Bab 3 Aku Sebenarnya Bisa Tahan Dengan Kegelapan
"Kamu mungkin sampai sekarang belum pernah merasakan manisnya cinta, ‘kan? Saat Joseph bersamaku, dia akan memasak untukku, dan saat aku sakit, dia selalu jadi orang pertama yang datang menemaniku, dia pernah bilang kalimat paling lembut, 'Ella, aku mau kamu selalu bahagia’ ...."
"Apa Joseph pernah bilang kalau dia mencintaimu? Dulu dia sering mengatakan itu padaku, tapi aku selalu menganggapnya terlalu kekanak-kanakan ...."
Ariel diam-diam mendengarkan, mengenang hari-harinya selama tiga tahun bersama Joseph.
Dia tidak pernah masuk ke dapur ....
Saat dirinya sakit, Joseph juga tidak pernah mencemaskannya.
Tentang cinta, dia tidak pernah mengatakannya.
Ariel menatapnya dengan tenang, "Apa sudah selesai?"
Ella terdiam.
Entah karena Ariel terlalu tenang, atau karena matanya terlalu jernih, seolah-olah bisa melihat ke dalam hati seseorang.
Hingga Ariel pergi, dia masih terdiam di sana.
Entah kenapa, saat ini, Ella seolah-olah kembali ke masa lalu sebagai anak yatim miskin yang harus menerima bantuan dari keluarga Moore.
Di balik sosoknya yang seperti putri keluarga Moore, selalu ada bayangan badut kecil yang melompat-lompat.
...
Bagaimana mungkin Ariel bisa tetap acuh terhadap kata-kata yang diucapkannya barusan?
Pria yang telah ia kejar dan sukai selama dua belas tahun, ternyata juga pernah mencintai orang lain dengan begitu hangat dan tulus, seperti seorang anak kecil.
Telinganya mulai sakit lagi, saat Ariel hendak melepas alat bantu dengarnya, dia baru menyadari ada darah yang menetes di atasnya.
Ia seolah sudah terbiasa membersihkan darah itu dan meletakkan alat bantu dengar di sampingnya.
Malam ini ia tidak bisa tidur ....
Ariel mengambil ponselnya dan membuka Whatsapp.
Dia melihat sejumlah unggahan temannya yang menyebutnya.
Dia membukanya, semuanya adalah foto yang dikirimkan Ella hanya untuk dirinya.
Foto pertama, adalah foto Ella dan Joseph saat di Universitas, mereka berdiri bersama, tatapan mata Joseph begitu lembut.
Foto kedua, adalah tangkapan layar percakapan mereka, Joseph dengan mesra berkata, ‘Ella, selamat ulang tahun, aku akan membuatmu jadi orang paling bahagia di dunia ini.’
Foto ketiga, adalah foto punggung Joseph dan Ella yang saling berpegangan tangan saat berjalan di pantai ....
Foto keempat, kelima, keenam, dan masih banyak lagi, membuat Ariel merasa sesak napas ....
Dia tidak berani melihat foto lainnya, segera menutup ponsel.
Pada saat itu, dia tiba-tiba merasa sudah saatnya menyerah.
Hari itu, Ariel menulis satu kalimat ini di buku hariannya.
‘Aku sebenarnya bisa tahan dalam kegelapan, asalkan aku tidak pernah lihat cahaya.’
Keesokan harinya, dia pergi untuk menyiapkan sarapan seperti biasa.
Tapi ketika jam enam berlalu, Joseph juga belum pulang, Ariel baru ingat kalau dia tidak perlu menyiapkan sarapan lagi.
Dia pikir Joseph tidak akan pulang, maka duduk sendirian di sofa, dan akhirnya tertidur.
"Sudah kubilang, tidak perlu siapkan sarapan untukku, ‘kan?"
Suara yang tidak sabar terdengar.
Ariel terbangun kaget, membuka mata, dan melihat Joseph berjalan melewatinya dengan emosi.
Dia secara refleks meminta maaf, "Maaf, aku lupa."
Lagi-lagi lupa, lagi-lagi minta maaf ....
Joseph menoleh ke arahnya, tatapannya sangat dingin.
Hari ini, dia memakai baju abu-abu muda seperti biasanya, pakaian yang sederhana.
Terlihat seolah ia tidak punya uang, seperti selalu disiksa sepanjang waktu.
"Kenapa kamu tidak lupa kalau kamu harus pulang ke rumah? Kenapa kamu tidak lupa kalau kita sudah menikah, dan tidak melupakan dirimu sendiri?"
"Apa kamu tidak rela? Tidak rela menghamburkan uang keluarga Lincoln? Tidak rela kehilangan aku, si mesin penghasil uang ini!"
Kata-katanya seperti pisau yang langsung menusuk hati Ariel.
Ariel menundukkan kepalanya, "Joseph, aku tidak pernah menginginkan uangmu."
Yang dia pedulikan hanyalah Joseph.
