Bab 3 Lelang Antik
Sumi bungkam sejenak, lalu berkata, “Bu, semua salahku, kalau tidak Kakak tidak akan begitu serakah akan uang!”
“Bukan begitu.” Feni menghibur Sumi, “Kamu adalah putri tersayang selamanya.”
Riani yang berdiri di pagar lantai dua melihat adegan ini, tampak garis senyum sinis dari bibirnya.
Hari kedua, tiba-tiba ada yang berkunjung ke Keluarga Utomo.
Ada yang mengetuk pintu sejak pagi, Sumi bergegas membuka pintu.
Seketika membuka pintu, ternyata adalah Nyonya Deli, temannya Feni.
Nyonya Deli dan Feni kenal saat menjadi model di masa lalu, hubungan mereka sangat baik. Kemarin mendengar Feni telah menemukan anak kandungnya, sehingga hari ini tidak sabar ingin menemuinya.
Sumi tampak senyum dengan gembira, “Tante Deli, selamat pagi!”
Feni juga menghampiri dan menyapa dia, “Nyonya Deli, akhirnya kamu datang!”
Nyonya Deli menatap Sumi dengan ramah, “Sumi, lama tidak jumpa kamu telah bertambah tinggi dan cantik.”
Sumi malu hingga menutup muka sambil tersenyum, “Terima kasih.”
Setelah basa-basi baru mengingat akan Riani.
“Um, gadis itu adalah anak kandungmu?”
Feni takut malu, menggenggam kedua tangan dengan erat dan ekspresinya sedikit membeku.
“Ya ....”
Saat ini, Riani sedang terduduk santai di sofa dan telingganya memakai earphone. Keseluruhannya memberikan semacam peringatan bagi orang asing untuk tidak mendekatinya.
Nyonya Deli tersenyum sambil berkata, “Cantik sekali, mirip dengan dirimu. Nyonya Utomo sekarang menjadi orang yang sangat bahagia, dengan memiliki dua anak cantik.”
Feni merasa tegang hingga kukunya tersemat ke daging. Sumi yang berada di samping juga merasa tidak senang hati.
“Nyonya Deli suka bercanda, kadang terlalu banyak belum tentu menjadi hal yang baik.”
Saat Feni berkata demikian, kebetulan Riani sedang melirik mereka.
Nyonya Deli berpendapat, “Feni, kita juga sudah lama tidak jumpa, aku dengar Mall Handa terdapat sebuah restoran baru, restoran itu menyajikan steak sapi impor dari New Zealand, bagaimana kalau kita pergi menyantap?”
Sumi tersenyum, “Benarkah? Aku sudah lama tidak makan steak sapi impor.”
Mengungkit steak sapi impor, Sumi benar lalah.
Nyonya Deli tersenyum sambil berkata, “Benar ‘kan? Aku juga sudah lama tidak memakannya. Oh ya, Nyonya Utomo, sekalian panggil anakmu itu ikut bersama kita.”
Ekspresi muka Feni membeku, mengingat Riani berasal dari desa, mungkin tidak pernah makan steak sapi, bahkan tidak bisa menggunakan pisau dan garpu, Feni khawatir akan membuat dia malu.
Namun dia takut ketahuan Nyonya Deli, sehingga segera kembali tenang, “Baik, dia tidak begitu mengerti Bahasa Sunda, biar aku pergi memanggil dia.”
Feni berjalan ke samping Riani, mencopot earphone dia.
Riani membuka mata secara perlahan dan menatap sekilas Feni.
Feni menurunkan nadanya, “Nanti kami bersama Nyonya Deli ingin pergi makan steak sapi, kamu bilang saja tidak menyukai steak sapi dan hanya ingin makan makanan lokal, mengerti?”
Riani menatap Feni dengan senyuman sinis dan berkata, “Aku tidak ingin pergi.” Lalu melanjutkan “Aku tidak mengerti Bahasa Sunda dan tidak mengerti cara makan steak sapi.”
“Ini ....” Riani duduk di sofa yang berjauhan, kenapa dapat mendengar percakapan dia dengan Nyonya Deli.
Feni sontak bungkam.
Melihat Riani yang bandel dan mengasingkan diri, seperti landak yang menyakiti dia.
Feni bungkam sejenak.
Baik juga, daripada pergi memalukan.
Riani tidak pergi, Nyonya Deli juga akan mengerti, karena tidak begitu beradaptasi dengan kehidupan di Kota S.
Menunggu Sumi dan Feni pergi, tiba-tiba ponsel Riani menerima sebuah pesan.
