Bab 1 Jonea (Jonea Fallon)
Jonea baru selesai menyapukan kuas terakhir di sebidang kanvas. Ponselnya berdering ketika dia tersenyum puas pada Marlyn, sahabat yang menjadi objek lukisannya kali ini.
“Tugas terakhir kita sudah selesai,” ujar Jonea. “Terima kasih atas bantuanmu, Marlyn.”
“Yep, jumpa lagi usai liburan musim panas!” balas Marlyn sambil mengemasi barang-barangnya ke tas. “Ponselmu terus berdering, Jonea. Mungkin ada sesuatu yang penting?” Marlyn sudah berdiri di samping Jonea sambil memandangi lukisan dirinya sebelum pergi.
“Paling itu hanya Miller,” ujar Jonea sambil merapikan kuas-kuasnya. “Kami berjanji akan bertemu di halte depan asramanya.”
“Pasti menyenangkan memiliki saudara laki-laki yang tampan. Lain kali, kenalkan aku padanya!” Marlyn mengerling ke arah Jonea sebelum pergi sambil melambaikan tangan. “Selamat liburan musim panas!”
Setelah mengelap tangan dengan handuk basah, Jonea mengangkat ponselnya.
“Ayah?” Ada keterkejutan dalam nada suara Jonea. Dia pikir Miller yang menelepon. “Ada apa? Tidak biasanya kau menghubungiku pada jam segini. Aku sedang bersiap—”
“Jonea… tolong dengarkan aku!” ujar sang ayah dengan tegas.
Jonea menjepitkan ponsel di antara bahu dan telinganya. Kedua tangannya sibuk membersihkan sisa cat dan kuas. Saat mendengar suara ayahnya yang serius, Jonea segera berdiri tegak.
“Ada apa, Ayah? Kenapa kau serius sekali?”
“Miller...,” suara sang ayah terputus dan berganti menjadi isakan tertahan.
“Miller? Ada apa dengannya? Sebentar lagi aku akan pulang. Kami sudah berjanji untuk bertemu di halte dekat sekolahnya. Kau tidak perlu khawatir—“
“Kau harus ke rumah sakit. Miller kecelakaan.”
Wajah ceria Jonea tiba-tiba menghilang dan menjadi pucat. Ada gurat-gurat kebingungan dan penyangkalan dari tubuhnya.
“Apa? Miller baik-baik saja!” teriak Jonea.
“Datanglah ke rumah sakit sekarang juga. Miller mengalami kecelakaan ketika meninggalkan sekolah.” Suara sang ayah terdengar penuh penyesalan dan kesedihan. Pria itu mematikan ponsel tanpa menunggu jawaban Jonea.
“Tidak mungkin!” teriak Jonea panik. “Pagi ini dia masih baik-baik saja. Dia berkata padaku sore ini kami akan pulang bersama dan berjanji untuk bertemu di halte depan sekolahnya.”
Jonea tinggalkan peralatan lukisnya dan menyambar tas ransel di kursi. Dia bergegas meninggalkan institut seni dengan berlari secepat mungkin.
***
Jonea berlari-lari di sepanjang trotoar sampai tiba di rumah sakit. Dia menyusuri lorong-lorong pucat dan dingin untuk mencari ruang operasi. Jonea terhenti di kelokan lorong ketika tanpa sengaja dia mendengar teriakan orang tuanya.
Orang tua Jonea berdiri di depan ruang operasi sambil berhadapan dengan dua pria bersetelan hitam.
Jonea mundur selangkah dan bersembunyi. Dia bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh orang tuanya dan dua pria itu, meski mereka tidak menyadari kehadiran Jonea.
“Tuan dan Nyonya Fallon, kami akan menanggung seluruh biaya pengobatan putra Anda. Kami juga akan memberikan beasiswa tambahan untuk putri Anda yang lain sampai mereka lulus dan diterima di universitas ternama tanpa perlu melalui seleksi. Kami juga menyediakan uang saku yang cukup untuk mereka hingga lulus. Dan... kami juga akan membebaskan biaya sewa gedung untuk restoran ayam yang saat ini sedang Anda kelola, selamanya. Semua tawaran itu bisa kalian dapatkan jika kalian bersedia menutup kasus ini dan menerimanya sebagai sebuah kecelakaan tunggal.”
Jonea menggeretakkan rahang dan mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan menimpa adiknya. Tapi, penawaran yang baru saja dia dengar, membuat Jonea sangat marah.
“Ada yang tidak beres!”
Saat Jonea akan mendatangi mereka, sang ibu terdengar berteriak.
“Bagaimana bisa... kalian bersikap setega dan sekejam ini pada anak kami? Kami menginginkan keadilan!”