Joseph tertawa, senyumnya penuh dengan sindiran.
"Lalu, kenapa ibumu datang ke perusahaan pagi ini dan memohon agar aku memberimu seorang anak?"
Ariel terkejut.
Dia menatap mata Joseph yang penuh amarah, baru menyadari bahwa dia bukan marah tentang tadi malam.
Joseph tidak banyak bicara lagi.
"Ariel, kalau kamu mau tetap tinggal di keluarga Lincoln dengan baik, kalau kamu mau keluarga Moore tidak bangkrut, minta ibumu bersikap lebih tenang."
Setelah itu, Joseph pergi ke ruang kerja, mengambil sesuatu, mengganti pakaian, dan pergi.
...
Sebelum Ariel sempat mencari ibunya.
Ibunya sudah datang mencarinya sendiri, berbeda dengan sikap dinginnya yang biasa, kali ini dia meraih tangan Ariel, dan berkata dengan lembut.
"Ariel, minta Joseph memberimu seorang anak. Bahkan kalau harus melalui metode medis, tidak masalah."
Metode medis!
Ariel tertegun menatap ibunya.
"Ella sudah bilang pada ibu, selama tiga tahun ini, Joseph tidak pernah menyentuhmu."
Kata-kata ini mungkin adalah pukulan terakhir yang menghancurkan harapan.
Di dunia ini, tidak pernah ada empati, hanya kepentingan masing-masing.
Ariel tidak mengerti kenapa Joseph harus memberitahu Ella tentang hal ini.
Mungkin dia benar-benar mencintainya ....
Memikirkan hal ini, tiba-tiba dia merasa sedikit lega.
"Ibu. Lepaskanlah."
Stevi terkejut, keningnya berkerut, "Apa kamu bilang?"
"Aku lelah, aku mau bercerai dengan Joseph ...."
‘Plak!’
Sebelum selesai bicara, Stevi sudah menampar Ariel dengan keras.
Citra seorang ibu yang lembut pun langsung lenyap, dia menunjuk-nunjuk Ariel.
"Kamu berani bicara soal perceraian? Setelah meninggalkan keluarga Lincoln, kamu wanita yang tidak sempurna dan sudah cerai dua kali, bisa menikah dengan siapa?!"
"Kenapa aku malah punya seorang putri yang tidak berguna sepertimu! Kamu sama sekali tidak sepertiku! Kalau tahu dari awal, seharusnya aku tidak membawamu kembali!"
Ariel seolah-olah mati rasa.
Sejak kecil, ibunya ini memang tidak pernah menyukainya.
Stevi adalah seorang penari terkenal.
Tapi putrinya, Ariel, malah lahir dengan gangguan pendengaran, sebuah kenyataan yang menjadi beban dalam hidupnya.
Karena itu, dia dengan kejam menyerahkan Ariel sepenuhnya pada pengasuh, sampai usia sekolah, baru membiarkan Ariel kembali ke rumah.
Dulu, Ariel pernah dengar gurunya mengatakan bahwa tidak ada ibu yang membenci anaknya sendiri.
Jadi, dia berusaha untuk menjadi anak yang luar biasa, berusaha untuk menyenangkan ibunya sebisa mungkin.
Meski pendengarannya terganggu, tapi dia selalu berada di peringkat atas dalam hal tarian, musik, seni, bahasa, dan berbagai bidang lainnya.
Tapi, baru sekarang dia sadar, tidak peduli seberapa baiknya dia melakukan sesuatu, dia tidak akan pernah menjadi anak yang diinginkan oleh ibunya.
Seperti yang dikatakan ibunya, dia adalah orang yang tidak sempurna.
Tidak sempurna bukan hanya dalam hal fisik, tapi juga dalam hubungan keluarga, juga cinta ....
Setelah Stevi pergi.
Ariel menutupi jejak merah bekas tamparan di wajahnya dengan bedak, lalu pergi ke kantor pengacara.
Di kantor Pengacara.
Freddy, pengacara almarhum ayahnya Ariel, mengambil surat kuasa yang dia berikan, setelah membacanya, dia menatapnya dengan bingung.
"Kamu sungguh mau berikan sebagian warisan yang diam-diam ditinggalkan oleh Tuan Angga pada Joseph? Kamu juga tahu, dia tidak kekurangan uang."
Ariel mengangguk.
"Aku tahu, tapi ini adalah hutang yang harus kubayar."
Tiga tahun yang lalu, ayahnya Ariel meninggal secara tragis.
Sebelum meninggal, dia sudah menyiapkan tiga surat wasiat, tahu bahwa Stevi tidak menyayangi putrinya ini, akhirnya ia meminta Pengacara Freddy secara pribadi menyampaikan wasiat terakhir ini padanya.
Isi surat wasiat terakhir ini menyatakan bahwa setelah tiga tahun menikah, kalau Ariel merasa tidak bahagia, atau mau memiliki karier sendiri tanpa bergantung pada orang lain, dia bisa menggunakannya.