Hari ini Suigi masih belum putus asa dan bertanya, “Kak Riani, benar tidak ingin datang? Benda termahal hari ini adalah sebuah antik Kepala Sapi Tembaga, orang kaya dari seluruh negara datang merebutnya.”
Dia tampaknya tertarik, lalu membalas, [ Pergi. ]
Saat dia tiba, lelang sudah mulai.
Setelah Riani datang, Suigi tidak berhenti memanggilnya, “Kak Riani, ternyata kamu benar datang.”
“Kapan antik tembaga mulai lelang?”
“Bentar lagi, kira-kira setengah jam lagi.” Suigi tersenyum sambil mengusap dagunya.
Riani duduk bersandar di kursi dan menyilangkan kedua kaki, menatap ke sekeliling dengan santai.
Sungguh, lelang di perkotaan besar sangat ramai.
Suigi menatap Riani yang melirik ke sekitar, siapa sangka gadis di depan mata adalah orang hebat yang sebenarnya. Baik ilmu pengobatan, melukis, hacker, bahkan sistem perlombaan mobil.
“Selanjutnya adalah topik utama dari lelang malam ini, ‘Kepala Sapi Tembaga’.” Suara pembawa acara menggempar suasana lelang.
Riani menyipitkan mata, melihat seorang pembantu mengemukakan sebuah antik Kepala Sapi Tembaga, tampak sangat berat.
Pembawa acara berkata, “Tentu semua hadirin sudah mengetahui antik berkelas tinggi ini, maka itu kita langsung mulai lelangnya dari harga 20 miliar.”
“22 miliar.”
“26 miliar.”
“30 miliar.”
Orang yang bisa masuk ke arena lelang semuanya orang kaya.
Ditambah lagi antik Kepala Sapi Tembaga adalah antik berkelas tinggi, sehingga persaingan sangat sengit.
“40 miliar.”
“100 miliar.”
Terdengar suara seorang pria dari lantai dua, mestinya juga seorang yang hebat.
Semua orang melontarkan pandangan padanya.
Hanya sebuah antik Kepala Sapi Tembaga.
Ternyata dapat melonjak dari harga 20 miliar menjadi lima kali lipat.
UN yang mensponsor acara ini memprediksi harga kepala sapi ini paling hanya 40 miliar.
Tidak menyangka dapat naik hingga 100 miliar!
Orang-orang ini sungguh berani!
“Apakah masih ada yang ingin menambah setelah 100 miliar?” Pembawa acara sudah bertanya kedua kali, kalau ketukan ketiga kali jatuh maka pemenangnya akan diputuskan.
“160 miliar!” Suigi mengangkat papan, dia tertawa hingga menyipitkan mata.
Tentunya ini bukan atas keinginan dia, melainkan Kak Riani.
“160 miliar!” Setelah beberapa lama pembawa acara berteriak, bahkan pita suara hampir rusak, “160 miliar, apakah masih ada yang lebih tinggi?”
“160 miliar sekali, 160 miliar kedua kali, 160 miliar ketiga kali.”
Akhirnya, tidak ada yang menambah. Riani dan Suigi merebut antik Kepala Sapi Tembaga dengan harga 160 miliar.
Sebenarnya dia tidak begitu menyukai antik tembaga ini, karena tidak dapat dijadikan sebagai hiasan tubuh, maka hanya bisa menyerahkan kepada negara.
Riani berdiri dengan puas hati, mata yang cantik disertai senyuman simpul, dia memakai kacamata hitam dan berkacak pinggang untuk keluar.
“Para hadirin, silakan tunggu, kami mendapat informasi mendadak, masih terdapat sebuah benda terakhir. Mohon tunggu sebentar.”
Pembawa acara mendapat informasi mendadak, sehingga segera menahan kepergian para hadirin.
Riani dan Suigi menoleh, lalu menatap dia. Mereka berdua saling tersenyum dan kembali duduk di kursi.
Pembawa acara tersenyum dengan sopan, “Hari ini Direktur Adi sebagai penanggung jawab UN sengaja memilih sebuah benda berharga untuk menyenangkan para hadirin. Para hadirin boleh pergi setelah melihatnya.”
“Oh? Ternyata Direktur Adi mengaturkan sesi acara untuk kami. Sungguh perhatian.” kata para hadirin di bawah pentas.
Direktur Adi tersenyum menghadap para hadirin.
“Piak piak ....” menepuk tangan.
Tiba-tiba lampu sekitar padam, hanya terlihat aula depan. Terdapat sinaran lampu yang mengarah ke tengah pentas. Tanpa sadar muncul sebuah kurungan hitam dan terdapat satu orang yang terkurung di dalamnya.