Bab 1 Mahesa Tarumanegara
Byur!
Ia membanjur tubuh Chiara yang gemetar dengan air dingin, membangunkannya dari pingsan.
Kemudian Chiara menengadah untuk melihat laki-laki yang ia pegang era-erat agar berdiri tepat di hadapannya.
Laki-laki itu melepas jaket dan melemparnya ke lantai. Terlihat tinggi dan tampan, ia mengenakan kemeja putih dan setelan jas celana berwarna hitam. Ia juga memiliki fitur wajah seperti model laki-laki pada umumnya, dan terutama matanya yang terkesan tajam dan dingin.
“Sudah sadar sekarang?” Suaranya sangat dingin dan berat.
“Maafkan aku,” kata Chiara malu.
Chiara baru saja turun dari pesawat untuk mengunjungi ibunya yang sudah bertahun-tahun tidak ditemuinya. Namun tidak pernah terlintas dalam mimpinya paling liar sekalipun bahwa ibunya tega memberinya obat dan membaringkannya di atas ranjang bersama laki-laki tua dan mesum.
Karena kebingungan, ia lalu berpegangan pada orang yang tidak dikenalnya.
Jika bukan karena laki-laki baik hati ini, Chiara tidak pernah membayangkan akan bagaimana nasibnya sekarang.
Chiara meringkuk di dalam bak mandi lalu menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan rasa sakit di matanya, sampai tidak menyadari betapa penampilannya begitu menggoda, dalam balutan pakaian yang menempel ke tubuhnya karena basah.
Mahesa menyipitkan matanya.
Apakah dia
benar-benar tidak
berniat menggodaku?
“Pak Mahesa.” Suara Doni terdengar dari pintu kamar mandi. “Dokter dan pakaian sudah di sini.”
“Terima kasih,” Tiba-tiba Chiara bersuara sambil mengangkat kepalanya. “Aku minta maaf karena sudah merepotkanmu.”
Tidak perlu penjelasan karena mereka adalah orang asing bagi masing-masing. Chiara telah menyadari tatapan penasaran dan mengejek laki-laki itu, dan merasa ia hanya akan salah menganggapnya memiliki niat tersembunyi jika ia menjelaskan padanya.
Seorang dokter perempuan masuk tepat di saat Mahesa akan meninggalkan kamar mandi. Ia menggeser pakaian Chiara dan menyuntiknya sebelum pergi tak lama kemudian.
Di luar, kamar sudah kosong saat Chiara telah berganti pakaian dan terhuyung-huyung berjalan keluar dari kamar mandi.
Hah, apa yang tengah kupikirkan?
Setelah bermalam di hotel, sebenarnya ia enggan kembali ke kediaman Garnito, tetapi tidak memiliki pilihan lain karena harus mengambil barang-barangnya.
“Kamu masih punya nyali untuk kembali ke sini?”
Kedatangannya seketika memecah keheningan suasana di ruang tengah.
Rupanya saudara tiri Chiara, Yana, yang bicara.
“Aku ke sini mau mengambil barang-barangku.”
Kemudian Chiara berjalan melewati ruang tamu, hendak menuju kamarnya, tetapi seketika Yana menghalangi dan menampar wajahnya dengan keras.
Terkejut, Chiara menjambak kepalanya dengan marah.
“Dasar tidak tahu terima kasih! Kamu pikir apa yang telah kamu lakukan? Betapa beraninya kamu menghilang di acara sepenting itu tadi malam? Kami semua berusaha mencarikanmu pacar. Tahukah kamu siapa laki-laki itu? Tahukah seberapa besar masalah yang sudah kamu timbulkan? Sadarkah kamu betapa malunya kami karena kamu sudah melarikan diri?” Yana memarahi Chiara secara membabi buta.
“Jika laki-laki itu begitu penting, kenapa tidak kamu saja yang memacarinya?” balas Chiara, sambil menangkup wajahnya.
Aku tidak akan pernah mau tidur dengan laki-laki tua berumur lima puluhan yang botak dan gendut!
“Kamu—"
“Kita ini keluarga, Yana. Jangan terlalu khawatir,” Zakaria memotong sebelum putrinya mengamuk kembali.
