangkannya untukmu." Di tempat lain, Raihan termenung membayangkan kejadian tadi. Sebenarnya, hatinya juga teriris saat melihat wajah Rania yang dihantam oleh ayahnya. Tapi, disisi lain dia juga benci karena menurutnya, Rania merusak kebahagian ibunya. Dia seorang Ibu ... kau harus paham Raihan .... Dia wanitamu yang kau tinggalkan begitu saja tanpa kau tanya kenapa wajahnya sangat pucat hari itu. Dia sedang mengandung anakmu saat kau melempar kotak cincin itu ke sungai. Raihan Atmadja, saat itu sebenarnya ia ingin mengatakan, bahwa dia sedang mengandung buah hati kalian. Tapi, dia menahannya untuk tidak memberitahunya padamu. Raihan, saat dia mengandung Vano selama tiga bulan, dia bertemu dengan Naresh. Pria itu menolongnya. Tapi, saat kandungannya menginjak delapan bulan, laki-laki yang menolongnya meninggalkan dunia. Kau lihat? Dia kembali menjadi rapuh. Raihan, kau bahkan tidak akan menyangka seberapa banyak rahasia yang disembunyikan oleh wanita ini. Lihat saja, pengakuan perempuan ini selanjutnya dan kebenaran-kebenaran yang akan terungkap nantinya. Saat kau mengetahuinya nanti, di saat itulah kau akan hancur-sehancurnya, bahkan kau akan berteriak lantang memohon pada Tuhan. Memohon, agar waktu bisa diputar kembali. Jangan menyakiti hatinya dengan kata kotor seperti itu, dia terpuruk saat laki-laki yang dicintainya berkata seperti itu. Itu menyakitkan, Raihan. Jangan salahkan Tuhan, jika ada laki-laki lain yang bahkan tidak akan tega hanya untuk sekedar memarahi Rania, jika wanita itu tidak sengaja berbuat salah. *** Rania membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan kaca matanya yang patah. Dengan berhati-hati ia menyatukan kembali patahan itu dengan menempelkan lakban di patahan tersebut. "Bulan ini aku tetap dapat gaji, kan?" gumamnya tak yakin akan hal itu. Dia sudah janji pada David dan Renan akan membeli mainan mahal itu. Menurutnya, kaca matanya tidak lebih penting daripada mainan Vano dan mainan David. Apalagi, saat memikirkan bagaimana David dan Vano yang selalu menghitung kalender dan akan bersorak ria jika waktu mendekati tanggal muda sudah di depan mata. "Dapat," sahut seseorang yang sedang berdiri di depan meja kerjanya dengan menaruh dokumen keterikatan kontrak. Memandangi Rania yang sejak tadi berkutik dengan kacamata buluknya yang sudah pantas untuk diganti dengan yang baru, dari pada melakbani seperti itu. Rania mendongakkan kepalanya, seketika dia langsung berdiri dan membungkukkan tubuhnya sesopan mungkin. Dia menyesal telah menjadi karyawan yang tidak peka dengan kehadiran bos-nya tersebut. "Ah, maaf bos, harusnya bisa menyuruh saya untuk mengambil dokumen ini sendiri," sesal Rania dengan raut wajah yang bersalah. "Tidak usah, nanti OB disini kerepotan harus kerja extra membersihkan jejak kakimu di ruanganku dan menyemprot pestisida agar aromamu tidak berkeliaran di ruanganku," jawab Raihan dengan tatapan mata elangnya yang begitu tajam dan membunuh. Ingin sekali menerkam Rania dan membuang jauh-jauh dari kehidupan tentramnya. Rania meneguk ludahnya dengan susah payah. Bahkan, dia sekarang merasa dirinya sendiri sangat menjijikkan saat mendengar penuturan Raihan tentang dirinya. "O-oh, i-iya," jawabnya menyetujui ucapan Raihan barusan. Benar, dirinya sangat tidak pantas hanya sekedar berkeliaran di dekat Raihan. "Berkemaslah, minggu depan kau sudah resmi meninggalkan perusahaan ini, gajimu akan segera dikirimkan setelah kau pergi nanti," titah Raihan. Pandangannya dialihkan menatap objek lain, yang terpenting tidak