Bab 6 Tersesat dan Dikuntit
“Maaf, kami tidak ada maksud buruk.”
“Siapa kalian?” teriak Jofa sambil mendorong pintu kuat-kuat agar pria yang menakutkan itu menjauh.
“Kami hanya perwakilan dari Yayasan Abraham. Mungkin kedatangan kami terlalu malam, tapi ini sangat mendesak.”
Saat mendengar nama Yayasan Abraham, tangan Jofa tiba-tiba mengendur. Dia membenci mereka semua, tapi sekaligus penasaran dengan tujuan kedatangan mereka kali ini.
Pria yang mengulurkan kaki untuk menahan pintu segera berdiri tegak. Dia merapikan kembali setelannya yang kusut. Dia mengulurkan tangan pada salah satu rekannya untuk meminta sebuah parcel. Parcel itu dia serahkan kepada Jofa.
“Kedatangan kami hanya untuk mewakili Direktur menyampaikan terima kasih atas upayamu mencegah terjadinya kekacauan di sekolah. Direktur juga berterimakasih kamu telah menyelamatkan reputasi dan masa depan sekolah kami. Karena itu, dia menitipkan hadiah kecil ini.”
Jofa terkejut. Dia hanya melirik parcel yang diberikan oleh pria itu.
“Hadiah? Reputasi? Apa hanya itu yang kalian pikirkan? Apa yang sudah kalian lakukan untuk Miller—maksudku untuk melindungi hak-hakku sebagai siswa Abraham selama ini?”
Jofa menggelengkan kepala merutuki kebodohannya. Dia hampir keceplosan.
“Dan apa yang sudah Direktur itu lakukan untuk para siswa dari kalangan bawah yang bersekolah di sana selama ini? Bukankah seharusnya kalian senang, jika orang-orang seperti kami keluar dan pergi sejauh mungkin dari sekolah elit itu?”
Pria itu berdeham.
“Kau bisa memanggilku Sekretaris Kim. Aku datang mewakili Direktur dan juga Yayasan Abraham untuk menyampaikan ucapan terima kasih karena telah menyelamatkan siswa yang mencoba bunuh diri di sekolah.”
“Dia tidak bunuh diri! Michael DISERANG!” Jofa hampir mengumpat.
Tapi, pria itu seolah tak peduli. Dia hanya terus berbicara.
“Yayasan kami juga berkomitmen, sesuai amanat dari direktur utama sebelumnya, bahwa sekolah Abraham akan terbuka untuk segala kalangan, selama mereka benar-benar siswa yang berprestasi dan memenuhi kualifikasi.”
Jofa mengembuskan napas kasar dan mulai mengerti sekarang. ‘Tampaknya sang direktur dan pihak Yayasan Abraham ingin memanfaatkan reputasiku yang sedang viral saat ini untuk mengembalikan nama baik sekolah mereka.’
Jofa menyipitkan mata.
“Kenapa kalian tidak meminta maaf dan membuat pernyataan yang benar di hadapan media massa dan semua masyarakat?”
Wajah Sekretaris Kim terlihat terkejut. Tapi, reaksi itu sangat samar sekali. Sekarang Sekretaris Kim sudah bisa mengendalikan diri dan terlihat baik-baik saja di hadapan Jofa.
‘Setelah apa yang kalian lakukan pada Miller dan juga membuat seorang siswa lain hampir mati karena diserang dua ekor serigala?’ pikir Jofa. ‘Tapi, jika aku tak kembali ke sana, maka aku tak akan pernah memiliki kesempatan untuk mencari tahu kebenaran yang menimpa Miller. Dan mungkin juga masa depan Miller akan rusak gara-gara keputusanku yang egois ini.’
Tiba-tiba Sekretaris Kim menyerahkan sebuah surat untuk Jofa. “Sebagai ucapan terima kasih dan juga selamat karena kau sudah pulih dari sakitmu pasca kecelakaan tempo hari. Direktur menitipkan ini untukmu.”
Ragu-ragu Jofa menerima surat itu dan membuka amplopnya. Dia memeriksanya dengan cepat dan sepasang matanya membuka lebar. “Kau bercanda?”
Sekretaris Kim hanya tersenyum dan menggeleng.
“Kami tidak pernah bercanda dalam menghargai hasil kerja keras orang lain. Jika sebelumnya kami sudah memberikan beasiswa penuh kepadamu dan juga saudarimu karena prestasi kalian, sekarang hadiah ini dari tangan pribadi sang direktur sendiri. Kau—Miller Fallon—mendapatkan fasilitas asrama VIP gratis sampai pendidikanmu berakhir di SMA Abraham.”
‘Asrama VIP?’ pikir Jofa.
Dia sering mendengar Miller membicarakan tentang asrama VIP yang lebih menyerupai penthouse. Tidak semua siswa mendapatkan fasilitas asrama VIP di sana. Hanya siswa-siswa dari kalangan super kaya dan khusus saja yang bisa menikmati fasilitas itu. Sedangkan siswa yang lain harus cukup puas dengan asrama reguler atau pulang pergi dari rumah ke sekolah.
