Bab 2 Serakah Akan Uang
“Namun ... Namun Kakak akan datang dengan segera, dengan cepat ini bukan rumahku lagi.”
“Sumi, apa yang kamu katakan, sini adalah rumahmu selamanya, kamu tidak boleh pergi!” ujar Feni sambil memeluk dia.
Feni merasa sedih, bagaimanapun dia memiliki perasaan yang mendalam terhadap Sumi selama 18 tahun, mana mungkin tega meninggalkan dia?
Sedangkan anak kandung dirinya malah seorang yang selama ini tidak berhubungan dibandingkan Nona Besar Keluarga Utomo.
Saat ini data Riani melintasi benak Feni: [ Riani, tamatan SMP, berumur 18 tahun, prestasi sekolah kurang baik, sering cabut sekolah, bahkan pernah menghilang selama 3 tahun.]
Tidak ada yang tahu apa yang dia lakukan selama tiga tahun ini.
Sehingga muncul gosip bahwa dia kabur bersama pria tua.
Tidak bisa dia bayangkan, orang seperti ini adalah anak kandungnya.
Kebetulan, saat ini Riani telah tiba, dia melihat adegan ini dengan dingin.
Setelah berdiri beberapa saat, akhirnya Wandi menyadari kedatangan dia.
“Riani?” tanya Wandi yang kebingungan.
Pria paruh baya itu melontarkan pandangan kepada Riani, melepaskan tangan dari Sumi dan ekspresinya tanpa kaku.
Suara tangisan Sumi juga berhenti, lalu melontarkan pandangan pada Riani.
Kulit gadis ini sangat putih dan lembut. Muka kecil yang mulus seperti boneka keramik. Bagaimanapun dia adalah anak kandung, baik dari penampilan maupun gayanya terdapat sedikit bayangan Feni.
Iri hati melintasi mata Sumi, tapi melihat Riani berpakaian baju murahan, rasa jijik juga menyambar dirinya.
Wajar saja, orang desa terlihat kuno, tidak bisa menandingi dia yang hidup di kota.
Sekarang melihat penampilan Sumi lebih seperti Nona Besar Keluarga Utomo.
“Kamu benar Riani? Cepat masuk.”
Riani menganggukan kepala, lalu berjalan menghampiri dan duduk di samping Wandi.
Feni melihat gadis di depan yang mirip dengan dirinya dari atas hingga bawah, lalu berkata dengan kaku, “Riani, ini adalah adikmu Sumi.”
“Hai Kakak, aku Sumi.” Sumi berkata dengan hati-hati, sikap yang rendah diri membuat Feni sakit hati.
Tampak garis senyum dari bibir Riani, dengan suara yang asing, “Hai.”
Wandi menatap Riani, melihat dari atas hingga bawah dengan teliti.
Suasana hati sontak kacau!
“Apakah terasa tidak biasa karena baru kembali ke rumah?” Wandi berdiri menuangkan segelas air untuk Riani.
Riani menjawab dengan senyuman simpul, “Lumayan.”
Wandi menganggukkan kepala, “Baiklah kalau begitu. Kami berhutang padamu, mulai sekarang tinggal di rumah ini, biar kami menjagamu.”
“Oh ya, Riani, aku telah melihat latar belakang pendidikanmu, sekarang hanya memiliki pendidikan SMP, maka Ayah mendaftarkan kamu ke SMA Kartini untuk melanjutkan pendidikan SMA. Satu sekolah dengan adikmu! Senin mulai masuk sekolah, bagaimana?”
“SMA Kartini adalah sekolah bangsawan di Kota S. Kakak, kamu sebagai Nona Besar Keluarga Utomo tidak cukup kalau hanya tamatan SMP.” ujar Sumi yang bermaksud mengejek pendidikan dia yang rendah.
Meskipun sudah sekolah di SMA Kartini, tidak bisa mengubah sikap kolot yang telah mendarah daging.
Riani tersenyum simpul, “Terima kasih.”
Melihat Riani tersenyum dengan gembira, Sumi mengumpat dalam hati.
Begitu gembira hanya karena akan masuk sekolah bangsawan?
Orang desa sungguh tidak berwawasan.
“Oh ya.” Wandi tiba-tiba teringat sesuatu, lalu berjalan masuk ke kamar tidur mengeluarkan sebuah kado hadiah dari lemari.
