Bab 8 Periksa
Dua bulan kemudian.
Masih ada tiga antrean dan Reisa sudah tidak sabar menunggu. Kakinya kesemutan. Tubuhnya gemetaran. Mual yang terus menerus mendera membuatnya nekat berbaring di kursi tunggu, tak perduli ada banyak pasang mata yang melihat.
"Mual, Bik," katanya manja.
Di tangan Reisa ada sepotong roti manis untuk cemilan. Sedari tadi mulutnya mengunyah sambil mengeluhkan perut yang terasa tidak nyaman. Obat anti mual yang diberikan dokter dipemeriksaan sebelumnya juga tidak berefek banyak.
Mualnya tidak hilang, kecuali pada saat tertidur. Begitu bangun, dia akan mengeluarkan semua yang dimakan sebelumnya.
"Ya Tuhan. Beginikah rasanya mengandung?" Rasanya dia tidak sanggup.
"Sabar, Non. Bentar lagi giliran kita."
Benar saja kata Inah. Tak lama setelah pasien yang di dalam selesai periksa, si perawat memanggil pasien berikutnya.
"Antrean nomor sepuluh. Silakan masuk."
Tidak ada yang berdiri sehingga beberapa pasien lain saling berpandangan.
"Ibu Reisa. Ibu Reisa."
Suara panggilan terdengar lagi.
"Non! Non! Dipanggil."
Inah membangunkan Reisa yang terlelap. Dia sendiri tak ingat berapa nomor antrean mereka karena sedari tadi memijit bahu nonanya yang pegal.
"Eh, ayo masuk, Bik."
Mereka buru-buru masuk ke ruangan tempat periksa.
Dokter yang ini berbeda dari yang sebelumnya Reisa datangi. Namanya Andini. Setiap bulan dia harus berganti-ganti dokter. Begitu yang diperintahkan oleh papanya. Akhirnya Wisnu bisa menerima ujian ini bahkan sangat menjaga putrinya hingga masa bersalin tiba.
"Silakan berbaring."
Reisa berbaring dibantu oleh salah seorang perawat. Sebagian bajunya dibuka untuk dioleskan gel di bagian perut untuk mempermudah pemeriksaan.
Dokter Andini mulai melakukan tindakan, meletakkan alat USG itu di perut datar Reisa.
"Bagus ya, Ibu. Janinnya sehat. Pertumbuhannya sesuai usia. Beratnya juga."
"Masih kecil ya, Dokter? Belum kelihatan," ucap Reisa sembari mengintip di layar.
"Iya, Bu. Sesuai usianya dua belas minggu. Tapi normal kok ini panjangnya lima sentimeter. Beratnya lima belas gram. Ini kaki dan tangannya sudah mulai terbentuk."
Dokter Andini menunjukkan hasil gambar USG-nya kepada Reisa, yang dibalas dengan anggukan.
"Tuh dengerin ya, Bu. Suara detak jantungnya."
Saat speaker alat itu dinyalakan terdengarlah suara detak jantung si janin. Bersamaan dengan itu pula jantung Reisa ikut berdetak.
Dug dug dug ....
"Laki-laki atau perempuan, ya?"
Dokter Andini tertawa kecil. Pertanyaan Reisa mungkin terdengar lucu baginya, walaupun ada banyak pasien yang bertanya hal yang sama.
"Belum terlihat, Bu. Nanti mungkin di trisemester kedua. Sabar ya, asal rutin berkunjung nanti saya akan bantu."
Reisa kembali mengangguk dan menyimak setiap penjelasan yang dipaparkan.
"Selesai, ya."
Alat itu kembali diletakkan ke mesinnya dan bekas gel dibersihkan.
Begitu pakaiannya dirapikan kembali, Reisa kembali merasakan mual. Dengan sigap si perawat membantumya menuju wastafel. Wanita itu terlihat benar-benar pucat dan lemas.
"Ibu kemari," ucap Dokter Andini memanggil Inah.
"Ya, Dokter?"
"Sebelumnya periksa kemana ya, Bu?"
"Pindah-pindah, Bu Dokter," jawab Inah jujur sembari menyebutkan beberapa nama dokter kandungan di kota itu.
"Oh, yang di rumah sakit swasta terkenal itu, ya?"
Inah mengangguk. Dia juga tidak terlalu mengerti, hanya mengikuti dan menemani saat Tarno mengantar mereka.
"Ibu bawa obat dan vitamin yang diberikan dokter sebelumnya?"
Inah mengeluarkan pouch tempat menyimpan obat-obat kehamilan Reisa.
Dokter Andini memeriksa dosisnya dengan teliti. Sudah benar, dia pun memberikan resep yang sama kepada pasiennya yang lain. Untuk kasus Reisa, mungkin dia akan menambahkan dosis mengingat mual muntahnya cukup parah. Hyperemesis namanya.
"Ini saya berikan anti mual yang sama hanya dosisnya dinaikkan. Tadinya empat gram menjadi delapan gram. Diminum dua kali sehari cukup."
Kali ini Reisa ikut duduk di sebelah Inah. Wajahnya terlihat semakin pucat.
"Ibu Reisa bisa rebahan di sofa saja dulu. Biar saya jelaskan sama mamanya."
Mereka saling berpandangan dan tersenyum sembari mengangguk. Dokter Andini pastilah menyangka Inah adalah mamanya. Untungnya wanita paruh baya itu berpakaian rapi saat pergi tadi, sehingga tidak terlalu kentara.
