Bab 2 Miller Fallon
Jonea dan ayahnya panik saat sang dokter keluar dari ruang operasi dengan wajah datar. Pria itu mendekati Tuan Fellon dan menepuk pundaknya.
“Miller... apakah dia...?”
Tiba-tiba dokter tersenyum. “Operasi berjalan dengan baik. Miller tampaknya memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan hidup. Pendarahan di otaknya sudah kami atasi. Kami akan terus memantau kondisinya. Mungkin akan ada efek—“
Jonea meringsek maju.
“Bagaimana bisa dia mengalami pendarahan otak?”
“Kepalanya mengalami cedera akibat benturan dengan benda tumpul.”
Sang dokter pamit pergi dan hanya tertinggal Tuan Fallon bersama Jonea.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada Miller, Ayah?”
Tuan Fallon masih bungkam. Pria itu hanya bisa menunduk. Jonea tidak ingin mendesak ayahnya lebih jauh. Saat ini dia mengalami banyak tekanan. Selain Miller yang baru selesai operasi, istrinya juga terus pingsan dan sekarang perlu mendapatkan perawatan sendiri.
***
Jonea dan Tuan Fallon bergantian menemani Miller yang sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Remaja itu memejamkan mata. Wajahnya bengkak dan banyak lebam. Kepalanya dibungkus dengan perban. Saat Jonea akan pulang malam itu untuk bertukar jaga dengan Tuan Fallon, tiba-tiba Miller bergerak menarik ujung baju Jonea.
“Miller?”
Jonea dan ayahnya terkejut karena Miller akhirnya memberikan reaksi, meski tidak bisa berbicara sepatah kata pun.
Tuan Fallon mengusap air matanya dan menarik tangan Jonea agar menjauh dari adiknya.
“Dengarkan aku, Jonea. SMA Abraham adalah cita-cita adikmu. Dia berusaha keras dan belajar dengan mati-matian demi bisa masuk ke sekolah elit itu. Miller berhasil membuktikan diri bahkan selalu mendapatkan juara pertama selama dua tahun berturut-turut. Dia melakukan itu semua demi mempertahankan beasiswanya.”
Jonea tahu apa yang dikatakan ayahnya adalah kebenaran. Jonea melihat betapa kerasnya Miller berjuang untuk bisa mendapatkan beasiswa dan bersekolah di sekolah favoritnya.
Berbeda dengan Jonea yang lebih menyukai seni. Dia tidak pernah tertarik untuk masuk ke sekolah para werewolf anak-anak orang kaya itu. Meski Jonea memenuhi seluruh persyaratan untuk mendapatkan beasiswa di sana dengan mudah.
“Kau mungkin tidak mengerti,” ujar sang ayah. “Karena kau bisa mendapatkan semua yang kau inginkan dengan mudah. Sedangkan Miller, dia harus melalui segala kesulitan untuk mendapatkan keinginannya. Dia ditakdirkan lemah sejak lahir.”
Jonea juga tahu itu. Makanya mereka sangat menjaga dan mencintai Miller lebih dari siapa pun.
“Tapi, Ayah... Miller mendapatkan perlakuan yang tidak adil di sekolahnya. Apakah kita harus diam dan menerimanya begitu saja?” Jonea berusaha menjaga emosinya yang hampir meledak.
Tuan Fallon menggeleng. “Aku juga marah. Ini semua salah. Tapi aku juga tahu, adikmu tidak ingin kehilangan cita-citanya. Jadi, tolong jangan membuat semuanya semakin kacau. Kita tunggu sampai dia pulih dan kita bisa mendiskusikan langkah terbaik untuknya setelah itu.”
Jonea benar-benar sangat kesal. Dia meninggalkan sang ayah dan menepis tangan pria itu. Jonea berlari meninggalkan rumah sakit dengan air mata berderai.
Gadis itu kembali ke rumah sendirian. Dia meringkuk di kamarnya di dalam kegelapan. Jonea sengaja memadamkan lampu rumah dan berdiam diri di sana seperti orang gila.
Tangan Jonea terulur. Dia meraih meja belajar di samping tempat tidur. Dia menyalakan dan mematikan saklar lampu selama berulang-ulang. Ketika dalam keadaan terang dan gelap berulang-ulang itulah Jonea tiba-tiba memikirkan sesuatu.
Gadis itu segera bangkit dan berlari menuju ke kamar adiknya. Dia buka pintu kamar Miller dan menyalakan lampu. Terpampang segala pernak-pernik khas remaja laki-laki.
