Bab 2 Terima Kasih
Chiara pernah mendengar tentang Restoran Juwita Loka di Kota Natura, tetapi tidak pernah mendapat kesempatan mencicipi masakannya karena harus melakukan memesan tempat satu bulan sebelumnya.
Berkat Ellen dia bisa mendapat hak istimewa itu kali ini.
Chiara tahu sahabatnya ini datang dari keluarga kaya raya, tetapi baru hari ini akhirnya menyadari betapa kaya rayanya dia.
Selesai makan, Ellen kemudian pergi ke toilet sementara Chiara menunggu di lobi.
Ketika sedang menuruni tangga, sekilas Mahesa segera mengetahui orang yang sedang berdiri di sana adalah perempuan muda yang dilihatnya semalam.
Chiara mengenakan gaun berwarna kuning tidak bertali yang memperlihatkan kulit putihnya, lehernya yang jenjang dan juga tulang selangkanya yang halus.
Kenangan tentang penggoda kecil dalam bak mandi tadi malam kembali melanda benaknya.
Mata Mahesa menggelap dalam cahaya tipis, dan tidak ada yang tahu apa yang sedang ia pikirkan pada saat itu.
“Hei, Mahes, kamu sedang melihat apa?”
Berdiri di belakang Mahesa seorang hippie dengan kemeja merah jambu mencolok dan celana panjang putih.
“Yo! Siapa gadis cantik di sana?”
Mahesa mengabaikannya dan melanjutkan langkah menuruni tangga.
Chiara yang sedang menatap ponsel tanpa sadar menengok ke atas dan bertemu mata dengan Mahesa.
Masih mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku dan celana yang menonjolkan tubuhnya yang tinggi dan ramping, Mahesa menenteng jasnya dengan satu tangan sementara tangan lain dimasukkan ke kantung celana. Ia terlihat sangat matang dan menawan.
Jantung Chiara berdebar-debar, tetapi laki-laki itu justru memalingkan wajahnya seakan tidak mengenalinya.
Setelah ragu sesaat lamanya, Chiara memberanikan diri dan mengejarnya, walau memastikan untuk tetap menjaga jarak dengannya.
Mahesa saat ini sedang berdiri di bawah pohon, meyipitkan matanya pada Chiara, mengeluarkan sebatang rokok dan kemudian memainkan asapnya.
Chiara tetap berdiri mematung di tempat, wajahnya memerah di bawah sinar matahari.
Melihat perempuan muda berdiri dengan lugunya di bawah terik matahari, Mahesa mengernyit lalu memberi isyarat padanya untuk menghampiri.
Chiara agak terkejut. Setelah mengambil napas dalam-dalam ia menepi ke tempat yang teduh.
Meskipun angin sepoi-sepoi terasa menyegarkan, menghadapi laki-laki di depannya telah membuatnya bergidik.
Mahesa menjentikkan abu rokok ke tanah dan kemudian melakukan hisapan berikutnya. “Apa yang ingin kamu katakan padaku?”
Kenapa aku membiarkannya maju sedekat ini?
Ia merasa terkejut dengan kesabarannya sendiri.
Hati Chiara berdebar saat bertemu pandang dengannya.
“Hmm… aku hanya ingin mengucapkan terima kasih untuk kejadian tadi malam.”
Mahesa menjauhnya, lalu menghembuskan asap rokok.
“Terima kasih karena tidak memerkosamu?”
Wajah Chiara memerah, matanya melebar saking terkejut mendengar ucapan dari seorang laki-laki yang tadi malam dianggapnya sosok yang baik hati.
“Kenapa? Apakah kamu kecewa karena aku tidak—"
“Tidak!” Chiara buru-buru membantah. “Tidak, bukan begitu. Aku hanya ingin berterima kasih karena sudah memberiku pakaian dan memanggilkan dokter. Aku tahu mungkin kamu tidak peduli dengan uang, maka aku tidak ingin menyia-nyiakan waktumu. Terima kasih banyak dan kuharap kamu sehat selalu.”
Setelah itu, Chiara segera berbalik dan pergi.
Mahesa memandangi kepergiannya dan mematikan rokok di jarinya.
Kenapa, cepat sekali. Tetapi kenapa ia mendoakanku?
Chiara menghela napas lega ketika masuk ke dalam mobil Ellen.
Walaupun tidak mengenalnya, tetapi bisa dikatakan bahwa ia bukanlah orang biasa.
Chiara tidak ingin bertingkah yang dapat membuat laki-laki itu salah memahami niatnya. Lagipula, ini adalah perilaku kebaikan, dan dia juga tidak punya alasan untuk bertemu dengan laki-laki itu lagi. Mungkin mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Dia tidak ingin mengingatkan dirinya sendiri tentang momen memalukan di hari sebelumnya.
Namun, takdir berkata lain.
Chiara baru saja selesai mandi di kamar mandi Ellen ketika tiba-tiba Mahesa muncul di depan matanya.
Senyumnya membeku di bibir, dan matanya membulat saking terkejut.
Ke-kenapa bisa ada di sini?
Mahesa memandangi perempuan muda itu dengan mata menyipit. Dia dibungkus handuk kecil yang hampir mencapai paha, dan memperlihatkan bahu dan kakinya yang ramping.
Chiara menjerit, wajahnya merah padam sembari tangannya bergerak-gerak tidak karuan untuk menutupi tubuhnya.