Bab 11 Bunga Matahari
Mata Andra tak berkedip. Pemandangan dihadapannya sungguh memukau. Reisa terlihat cantik memakai dress selutut dan rambut yang dicepol asal-asalan. Wanita itu tengah asyik melihat-lihat Tarno yang sedang menyiram dan menanam beberapa bunga di taman belakang. Reisa mungkin lupa, atau tidak tahu, bahwa kamar Andra terhubung dengan taman itu.
Sejak tadi, Andra menjadi pengintip di balik gorden. Dia tak berani membukanya lebar seperti hari-hari biasanya, melihat apa yang dilakukan pujaan hatinya.
Saat Reisa bersenda gurau dengan Tarno, hati Andra menjadi ketar-ketir dibuatnya. Melihat senyuman dan tawa wanitanya itu bergema, dirinya dipenuhi dengan kebahagiaan.
Ah, pagi ini memang indah.
Hampir empat bulan sejak mereka tinggal di sini, suasana sangat mencekam. Sejak insiden bubur waktu itu, sikap Reisa sedikit melunak dan sudah kembali ceria. Tawanya bahkan terdengar sampai ke kamar Andra.
Reisa sejak dulu memang suka menjahili orang lain. Pagi ini, Tarno yang menjadi korbannya. Bibit bunga yang akan ditanam dia sembunyikan. Kasihan Tarno sampai kebingungan.
"Non, sembunyiin di mana hayo?"
"Gak ada, Pak Nok. Beneran!" Reisa mengancungkan dua jarinya untuk meyakinkan.
"Aduh, Non. Pan tadi ada di mari. Sekarang kok udah lenyap aje."
Tarno mondar-mandir mencari sesuatu dan belum ketemu. Akhirnya dia memilih duduk di kursi sembari mengelap keringat yang menetes. Sesekali mengipas tangan karena merasa gerah. Cuaca cukup panas hari ini.
"Ih, Bapak nuduh Rei, ya?" Pintar sekali dia berpura-pura.
"Non, ayo kasih tau. Bentar lagi pan Bapak mau nganter Den Andra pergi. Kelarin dulu yang ini."
Tarno masih mencoba, dia tahu memang Reisa yang menyembunyikan bibit tanaman itu.
"Emang Andra mau ke mana, Pak?"
Reisa bertanya, kali ini dia penasaran juga. Biasanya dia peduli sama sekali. Bahkan jika perlu, tak usah melihat wajah Andra untuk selama-lamanya.
"Mau ada janji makan siang sama klien, Non. Bilangnya sih gitu."
Mendengar penjelasan Tarno, Reisa menjadi semakin penasaran.
"Siapa?" tanya wanita itu dengan penasaran.
"Bapak kurang tau juga. Tapi mbaknya cakep banget. Waktu itu Bapak sempat nganter juga pas ketemuannya. Kalau gak salah, ini yang ketiga kali," jawab Tarno jujur.
Ada sesuatu yang berdenyut di dada Reisa. Dia tidak suka, apalagi sewaktu Tarno bilang bahwa klien Andra adalah seorang wanita, cantik pula. Untuk apa juga makan siang? Mereka kan bisa ketemuan di lobi. Itukan hotel milik keluarga Andra.
Tapi .... sejak kapan dia peduli?
"Jam berapa mau perginya, Pak?"
"Mungkin satu jam lagi, Non. Jadi, Bapak kudu benerin dulu ini taman. Den Andra sekarang suka sama bunga-bunga."
"Oh ya?"
"Iya. Pas habis pindahan waktu itu, Den Andra seneng banget. Dia nyuruh Bapak nanam bunga di mari."
Reisa mulai berpikir dan betanya-tanya dalam hati. Bukannya selama ini Andra tidak romantis sama sekali? Dia enderung cuek dan blak-blakan. Bunga bukanlah sifat aslinya.
"Kenapa begitu?"
"Katanya nanti kalau adek lahir, mau dibawa maen. Taman ini ntu kehubung sama kamar Den Andra." Tarno menjelaskan sembari menunjuk ke arah kamar tuannya.
Reisa menoleh, lalu tiba-tiba ....
Prang!
Terdengar bunyi benda yang terjatuh, saat pandangan mata Reisa menoleh ke arah kamar itu. Ternyata Andra ketahuan sedang mengintip.
"Suara apa itu, Pak?" Reisa berdiri dan melihat ke arah pintu itu, hendak menuju ke sana tapi hatinya masih meragu.
"Gak tau juga, Non. Mungkin Den Andra jatuh."
Tarno berkata sesaat kemudian dia ikut berdiri dan membereskan perlengkapan bercocok tanam.
"Andra jatuh?"
Reisa berlari ke kamar itu dan mengetuk pintu penghubungnya. Tiba-tiba hatinya diliputi rasa khawatir yang berlebihan. Jika Andra terjatuh, apa dia terluka?
"Ndra. Ndra. Kamu gak apa-apa?"
Andra terdiam dan masih menimbang-nimbang, berperang dengan pikirannya sendiri. Tangannya gemetaran. Kuat-kuat hati, ya. Biasanya juga dia juga yang malah ingin bertemu dengan Reisa. Sekarang malah dia yang nervous.
"Ndra?" Gedoran pintu semakin kuat terdengar.
"Iya," ucap Andra terbata.
"Kamu lagi ngapain di dalam? Ada yang jatuh?"
"Gak apa-apa, Rei. Ini kesenggol lampu kamar."
Andra mengusap dada dengan tubuh yang bersandar di dinding. Napasnya turun naik. Jantungnya masih berdetak kencang.
"Buka pintunya, Ndra. Aku mau liat." Reisa mengucapkan itu dengan nada memaksa.