***
Keesokan pagi, Jofa sudah berdiri di depan gerbang SMA Abraham. Seminggu yang lalu, dia sudah berdiri di sana untuk pertama kalinya. Tapi belum sampai sehari, sekolah sudah dibubarkan karena insiden upaya penyerangan Michael oleh dua werewolf yang hilang kendali. Hari ini, Jofa benar-benar akan menjalani kehidupan normalnya untuk menggantikan Miller di SMA Abraham.
Suara helikopter terdengar di langit, semakin lama semakin mendekat dan keras. Jofa mendongak dan memperhatikan sebuah helikopter mendekat ke arah salah satu bagian kawasan SMA Abraham.
‘Gila!’ pikir Jofa. ‘Anak sultan mana yang pergi ke sekolah dengan mengendarai helikopter? Tidakkah mobil-mobil mewah seperti BMW, Porsche, Lamborghini, dan Ferrari sudah cukup membuat jengkel?’
Helikopter itu mendarat di sebuah landasan khusus. Lahan sekolah Abraham mulai dari tingkat preschool sampai dengan SMA berada di satu kawasan yang sangat luas dan besar. Bangunan sekolah berada di daerah perbukitan pribadi yang dimiliki oleh perusahaan Abraham. Dua atau tiga helikopter yang pulang dan pergi untuk mengantarkan siswa VIP bukan hal yang aneh.
Pintu helikopter itu terbuka. Seseorang menyambut di depan pintu. Seorang pemuda turun dari helikopter dengan angkuh. Rambutnya tersapu oleh angin dan wajahnya tampak berkilau di bawah hangat matahari pagi.
“Selamat pagi, Tuan Hunter Abraham,” sambut salah satu guru di sekolah itu.
Hunter Abraham, pewaris tunggal Abraham Group hanya melambaikan tangan kirinya sekilas. Dia berjalan dengan santai sambil memanggul tas ranselnya di pundak kanan.
Penampilan Hunter terlihat sangat glamor. Dia mengenakan setelan yang mahal setiap kali pergi ke sekolah. Dan hari ini dia memakai sepatu buatan desainer yang hanya diciptakan lima pasang saja di dunia.
Di sisi lain setelah memasuki gerbang sekolah, Jofa terkejut menatap penampilan para siswa yang baru datang. Baik siswa laki-laki maupun perempuan, masing-masing mengenakan pakaian dan aksesoris yang terlalu berlebihan dan mahal. Mereka semua tampak fashionable dengan rata-rata harga pakaian dan atribut yang melekat di tubuhnya tak akan terbeli oleh uang saku Jofa.
‘Apakah Miller harus menjalani hidup selama hampir dua tahun terakhir untuk menyaksikan seluruh pemandangan yang memuakkan ini?’ pikir Jofa sambil terus melangkah mencari ruang kelasnya.
Tak jauh dari tempatnya berjalan, Jofa juga melihat segerombolan siswa yang sedang ngobrol.
Satu siswa yang menjadi pusat perhatian mengatakan, “Hanya ada lima pasang yang dibuat. Dua pasang diimpor ke negeri Safir Biru. Aku mengenakannya satu. Dan kalian tahu siapa yang memiliki satunya lagi?”
Teman-teman yang mengerumuninya sangat antusias. “Siapa?”
“Siapa yang memiliki sepasang lagi selain kamu?”
“Hunter Abraham!” ujar siswa yang menjadi pusat perhatian itu.
“Luar biasa!” puji temannya yang lain.
“Hei, apa selama musim panas kemarin kau menghabiskan waktu liburanmu hanya untuk berburu sepatu terbatas ini?”
“Hei, jangan memikirkan itu. Lihatlah sepatu ini sangat cocok di kakiku bukan? Aku bahkan terlihat lebih bergaya daripada Hunter,” ujar siswa itu dengan seringai sombongnya.
Jofa tak lagi menghiraukan para siswa yang memamerkan barang-barang barunya usai melewati liburan musim panas. Dia terlalu sibuk melihat buku catatan dan gambar denah lokasi sekolah yang sudah dia buat sebelumnya.
“Di mana ruang kelas Miller? Sialan! Tempat ini luas sekali. Minggu lalu aku terlalu sibuk untuk mengejar-ngejar Michael sampai aku tak sempat mencari di mana ruang kelas Miller.”
Jofa terus berputar-putar mengikuti denah yang dia gambar. Sesekali dia mengumpat karena gambarnya mungkin tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Dia mendapatkan peta itu dari website sekitar setahun yang lalu.
Tanpa sadar, Jofa sudah tersesat di sebuah taman kecil yang lebih menyerupai hutan alami. Hutan itu masih menjadi bagian dari wilayah sekolah. Tempat itu sangat gelap dan rimbun dengan pepohonan tua.
Jofa sedikit gemetar. Dia mendengarkan suara-suara dan tiba-tiba merinding. Dia merasa ada yang terus mengikuti dan mengawasinya sejak masuk gerbang sekolah.
“Kenapa aku sampai tersesat ke sini? Bagaimana jika aku tak bisa kembali?”
Jofa mundur ketakutan. Dia mencoba menyusuri jalan setapak tempat dia datang tadi. Semakin lama, langkah gadis itu semakin cepat. Dia merasa seseorang terus mengawasi dan mengikutinya dan semakin dekat.
Saat Jofa akhirnya berlari lebih cepat, tiba-tiba sesuatu melompat di depannya dan mengadang.
“A-apa itu?”