Bab 7 Murid Baru Akan Dihajar
Vila Keluarga Utomo.
Setelah pulang ke rumah, Riani menyapa Feni, lalu mengunci dirinya dalam kamar.
Muka Feni muram, matanya sesekali melirik ke kamar di lantai dua.
Dalam vila kecil sangat sunyi, hanya terdengar suara hela napas dirinya.
Hingga kemunculan gadis yang satu, membuat Feni senang hati.
“Ibu, aku pulang.”
Senyuman mulai menghiasi wajah Feni setelah melihat Sumi yang pulang.
“Nak, akhirnya kamu pulang. Lapar nggak? Apa perlu menyuruh pembantu menyiapkan makanan untukmu?”
Sumi menggelengkan kepala, “Aku tidak lapar. Bu, apakah kamu lelah? Biar aku pijat punggungmu.”
Feni menganggukkan kepala, dia tidak dapat menahan senyuman.
Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah anak yang bukan kandungan diri ini, sedangkan anak kandung diri bagaikan musuh.
Baru beberapa hari masuk sekolah sudah mencari masalah. Hari ini guru dari SMA Kartini menelpon ke rumah, katanya dia mengobrol saat jam belajar dan menggoda pria di kelas.
Waduh, dia sungguh malu. Reputasi dia dan Wandi telah jatuh karena Riani.
“Bu, Kakak sudah pulang?”
Feni mengerutkan bibir, lalu melirik ke lantai dua, “Di atas. Sumi, kamu harus bantu menasihati dia.”
Sumi menepuk bahu Feni, lalu menghibur, “Ibu jangan khawatir, meskipun Kakak tidak serius dalam belajar, aku akan bantu mengawasinya.”
Feni tidak bisa berkata apa-apa selain menganggukkan kepala.
Hanya anak ini yang bisa diandalkan.
Saat Sumi mengetuk pintu kamar Riani, dia sengaja mengintip kondisi dalamnya melalui jendela.
Melihat Riani memegang sebuah majalah lelang terbaru. Sesekali mengirim pesan dengan ponsel.
Sumi merasa lucu, melihat majalah lelang?
Bodoh!
Riani sudah menyadari kelakuan Sumi sejak awal, tapi tidak ingin membongkarnya, melainkan terus mengobrol dengan ponsel.
Cindy : [ Kak Riani, antik Kepala Sapi Tembaga yang dilelang kemarin sudah diserahkan kepada negara. ]
Riani: [ Baik, aku merasa tenang menyerahkan urusan kepadamu. ]
Cindy : [ Namun Kak Riani, ada wartawan di Kota S ingin mewawancarai kamu, selain itu wali kota juga ingin menemui kamu. ]
Riani: [ Tidak ada waktu, tolak saja. ]
Cindy : [ Menolak pertemuan penting seperti ini? Kak Riani, apa yang membuat kamu sibuk belakangan ini? ]
Riani membalas dengan: [ Sibuk dengan ujian ], lalu offline.
Cindy yang kesibukan juga merasa bingung.
Orang hebat juga perlu ujian? Ujian apa?
Lisensi mengemudi atau lisensi snorkling ... apa lagi yang dia butuhkan?
Setelah menyimpan ponsel, Sumi mengetuk pintu, “Kakak, apakah aku boleh masuk?”
Mendengar suara dia yang kasihan, Riani pun tidak tega dan membiarkan dia masuk.
“Ada apa?”
“Ibu sangat mengkhawatirkan kamu, jadi menyuruh aku datang menjengukmu.”
“Aku tidak apa-apa. Apakah ada masalah lain?” tanya dia dengan sengaja menaikkan nada bicara.
Sumi menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca, “Kakak, apakah kamu sebel padaku?”
“Sebel karena aku telah merebut cinta ibumu.”
“Sebel karena aku masih tinggal di rumah ini?”
Tengah bicara, matanya dibanjiri dengan genangan air, “Namun aku juga korban! Kakak, bolehkah kamu tidak bersikap dingin padaku?”
Sumi meneteskan air mata, menatap Riani dengan muka yang kasihan.
Riani tersenyum dingin, melihat dia yang sedang akting.
“Sudah, jangan menangis lagi!” Riani ingin keluar dari kamar, tapi putar balik dan berkata, “Aku malas untuk sebel padamu.”