"Bentar, Rei." Andra mengusap wajah berulang kali lalu segera membuka pintu.
"Aaaaa ...."
Saat Andra muncul, Reisa berteriak dan membalikkan tubuh. Wajahnya merona dan langsung menutup mata karena malu.
Andra shirtless. Reisa merasa jengah. Ketika dia menyadari hal itu, Andra segera membuka lemari dan mengambil kaus, lalu memakainya dengan cepat.
"Sorry, Rei. Gue gak bermaksud--"
Reisa masih terdiam. Tarno yang melihat kelakuan mereka berdua hanya tersenyum geli. Dia segers berlari memanggil Inah, agar ikut menyaksikan keromantisan mereka berdua.
"Masuk, Rei. Gak apa-apa kok. Gue udah pake' baju."
Nada suara Andra terdengar tenang, padahal dalam hati berdebar tak karuan.
Dengan ragu-ragu, Reisa memasuki kamar itu. Namun, kali ini rasa khawatirnya lebih dominan dari pada rasa takutnya. Entahlah.
"Itu kacanya pecah,"
Reisa menunjuk serpihan yang bertebaran di lantai. Pecahan kaca lampu kamar itu sangat berbahaya jika tidak dibersihkan. Belum lagi colokan masih terhubung dengan stop kontak listrik. Sepertinya hanya tersenggol sedikit dan terjatuh tidak jauh dari nakas.
"Ntar gue bersihin. Lu gak usah khawatir," jawab Andra.
Dalam situasi begini, agak gampang-gampang susah untuk meyakinkan Reisa dengan semua ucapannya. Wanita itu sudah kehilangan kepercayaan kepada dirinya, sekecil apa pun itu.
"Iya, tapi itu kan bahaya. Pecahannya pasti berserakan di mana-mana." Di wajah Reisa terlihat rasa cemas yang berlebihan.
"Ntar gue beresin,.ya. Lu tenang aja. Oke?"
"Nanti kena kaki!" Wanita itu terlihat emosional, itu terdengar dari nada suaranya yang meninggi.
"Rei ...." Andra menegurnya.
"Eh,"
Reisa merasa tak enak hati. Kenapa dia jadi emosi? Sejak kehamilannya, wanita itu merasa lebih gampang marah, merasa sedih, menangis dan merasa ketakutan akan sesuatu hal. Perasaannya sangatlah sensitif.
Ibu hamil memang begitu, 'kan? Pengaruh hormon. Selain pada psikis, fisiknya juga mengalami banyak perubahan. Berat badan juga bertambah. Kulitnya menjadi lebih halus.
Reisa terlihat semakin cantik. Perutnya sudah terlihat membulat, tanda bahwa ada kehidupan di dalamnya.
"Aku mau balik kamar dulu. Jangan lupa dibersihkan. Bahaya kalau kena kaki. Bye!"
Setengah berlari Reisa meninggalkan Andra yang sedang terbengong menatap kepergiannya.
"REI, JANGAN LARI-LARI. BAHAYA. INGAT BAYINYA!"
Andra berteriak memperingatkan. Tidak berani mengejar, takut wanita itumerajuk. Namun dia yakin bahwa Reisa pasti mendengarkan.
***
Sementara itu, Inah dan Tarno di dalam persembunyiannya sedang tertawa geli melihat kelakuan mereka.
"Nah. Kalau misalnya nih Den Andra lari ngejar non Reisa. Pan jadi mirip kayak di pelem-pelem India, yak?"
"Ho'oh, Nok. Bener kata lu. Lucu, ye."
"Aduh. Napa kita malah ngetawain. Harusnye pan kita nge'doain, biar akur lagi kayak dulu."
"Kan lu duluan yang ngajak ngintipin mereka. Gue ngikut aja."
"Lu juga mau kan, Nah?"
"Iye, tapi kalau lu gak ngajakin, gue mana tau. Gue lagi nyuci piring di dapur," jawab Inah sewot.
Mengapa dua orang ini malah bertengkar?
"Ya udah, gue mau beresin 'ntu taman. Lu balik dapur sono. Bikin pisang goreng. Gue laper, nih."
"Enak aje, emang lu juragan gue apa? Pake' nyuruh-nyuruh segala."
"Gue laper nih. Dari tadi ngurusin taman. Lagian Den Andra juga suka makan pisang goreng, lu bikinin dah. Lebihin agak banyak buat gue gitu."
"Ogah gue!"
"Inah lu cakep, dah."
"Udah tua, Nok. Inget umur."
"Biar juga tua, jiwa harus tetap muda. Ye kan?"
"Iye, Nok. Serah lu aja. Gue ke dapur dolo, bikinin pisang.buat lu dah. Tunggu aja, jangan bawel."
"Gue nunggu ye. Ntar kalau udah, lu manggil. Beneran. Jangan pehape."
Inah sudah tak memerdulikan perkataan Tarno. Dia berjalan masuk ke rumah dan langsung menuju dapur. Sebelumnya, dia sempat mampir ke kamar Reisa sebentar. Menanyakan apakah nonanya itu mau makan pisang goreng atau tidak.
Reisa mengiyakan. Jadi, Inah mungkin agak lama di dapur karena yang dimasaknya cukup banyak.
"Bik, Aku mau air kelapa," pintanya manja.
"Boleh, Non. Tapi, ntar nitip sama Si Nok. Dia mau keluar nganter Den Andra. Biar sekalian beli."
"Boleh, Bik."
"Agak lama gak apa-apa, Non? Kayaknya Den Andra ada keperluan apa gitu."
"Iya, gak apa-apa. Aku nunggu aja."
Reisa berbaring di kamarnya. Bayangan meminum air kelapa dan pisang goreng yang masih panas terbesit di benaknya. Dia jadi lapar.