memandang sang mantan kekasih. "B-baik, Pak." Rania membungkukkan badannya lagi dengan sopan. Benar, dirinya memang sudah tidak dibutuhkan lagi disini. Mau bagaimana lagi? Mulai saat ini, Rania harus benar-benar siap dan kerja keras untuk mendapatkan uang. "Selesaikan pekerjaanmu yang masih tersisa disini, kudengar kau yang mengurus bagian skema perancangan gedung mall yang ada di Bandung." Rania menganggukkan kepalanya kembali. Sudah mau dipecat, tetap saja skill yang dimiliki Rania sangat berpengaruh besar dalam perkembangan perusahaan keluarga Atmadja ini. Setelah Raihan meninggalkan meja kerjanya, Rania termenung memandangi dokumen kontrak itu. Sejujurnya, di perusahaan ini ia mendapatkan penghasilan yang besar. Dari sini jugalah, dia bisa memenuhi keinginan anak-anaknya. Tapi, apa yang bisa diharapkan? Memohon pada Raihan? Mana mungkin. Memohon pada Renan? Tidak, tidak akan. Renan sudah sangat banyak membantunya dan anak-anak. "Jika waktu diputar kembali, aku tidak ingin mengenal Raihan Atmadja," ucap Rania pelan sekali, bahkan seperti lirihan. "Aku harap Vano tidak akan pernah mengetahui siapa ayah kandungnya, anak kecilku yang malang ...." Rania mengusap pinggiran matanya yang basah, dia sungguh emosional jika memikirkan keadaan Vano. Biarlah, semua sudah terjadi dan hanya akan ada hari esok untuk melanjutkan kehidupan. Berjuanglah, semesta mendukung. *** Rania meringkuk di dinding toilet dengan keadaan wajah yang pucat, dia memegangi perutnya yang terasa melilit. Sejak tadi pagi sakit itu muncul, namun sekarang sakitnya semakin menjadi-jadi. Sudah banyak minyak kayu putih ia oleskan diatas kulit perutnya, namun tak mempan untuk membentengi rasa perih tersebut. "Ini bahkan 10 kali lipat dari rasa sakit datang bulan," keluhnya sambil menekan perutnya yang begitu perih sekali. Rania juga mencoba mengatur nafasnya yang sedikit sesak karena terpengap dalam ruang sempit itu. Perlahan, Rania mencoba berdiri untuk kembali ke ruangan kerja staff yang ditempatinya. Kali ini, dia melewatkan makan siang. Dia tertatih-tatih menuju mejanya. Untung sekali, teman kerja yang satu ruangan dengannya tengah berada di kantin, jadi tidak akan melihat bagaimana Rania yang hampir merangkak di lantai atau bahkan hampir mengesot seperti wanita tanpa tulang kaki. Wanita itu meminum obat pereda nyeri yang berada di dalam tasnya. "Akhir-akhir ini gejalanya muncul lag i... aku tidak apa-apa, kan?" Rania semakin khawatir pada kesehatannya. Bagaimana kalau tambah parah? Siapa yang akan mengurus David dan Vano? Rania menganggukkan kepalanya mantap. "Aku percaya, Tuhan bersamaku. Aku harus bekerja keras demi anak-anakku," lontarnya dengan semangat membara. Ting! Deringan ponsel dari hp-nya berbunyi. Terdapat pesan dari nomor yang tidak dikenal. Pesan yang jika dibaca oleh Rania, akan membuat kehidupan Rania berubah dari yang sekarang. +789×××90×× Pesan : Jika kau masih menganggapku ibu, tolong jangan pisahkan aku dari pangeran kecilku. Jangan coba lari lagi, aku tahu keberadaanmu. Kembalilah, kau juga putriku. Aku bahkan lebih menyayangimu daripada Raihan Atmadja. Deg! Jantung Rania tiba-tiba terasa membeku. Apa ini? Tidak mungkin ibu Hani, kan? Siapa yang memberitahu keberadaan dirinya di Jakarta? Raihan? Tidak mungkin. Atau? Rania membalas pesan nomor tersebut dengan hati-hati. Pesan : Apa yang anda katakan? Sepertinya anda salah sambung. Rania meremat ponselnya dan sedikit panik. Apa Renan telah memberitahu keberadaan Rania dan anaknya pada Hani? Sungguh, Rania takut, dirinya