“Baiklah, jika kalian menginginkan keadilan. Maka, kalian harus bersiap menanggung seluruh biaya pengobatan, kehilangan beasiswa, serta masa depan anak-anak kalian yang akan menjadi taruhannya. Bagaimanapun kami sudah berbaik hati dengan menawarkan semua kemudahan itu. Jika kalian ingin masa depan anak-anak kalian terjamin, saranku terima saja tanpa banyak mengeluh!”
Pria itu melanjutkan dengan nada sedikit mengancam.
“Jika kalian ingin membawa masalah ini ke jalur hukum, itu bukan hal yang sulit untuk kami. Karena kami memiliki bukti tidak terbantahkan bahwa Miller Fallon yang memulai perkelahian. Jika tidak ingin masalah ini terekspos sebaiknya kalian terima saja tawaran kami dan anggap sebagai kecelakaan.”
Nyonya Fallon menjerit. Tubuh perempuan itu melorot. Dia berlutut ke lantai di tengah-tengah lorong rumah sakit. Tuan Fallon berusaha menenangkan istrinya. Tapi, dua orang pria bersetelan hitam itu menyodorkan selembar dokumen untuk mereka tandatangani.
Air mata Jonea hampir tumpah. Kemarahan menggelegak di dalam dadanya. Jonea hampir tidak bisa mengendalikan diri. Dia sudah akan berlari menghampiri mereka untuk menyampaikan keberatan. Tapi sudah terlambat. Tuan Fallon sudah membubuhkan tanda tangan dan menyetujui persyaratan mereka.
Jonea menarik tudung jaketnya dan menutupi kepalanya. Dia menunduk untuk mengusap air mata dengan punggung tangan.
Kedua pria bersetelan hitam tersenyum puas. Mereka berjalan melewati Jonea. Sudut mata gadis itu melirik pada emblem yang dikenakan oleh salah satu pria itu.
“SMA Abraham,” desis Jonea.
Gadis itu segera berlari menghampiri orang tuanya. Nyonya Fallon pingsan dan Tuan Fallon segera menggendongnya untuk mendapatkan perawatan.
Jonea berusaha tampak tegar. Dia menoleh ke ruangan operasi yang tertutup. Adik kembarnya sedang berjuang mempertahankan hidupnya.
Tiba-tiba Jonea terduduk lesu di bangku panjang di sisi lorong. ‘Apa yang terjadi padamu, Miller?’
Tuan Fallon sudah duduk di samping Jonea. Dia memeluk gadis itu dan menenangkannya. “Maafkan ayah karena menjadi pria yang lemah.”
Jonea tiba-tiba mengepalkan tinju dan menoleh pada ayahnya dengan wajah sembap. Dia mencengkeram baju sang ayah dan terisak di depan pria itu.
“Katakan, Ayah. Apa yang terjadi pada Miller?”
Tuan Fallon tidak berani menatap Jonea. Dia mengangkat wajahnya berusaha tampak tegar.
“Mereka mengatakan Miller mengalami kecelakaan ketika menyeberang jalan saat meninggalkan sekolah. Dia menerobos lampu lalu lintas.”
“Bohong!” teriak Jonea. “Aku sudah mendengar semuanya. Pria dari Yayasan Abraham datang ke sini untuk menemuimu. Apa sebenarnya yang terjadi pada Miller?”
Tangis Tuan Fallon pun pecah. “Maafkan aku! Maafkan aku! Karena sudah menjadi seorang ayah yang payah. Aku tidak memiliki kekuasaan untuk menjaga dan melindungi kalian. Maafkan aku karena terlahir dari keluarga yang miskin dan tidak memiliki pengaruh apa pun di dunia ini.”
“Kita bisa melaporkannya pada polisi. Kita bisa meminta lembaga bantuan hukum. Kita harus mengungkap kebenaran ini, Yah!”
Tuan Fallon menggeleng. “Kita tidak memiliki bukti dan saksi. Mereka sudah memanipulasinya dengan uang dan pengaruh mereka. Kita tidak bisa berbuat apa pun. Jika kita terus melawan, maka itu hanya akan menyakiti masa depan kalian. Miller terancam akan dikeluarkan dari sekolah. Dia tidak akan diterima di sekolah mana pun. Dia akan diasingkan oleh kehidupan dunia ini. Ayah tidak ingin semua itu terjadi padanya!”
Jonea bangkit sambil menepis tangan sang ayah. “Lalu, apa ayah akan membiarkannya begitu saja? Miller bisa saja mati saat ini! Kenapa kita berdiam diri dan menerima semuanya?”
“Maafkan aku, Jonea. Maafkan aku!” ujar Tuan Fallon berulang-ulang.
“Aku tidak bisa menerimanya, Dad! Aku pasti akan membalas mereka semua!” Jonea berbalik meninggalkan rumah sakit.
“Tunggu, Jonea, jangan! Kau bisa terluka.”
Sebelum Jonea berpaling, seorang dokter baru keluar dari ruang operasi. Baik Jonea maupun Tuan Fallon sama-sama terkejut.