Sumi mengepalkan tinju, melihat kepergian Riani sambil mengusap air mata dengan kesal.
Saat ini, pembantu rumah sudah menyiapkan makanan, maka memanggil, “Nona Pertama, Nona Kedua, silakan turun untuk makan.”
Di meja makan.
Awalnya Wandi dan Feni ingin melupakan masalah laporan sekolah, tapi tidak sangka Sumi sengaja mengungkit hal ini.
“Oh ya! Ayah, Ibu, hari Jumat sekolah kami akan mengadakan ujian.”
Feni tersenyum sambil menganggukkan kepala, “Sumi, semangat ya! Aku yakin kamu pasti bisa.”
Anak perempuan ini tidak pernah membuat dia khawatir, baik di sekolah maupun kehidupan sehari-hari, karena dia sangat displin.
Riani sempat tertegun sejenak saat sedang makan, lalu melanjutkan santapannya dengan tidak berdaya.
Dia tidak akan pernah memiliki hubungan keluarga sepert ini.
Wandi menatap Riani dengan penuh pengertian, dia pun berdeham dan mengatakan, “Sumi, kamu harus membantu Kakakmu dalam pembelajaran.”
Sumi mengusap mulut dengan arogan, lalu mengatakan, “Ayah, tenang saja. Hari ini Kakak tidak bisa mengerjakan soal, aku yang bantu mengerjakannya.”
Perkataan ini membuat Wandi canggung dan hanya bisa menganggukkan kepala dengan diam, “Baiklah.”
Hari berikutnya, Riani bermain game sepanjang pagi, itulah keuntungan duduk di barisan belakang, karena guru tidak dapat melihat apa yang dia lakukan. Wali kelas bahkan menganggukkan kepala dengan bangga karena mengira murid baru dari desa ini sedang belajar dengan giat.
Tiba waktu makan siang, Yosi ingin bantu membeli nasi untuk Riani.
Setelah Yosi pergi, tiba-tiba Olivia datang menghampiri.
“Riani, ada yang mencari kamu.”
Riani melihat ke luar pintu sambil mengerutkan bibir, pandangannya tampak kecewa.
Decak, dia baru dua hari masuk sekolah sudah ada yang mencarinya.
“Kamu ... lebih baik kamu jangan pergi.” ujar Olivia dengan nada rendah.
Riani menatap dia, lalu menepuk bahunya, “Tidak apa-apa.”
Tengah bicara, dia keluar menuju luar ruangan.
Melihat kepergian Riani, Sumi kegirangan karena orang solot ini akhirnya akan kena pengajaran.
Dia ingin menunggu kepulangan Riani yang rengsa.
...
Riani baru saja keluar dari ruangan langsung di kepung sekumpulan orang.
Orang yang mengelilingi dia adalah bunga kelas Jenny. Dia berdandan tebal, memakai anting-anting dan cincin. Kelihatannya sangat ganas.
“Yah, akhirnya kamu keluar.”
Riani bernada dingin, “Kamu siapa?”
Jenny menyipitkan mata, menatap dia dengan jijik, lalu berkata, “Aku adalah Jenny dari kelas XII B, ingin menemui kamu. Ayo ikuti aku!”
Teman sekelasnya tidak berhenti berbisik.
“Kasihan, baru masuk sekolah langsung kena keroyok.”
“Kemarin dia tidak berhenti mengobrol dengan Tuan Muda Yosi, wajar kena pukul.”
“Siapa suruh dia mendekati Tuan Muda Yosi, pantas!”
“Sudahlah, kita pergi lihat!”
Jenny menghalang Riani di pojok koridor.
Jenny meremehkan orang desa yang kolot di depannya, walaupun dia terlihat putih dan memiliki muka imut.
Namun tidak berguna, karena dia tetap terlihat miskin dan menjijikan.
Rasa jijik di mata Jenny semakin terlihat, dia pun menunjuk pada Riani dan berkata, “Dasar orang kolot, kamu ingat, kelak jangan berbicara dengan Tuan Muda Yosi sekata pun, kalau tidak ....”
“Brrr” Riani tersenyum sinis sambil menatap gadis jahat di depannya, lalu bertanya, “Kalau tidak kenapa?”
Jenny tersenyum dingin, “Kalau tidak ... kamu akan merasakan nikmatnya tinjuku.”