takut dipisahkan dengan putra kecilnya. Tuhan, Rania tidak ingin kehilangan lagi untuk selanjutnya. +789×××90×× Pesan : Jangan membohongiku lagi. Apa kau akan membiarkan depresiku semakin besar? Atau kau suka aku mati perlahan dengan penuh penyesalan? Apa kau ingin aku mengatakan pada putraku bahwa anaknya sudah berusia tiga tahun sekarang? Jawab aku, putriku. Rania memejamkan kedua matanya, sungguh pikirannya bercabang-cabang sekarang. Memang benar, semua akan terbongkar jika waktunya sudah tepat. Tapi, Rania ingin sekali kebohongan ini tetap berjalan tanpa Raihan mengetahuinya. Biarkan, Rania hanya ingin mengurus putranya saja tanpa perlu Raihan membantunya. Rania kembali mengetikkan sesuatu, banyak pesan tulisan permohonan maaf yang begitu panjang untuk dikirimkan, namun diurungkan niat itu. Ada banyak yang ingin disampaikan, namun hatinya merasa ragu penuh kebimbangan. Apakah harus? Berakhir dua kata yang mampu Rania kirimkan pada nininya Vano. Pesan : Ibu, maaf. Rania menekan tombol call pada nomor Renan. Telepon tersambung, di seberang sana Rania mendengar suara Vano yang sedang bernyanyi bersama seorang perempuan, Rania kenal betul siapa pemilik suara itu. Iya, suara lembut Hani yang begitu ia rindukan. "Renan! Kau menghilangkan kepercayaanku padamu, kau tega membuatku setelah ini berpisah dengan anakku." •••
Pengaturan
Latar belakang
Ukuran huruf
-18
Buka otomatis bab selanjutnya
Isi
Chapter 1 Kemarahan Raihan Chapter 2 Mempermalukan Rania Chapter 3 Sikap aneh Raihan Chapter 4 Bertemu Dino Chapter 5 Kesakitan Rania Chapter 6 Pertemuan Rania dan Hani Chapter 7 Kemarahan Rania Chapter 8 Vano Terluka Chapter 9 Raihan Menyadari Chapter 10 Raihan Bermimpi Chapter 11 Mereka Kembali Bersatu? Chapter 12 Euphoria Raihan Chapter 13 Sebatas Orang Tua Chapter 14 Mobil Putar Chapter 15 Vano Sesak Nafas appChapter 16 Kemarahan Raihan appChapter 17 Raihan Baru Tahu appChapter 18 Tidur Berdua appChapter 19 Operasi Vano appChapter 20 Raihan Cemburu appChapter 21 Plinplan appChapter 22 Pernikahan Diundur appChapter 23 Long distance relationship appChapter 24 Memories appChapter 25 Ada yang menunggu appChapter 26 Pasar Malam appChapter 27 Swiss ; Solusi? appChapter 28 Emosional appChapter 29 Renan dan kesetiaannya appChapter 30 Mau Kencan appChapter 31 Percaya appChapter 32 Sosis Panggang dan Selai Nanas appChapter 33 Demam dan Penghianat appChapter 34 Ketahuan appChapter 35 Nekat appChapter 36 Memilih Jihan appChapter 37 Diculik appChapter 38 Filipina appChapter 39 Tembakan appChapter 40 Vano Drop appChapter 41 Rania manja dan sebuah ciuman appChapter 42 Memaafkan appChapter 43 Skenario Takdir appChapter 44 Kilas balik Vano appChapter 45 Kilas balik Vano (2) appChapter 46 Selamat tinggal bayi kecil buna appChapter 47 Berusaha mengikhlaskan appChapter 48 Mencari Irene appChapter 49 Helm kecil kenangan appChapter 50 Makan es krim dan insiden? appChapter 51 Satu ginjal appChapter 52 Satu ranjang appChapter 53 Rania Nekat appChapter 54 Tawaran Jeffrey appChapter 55 Kebingungan Rania appChapter 56 Mengerjai Rania appChapter 57 Menuju altar pernikahan appChapter 58 Keputusan Renan appChapter 59 Rayla, dia sudah beristri appChapter 60 Rania tahu appChapter 61 Rania Hamil appChapter 62 Pemotretan Rania appChapter 63 Naik Kuda appChapter 64 Lahiran appChapter 65 End app
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
UREAD GLOBAL PTE. LTD.
101 Upper Cross Street #05-40A People's Park Centre Singapore 058357
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta