Bab 4 Watak Aslinya
Chiara ingin menolaknya, tetapi suaranya menghilang ketika matanya bertemu dengan mata tajam Mahesa.
Ellen, di sisi lain, berseru kegirangan.
“Wah, asik sekali, Om Mahes. Kalau begitu sudah lebih jelas sekarang.”
Firasat mengatakan pada Chiara kalau ada sesuatu yang berbahaya dalam tatapan tajam laki-laki ini saat ia mengerucutkan bibirnya.
Chiara mengumpulkan keberanian, ingin menolak tawarannya kembali, tetapi ponsel Mahesa berdering.
Mahesa bangkit dari tempat duduknya, lalu berangkat kerja setelah menjawab telepon itu.
Karena percakapan telah berakhir, Chiara merasa benar-benar lemas dan bersandar ke Ellen di sofa. “Kenapa kamu bilang begitu? Apakah kamu begitu membenciku?”
Ellen terbahak-bahak. “Lihat dirimu, malu-malu. Omku adalah Om kamu juga. Tidak perlu merasa malu. Kita akan memberinya sedikit imbalan jika berhasil mencarikanmu pasangan.”
Chiara berdiri; matanya terbelalak. “Apakah itu penting adanya?”
“Lalu apa?”
Masalahnya adalah, bagaimana ia bisa mengenalkanku pada seorang laki-laki setelah melihatku hanya memakai handuk dan apa yang sudah kulakukan padanya saat tidak sadarkan diri?
Walaupun begitu, Chiara menyimpan pikiran itu untuk dirinya sendiri. Bukan sesuatu yang membanggakan untuk dikatakan.
Malam itu, ia tinggal dengan keluarga Tarumanegara atas desakan Ellen.
Orang tua Ellen sudah kenal baik dengan Chiara karena merupakan satu-satunya teman baik Ellen saat di bangku kuliah dulu, dan sangat menyukainya. Karena Mahesa ternyata tidak pulang malam itu, dan keterampilan alami Chiara bergaul dengan orang-orang yang lebih tua, membuat keberadaannya dengan keluarga Tarumanegara begitu menyenangkan.
Namun, Chiara merasa tidak bisa tidur. Ia bangkit dari ranjang di tengah malam buta dan pergi menuju ruang keluarga, merenungkan tentang ibunya dan keluarga Garnito.
Ia bukanlah orang yang pencemas. Jika keluarga Garnito masih tetap memperlakukannya sebagai orang bodoh, maka ia akan mengikuti permainan dan meninggalkan mereka.
Saat tengah tenggelam dalam pikirannya, rasa kantuk hebat menyerangnya. Ia baru saja hendak menuju tangga ketika sosok tinggi dan gelap hampir membuatnya menjerit.
“Siapa di sana?”
Jantung Chiara berhenti berdetak saat melihat Mahesa, mengenakan pakaian kasual, berjalan keluar dari bayang-bayang.
Sudah berapa lama ia berdiri di sana?
“Maaf sudah mengganggumu, Om Mahesa.” Chiara sengaja memanggilnya seperti itu, karena ingin keluar dari situasi canggung itu secepat mungkin. “Aku turun hanya untuk mengambil minuman dan sekarang akan kembali ke kamar untuk tidur. Selamat malam.”
Dengan seluruh tubuh menegang, Chiara hendak melewati Mahesa dan menaiki tangga menuju lantai atas ketika laki-laki itu tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.
Chiara mematung di tempat.
Entah sengaja atau kebetulan, Chiara dapat merasakan jari-jari Mahesa mengusap-usap pergelangan tangannya.
“Ada yang bisa aku bantu, Pak Tarumanegara?” tanyanya, sambil berusaha keras bersikap tenang.
Mahesa bisa merasakan kewaspadaan, rasa cemas, dan juga ketakutan di mata Chiara.
Apakah dia
benar-benar polos
atau sebenarnya sangat mahir dalam berakting?
Tepat ketika Chiara mengira ia akan melakukan sesuatu terhadapnya, tiba-tiba Mahesa melepaskan pergelangan tangannya dan memasukkan tangannya ke dalam kantung celana seakan tidak terjadi apa-apa.
“Kenapa kamu tidak memanggilku ‘Om’?”
Mahesa tahu Chiara memanggilnya Om karena takut ia akan melewati batas dengannya.
“Aku hanya tidak terbiasa dengan panggilan itu untuk saat ini. Jika tidak ada yang lain, aku akan-“
“Nona Chiara,” Mahesa menghentikannya niat kepergiannya. “Jika tidak berkeberatan, bagaimana kalau kamu menuangkan aku segelas air?”
Apa?
Ia mengabaikan keterkejutan di wajahnya, lalu berjalan menuju sofa, dan duduk seakan sudah terbiasa dilayani.
Merasa tidak bisa menolak, Chiara pergi ke dapur untuk menuangkan segelas air dan kembali ke ruang keluarga.
Saat hendak meletakkan gelas itu ke atas meja, Mahesa sudah lebih dulu mengambilnya dari tangannya. Jari jemari mereka bersentuhan.
Chiara menarik tangannya dengan tergesa-gesa. Ia tidak berani menatap ke arahnya.
“Kalau begitu… aku akan kembali ke kamarku.”
Chiara bahkan semakin gugup. Ketika berbalik, suara berat Mahesa terdengar dari belakang.
“Katakan saja jika membutuhkan bantuanku, Nona Chiara. Aku akan menolongmu.”
Apa maksud perkataannya itu?
“Terima kasih, Pak Tarumanegara, tetapi sejauh ini semua berjalan lancar. Selamat beristirahat dan selamat malam.”
Chiara menaiki tangga menuju lantai atas dan kembali ke kamarnya, jantungnya berdetak tidak karuan.
Sementara itu, Mahesa masih berada di ruang keluarga, memikirkan sesuatu.
Chiara seorang gadis muda yang menarik. Bukankah terlalu kebetulan bila ia muncul di hadapanku dan merupakan sahabat Ellen? Apakah ia tengah mencoba mendekatiku atau keluarga Tarumanegara?
Hah, watak aslimu sebentar lagi akan terungkap.