"Bu Reisa, ini resepnya. Nanti tebus saja di apotik terdekat. Ini saya tambahkan vitamin biar ibu gak lemes," ucap Dokter Andini dengan spoan.
Pantas saja pasiennya ramai. Dia begitu perhatian dan baik hati. Tarif pemeriksaannya juga terjangkau, padahal menggunakan alat empat dimensi.
"Terima kasih, Dokter."
Inah mengambil resep dan memasukkan ke dalam tasnya.
"Itu bisa di save nomor ponsel saya. Ibu boleh kok nge-chat kalau ada yang mau ditanyakan. Kalau lagi gak rame pasien atau operasi, pasti saya balas."
"Baik, Dokter. Terima kasih, ya."
Inah dan Reisa berpamitan dan hendak keluar menuju pintu, ketika tiba-tiba saja dokter Andini berkata ....
"Oh iya, Bu Reisa. Suaminya mana?"
***
Suasana di mobil menjadi canggung semenjak mereka keluar dari ruangan praktek itu. Reisa yang tadinya ceria saat hendak pergi melihat anaknya, menjadi terdiam di sepanjang perjalanan pulang.
Inah pun menjadi serba salah. Dokter Andinu tidak tahu apa yang terjadi. Tadi mungkin dia keceplosan menanyakannya.
"Oh iya, Bu Reisa. Suaminya mana?"
Inah dan Reisa kembali berpandangan. Mereka terdiam untuk beberapa saat.
Dokter Andini terlihat kebingungan. Mungkin pertanyaannya salah, atau mungkin pasiennya ini hamil di luar nikah.
"Ke ... luar kota," jawab Inah. Entah apa yang merasukinya, hingga dengan cepat mengatakan hal itu.
"Eh iya, Dokter. Suami sedang keluar kota."
Rasanya ada sesuatu tersangkut di leher Reisa saat mengucapkannya. Apalagi saat terbayang wajah Andra, hatinya kembali perih.
"Sebaiknya lain kali kalau periksa lagi, suaminya ikut serta ya, Bu. Supaya tahu perkembangan janinnya. Bapak-bapak juga harus ngerti. Apalagi kondisi Ibu cukul lemah. Baiknya ada yang menguatkan."
"I ... ya, Bu dokter."
Air mata Reisa hendak tumpah, namun wanita itu mencoba menahannya.
"Baiklah. Sampai bertemu dipemeriksaan selanjutnya ya, Ibu. Terima kasih."
Mereka bergegas keluar. Pulang. Reisa yang tadinya ingin mampir makan bubur ayam, menjadi tidak berselera. Air matanya tumpah dengan pandangan yang kosong. Wanita itu hanya menatap ke arah jendela mobil.
Tarno dan Inah saling berpandangan. Laki-laki itu memberi kode dengan berbisik.
"Apa?" tanya Inah. Dia mendekatkan wajah karena suara Tarno nyaris tak terdengar.
Tarno memberikan kode lalu menoleh ke belakang dan berkata, "Ada bubur ayam enak di ujung sana."
Inah mengangguk tanda paham, lalu memikirkan bagaimana cara membujuk Reisa agar mau mampir. Sedari tadi tidak ada makanan yang masuk ke perutnya. Padahal di tempat dokter praktek tadi dia mengeluarkan banyak cairan.
Inah mengusap punggung Reisa dengan lembut, lalu berkata, "Non, kata Pak Nok di perempatan sana ada bubur ayam enak. Kita mampir, ya."
Reisa menggeleng.
"Tapi Bibik lapar, Non."
Tarno tersenyum, dalam hati berkata pintar juga Inah membujuk.
"Biar bibik aja yang makan. Kalau Non Rei gak mau, ya gak apa-apa. Kan bisa minum es jeruk. Rasanya seger. Ya kan, Nok?"
Tarno mengulum senyum, lalu mengangguk.
"Iye, Jah. Malam ini cuaca panas. Gue juga aus."
Reisa menoleh kemudian dengan berat hati menyetujuinya. Itu membuat Tarno dan Inah tersenyum lega.
Tarno memarkir mobil dengan cantik. Begitu masuk ke tempat itu, mereka langsung memesan makanan dan minuman.
Pesanan tiba dalam sekejap. Reisa melihat dua orang itu makan dengan lahap. Bubur Ayam Bandung ditambah kerupuk emping dan ampela hati, membuatnya menelan air ludah berkali-kali.
"Non mau?" tanya Inah.
"Boleh, Bik," jawab Reisa sembari mengusap perut.
"Pesenin, Nok."
Dengan sigap Tarno memanggil pelayan.
"Non mau porsi lengkap?" Dia bertanya.
"Iya, Pak Nok. Yang kayak Bapak makan," tunjuk Reisa.
"Tapi jangan pake sambel, ya Non. Nanti makin mual," saran Inah.
"Iya, Bik," jawab Reisa menurut.
Jadilah, mereka makan bertiga dengan lahap. Reisa bahkan meminta beberapa porsi dibungkus untuk dibawa pulang. Alasannya untuk nanti dimakan di rumah kalau dia mau lagi.
Padahal dalam hati, dia membelinya untuk Andra. Dulu mereka suka makan bubur ayam bersama di kantin sekolah.
Entah kenapa dia teringat akan kenangan itu.