Jonea mengobrak-abrik meja belajar Miller. Dia membuka laci dan mengeluarkan semua isinya.
“Di mana buku itu? Di mana kau menyimpannya? Aku yakin pernah melihatnya di suatu tempat. Di mana benda keparat itu kau sembunyikan!” teriak Jonea dengan kesal sambil membanting wadah pensil yang ada di meja hingga berserakan ke lantai.
Akibat getaran, sebuah mainan figur jatuh ke lantai dan diikuti album foto kelulusan Miller saat SMP. Tepat di rak tempat album foto itu sebelumnya berdiri, Jonea melihat sebuah buku berwarna hitam yang sedang dia cari.
Beberapa bulan yang lalu saat menjelang ujian kenaikan kelas, Jonea melihat Miller pulang sekolah dengan wajah lebam dan bibir pecah.
“Hei, ada apa dengan wajahmu?”
Miller mengabaikan Jonea.
Jonea berusaha memeriksa wajah adiknya, tapi Miller mendorong dan menyingkirkan Jonea agar menjauh.
“Jangan katakan apa pun pada ayah dan ibu. Aku hanya terpeleset dan tidak sengaja membentur tangga.”
Miller lalu mengurung diri di kamar.
Jonea sadar Miller sering sekali pulang ke rumah dengan tubuh yang dipenuhi luka. Dia pikir adalah hal yang biasa jika remaja laki-laki sesekali berantem dengan temannya.
Di lain hari, Jonea pernah memergoki Miller membuat catatan di buku bersampul hitam itu. Ketika Jonea mendekatinya, Miller cepat-cepat menutup dan menyembunyikannya.
“Kau benar-benar tidak ingin bercerita padaku? Jika memang bersekolah di sana sangat berat, kenapa kau tidak pindah saja? Kau bisa pergi ke sekolah mana pun yang kau inginkan dengan kemampuanmu itu.”
“Berhenti ikut campur urusanku!” teriak Miller. “Aku bukan anakmu yang harus selalu kau jaga dan lindungi. Aku bukan anak SD lagi. Kau selalu membuatku malu!”
Jonea mengembuskan napas berat. Karena Miller memiliki tubuh yang lemah sejak kecil dan sering sakit, Jonea jadi terlalu melindunginya. Jonea selalu membalas dan memukuli teman-teman Miller jika dia diganggu. Tapi, mendapat perlindungan dari seorang anak perempuan tampaknya melukai harga diri Miller.
“Aku tidak sepandai dirimu. Aku juga tidak seberani dirimu. Kau bisa mengambil sekolah di jurusan seni tanpa berpikir panjang. Tapi, aku tidak bisa seperti itu! Aku mengkhawatirkan masa depanku. Karena aku tidak sepandai dirimu.”
Saat itulah pertama kalinya Miller mengungkapkan isi hatinya yang terpendam pada Jonea.
“Tidak ada yang bisa kau lakukan untukku!” teriak Miller. “Tidak ada yang bisa aku banggakan seperti dirimu selain berhasil meraih beasiswa dan bersekolah di SMA Abraham.”
Jonea menggelengkan kepala. Dia berusaha menghapus ingatan pertengkarannya dengan Miller beberapa bulan yang lalu. Dan tiga hari yang lalu, untuk pertama kalinya Miller menelepon Jonea untuk mengajaknya pulang sekolah bersama.
Jonea membuka halaman demi halaman buku catatan Miller. Dia membacanya sambil menahan air mata.
“Seburuk ini mereka memperlakukanmu hanya karena kau manusia dan miskin?”
Tanpa sadar tangan Jonea sudah mengepal dan meremas salah satu halaman buku catatan itu.
“Keparat!” umpat Jonea. “Jadi selama ini mereka selalu merundung dan mengganggumu? Kenapa kau menyimpan semuanya sendiri seolah-olah kau kuat? Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?”
Jonea bangkit dan menatap wajahnya di depan cermin. Dia meraba wajahnya yang cantik. Orang-orang selalu mengatakan, Miller adalah versi laki-laki dari Jonea. Karena Miller memiliki wajah secantik Jonea. Tapi, kecantikan itu membuat Miller dibenci para teman laki-lakinya karena menghasilkan kombinasi wajah yang sangat disukai gadis-gadis.
Jonea melirik laci dan mengambil gunting.
“Akan aku balas semua perbuatan mereka! Akan aku buat mereka membayar setiap perbuatannya padamu.”