Dia meletakkan hadiahnya di depan Riani, lalu berkata, “Riani, ini sebagai hadiah atas pertemuan pertama kita, coba kamu buka.”
Riani menatap sekilas kado hadiah yang cantik dengan matannya yang bulat.
Kemudian membuka bungkusan luar dengan perlahan dan menemukan kotak dalamnya bertulisan merek LV yang terkenal.
Setelah membuka kadonya, terdapat sebuah rantai mulus bermerek LV muncul di depan mereka.
Rasa iri melintasi Sumi, rantai ini pasti sangat mahal. Hadiah yang Wandi berikan pada Riani saat pertama kali ketemu begitu bernilai.
Bagaimana kalau pada hari ulang tahun nanti?
Mungkin saja kelak dia tidak berkedudukan di Keluarga Utomo.
Teringat itu, rasa iri dari pandangannya semakin terlihat.
Wandi bertanya, “Bagaimana?”
Riani mengerutkan bibir, dengan nada bicara yang sedikit asing, “Terima kasih.”
“Tidak perlu berterima kasih, kita adalah sekeluarga.” Wandi tersenyum dengan ramah.
Saat Wandi ingin menanyakan apa yang disukai Riani, tiba-tiba pandangannya jatuh pada leher dia yang putih dan halus.
Leher Riani memakai sebuah rantai berlian merah.
Dia dengan gampang mengenali itu rantai terbaru dari acara lelang di Amerika, harganya sangat mahal, sekitar berangka 12 digit.
Rantai yang disematkan berlian berwarna merah, modelnya sangat berkelas.
Pada saat itu, harga rantai ini terjual dengan berharga 3 triliun, sedangkan siapa pembelinya menjadi suatu pertanyaan.
Katanya dibeli oleh seorang pria tua Amerika.
Namun, kenapa sekarang dipakai oleh Riani?
Setelah dipikirkan kembali, mungkin justru karena Riani tidak memiliki hiasan yang berharga sehingga membeli merek palsu ini demi menujukkan kesombongan.
Kalau Riani sejak kecil berada di sisinya, kini juga tidak bakal begitu serakah akan uang.
Selanjutnya, dia merasa dirinya bersalah sehingga menundukkan kepala tanpa sebarang kata.
Sedangkan Feni juga tiada topik bicara dengan Riani.
Seiring dengan berlalunya waktu, Riani mengemaskan barang dan naik ke lantai atas.
Melihat Riani telah pergi, Feni merasa lega dan duduk lemas di sofa.
Sumi menuju ke sofa, lalu berkata, “Bu, kenapa kamu begitu dingin terhadap Kakak?”
Feni merasa kacau sambil mengurut keningnya, dia berkata dengan tidak berdaya, “Sumi, kadang aku tidak ingin berkata terang-terangan, tapi apakah kamu tahu? Rantai yang dipakai Riani pada malam ini adalah produk lelang terbaru di Amerika, harganya mencapai 10 digit.”
Sebenarnya Feni juga sudah menyadari rantai itu adalah produk palsu, tapi dia tidak ingin membongkar Riani di depan orang dan yang terpenting adalah tidak ingin dirinya malu.
Sumi terkejut dengan mata terbuka lebar, sulit dipercaya, “Berharga 10 digit?”
“Kenapa Kakak bisa memiliki hiasan berharga 10 digit?” Dia sengaja mengaduh domba, “Apakah Kakak menjadi peliharaan pria?”
Feni menggelengkan kepala, lalu menghela napas dan berkata, “Tidak mungkin, dia tidak mungkin bertemu pria sekaya itu! Jadi yang ingin aku katakan adalah dia tidak berkemampuan tapi tidak ingin memalukan sehingga memakai produk palsu! Kalau sempat orang luar mengetahui anak Keluarga Utomo memakai produk palsu demi memamerkan diri, maka aku akan menjadi bahan tertawaan orang lain.”
Ternyata begitu, Sumi baru mengerti suasana Feni tadi, dalam hatinya mengumpat, “Dasar orang desa, suka menunjukkan kesombongan!”
“Kalau begitu, kenapa kamu tidak menegur Kakak?” tanya Sumi yang kebingungan.
Feni menghela napas, dengan tidak berdaya dia mengatakan, “Bagaimana mungkin, sebagai ibunya, apa aku tidak malu?”