Dengan tatapan tenang, ia berkata pada Chiara, “Kami melakukan ini demi kebaikanmu, Chiara. Tuan Jonas memiliki kekayaan yang berlimpah dan ia belum menikah. Apakah kamu tidak pernah mendengar bahwa laki-laki yang lebih tua itu lebih bijaksana dan jauh lebih lembut terhadap perempuan? Kamu tidak perlu khawatir akan apapun selama sisa hidupmu jika menikah dengan keluarga Jonas. Ibumu selalu mengatakan bahwa kami tidak merawatmu dengan baik maka ingin menebusnya dengan menemukan laki-laki baik untukmu.”
Chiara melirik Zakaria dan perempuan di sebelahnya, Hanita—ibu kandungnya—dengan tajam.
“Aku tidak mau,” ucapnya, lalu kembali ke kamar untuk mengambil koper yang ia tinggalkan tanpa ada yang menyentuh sejak kemarin.
Setibanya di Kota Natura sehari sebelumnya, keluarga Garnito pergi ke hotel untuk makan-makan setelah bertemu kembali dengan Hanita. Namun tak disangka-sangka ia akan disambut dengan pemandangan yang menjijikan.
“Ibu melakukan ini demi kebaikanmu, Chiara.” Hanita datang ke kamarnya lalu memegang lengan Chiara. “Kamu tidak bisa hanya tinggal di kota kecil dan tidak melakukan apa-apa selama sisa hidupmu, bukan? Sayang, sia-sia saja wajah cantikmu itu.”
Chiara menepis genggaman tangan Hanitas dengan kasar. “Jadi, ini alasan Ibu menelantarkan aku selama dua belas tahun?”
“Aku…”
Chiara sudah melangkah pergi sebelum Hanita sempat menyelesaikan ucapannya.
Tidak ada satu pun anggota keluarga Garnito yang menghentikan kepergiannya.
“Jangan khawatir. Kemarin kita memang terlalu gegabah. Aku ibunya Chiara. Dan itu kenyataan. Kita perlu membuat rencana dan berpikir dengan bijak mengenai hal ini.” Hanita mencoba menenangkan suami dan anak tirinya saat menangkap ketidakpuasan pada wajah mereka.
“Apakah Ibu yakin?” sindir Yana. “Bagaimanapun juga ia adalah putri Ibu.”
“Dia mungkin putriku, tetapi aku sangat mencintai Ayahmu, Yana. Kamu sangat mengenalku kan, Zakaria?”
“Tentu saja,” Zakaria tersenyum.
Chiara memanggil taksi dan berencana untuk tinggal di hotel, ketika mendapat telepon dari sahabatnya, Ellen.
“Kenapa tidak memberitahu kalau kamu datang ke Kota Natura? Apakah kamu sunguh-sungguh menganggapku teman? Kamu di mana sekarang?”
Hati Chiara menghangat mendengar perkataannya.
“Aku sedang menuju ke hotel…”
“Hotel? Kamu bisa tinggal di tempatku.”
“Aku pikir tentu akan merepotkan. Aku…”
“Aku tidak mau mendengar jawaban tidak. Sekarang kamu pergi ke Gedung Kota Jagadita. Aku akan menjemputmu di sana, lalu kita akan makan bersama.”
Chiara tertawa kecil tak bisa berbuat apa-apa atas sikap mendominasi Ellen. Setelah menutup telepon, ia hanya bisa menyuruh sopir untuk mengganti arah.
Setelah turun dari taksi, Chiara menunggu di tempat yang teduh di ssamping Gedung Kota Jagadita.
Saat sedang memain-mainkan ponselnya, Chiara menatap ke atas dan melihat bayangan seorang laki-laki dalam kemeja putih dan setelan jas celana. Ada sesuatu padanya yang membuatnya tampak mengesankan saat berjalan ke luar gedung.
Diikuti kerumunan orang di sekelilingnya, Chiara bertanya-tanya apa yang dikatakan oleh laki-laki itu sampai orang sebanyak itu mengantarnya pergi dan membungkuk setelahnya.
Sopir membukakan pintu, dan laki-laki itu baru hendak masuk ketika tiba-tiba ia menoleh ke arah Chiara.
Terkejut, Chiara buru-buru menundukkan kepala, tersipu malu dan pura-pura tidak perduli.
Mahesa menatap perempuan muda itu melalui jendela mobil sampai mobil melaju dan sosoknya menghilang dari pandangan.
“Doni,” ia berseru. “Aku ingin kamu mencari informasi tentang latar belakang perempuan itu.”
Berapa peluang bertemu dengan perempuan yang sama yang telah menyerahkan dirinya pada Pak Mahesa dua kali?
Mereka tidak pernah percaya pada sebuah kebetulan dan kecelakaan murni.