Bab 3 Om Mahes
Mahesa dengan sopan membalik badan, tetapi tubuh seksi Chiara sudah tercetak dalam benaknya.
Wajah Chiara mengerut karena canggung lalu melompat ke belakang pintu untuk menyembunyikan kesantunanya.
“K-kupikir Ellen. Apa yang kam—"
Chiara bingung.
Kenapa dia bisa ada di sini? Apakah dia Tarumanegara?
“Om Mahes? Apa yang Om lakukan di sini?” Ellen menyelesaikan kalimat untuk Chiara.
Om Mahesa? Dia Omnya Ellen?
Oh, rasanya Chiara ingin mengubur dirinya hidup-hidup.
“Apakah aku tidak boleh ada di sini?” Mahesa melirik ke arah pintu.
“Bukan, bukan, kupikir Om pergi kencan.” Ellen terkekeh. “Oh, ini sahabatku, Chiara. Sepertinya Om sudah bertemu dengannya.”
Ya ampun, sebenarnya kami lebih daripada sekadar bertemu.
“Chiara, ini Omku…”
Ellen masuk ke dalam dan melihat Chiara yang gemetar, dan tersipu malu. Lalu ia berbalik dan berdiri di depan pintu.
“Hmm, Om Mahes? Sebenarnya saat ini sahabatku merasa sedikit tidak nyaman. Jadi… hm… apa yang bisa kulakukan untuk Om?”
Mahesa termenung sejenak.
“Tidak ada. Aku baru saja melakukan perjalanan bisnis dan membawakanmu oleh-oleh.”
“Terima kasih, Om Mahes.”
Ia pergi setelah memberikan hadiah pada keponakannya.
Kemudian, sambil menutup pintu dan berbalik ke Chiara, Ellen hanya bisa tertawa terbahak-bahak.
Chiara merasa kacau.
Namun karena situasi yang canggung, mereka segera melupakan semua itu dan berhenti membicarakannya.
Selesai memakai baju, Chiara menarik-narik pakaiannya, merasa tidak nyaman dengan selera berpakaian Ellen.
Mengenakan atasan croptop dan rok belah samping yang tinggi, memperlihatkan pinggangnya yang kecil dan ramping.
“Tidakkah pakaian ini terlalu terbuka?”
“Tidak apa-apa; di luar panas sekali,” kata Ellen. “Baiklah, berhentilah menarik-narik. Kamu seharusnya memamerkan tubuh seksimu. Lagipula, tidak ada laki-laki di rumah ini. Kamu patut untuk dikagumi.”
“Om kamu ada di luar. Bukankah dia laki-laki?”
Ellen menggeleng. “Memang, tetapi dia Omku, dan kamu juga harus memanggilnya begitu. Om Mahes mungkin sudah melihat semua jenis perempuan di luar sana. Baginya, perempuan hanyalah perempuan, kamu tahu? Selain itu, kamu sahabatku, dan sangat mungkin dia sudah pergi sekarang.”
Lalu ia menarik Chiara ke lantai bawah. Baru saja duduk, mereka melihat Mahesa turun.
Chiara sangat tegang.
Kenapa dia masih di sini?
“Om Mahes, mau pergi?”
Mahesa menoleh, matanya tertuju pada pinggang dan paha Chiara yang terbuka.
Syarafnya kembali berdesir.
Apakah aku tengah berhalusinasi, atau dia memang sedang memandangiku?
Mahesa, yang hendak pergi, tiba-tiba berubah pikiran lalu terduduk lesu di sofa sambil menyilangkan kaki.
Apakah dia tidak jadi pergi?
Ellen merasa Chiara sedang berusaha keras menahan kegugupannya.
“Rileks, Chiara. Omku adalah Om kamu juga. Benar kan, Om Mahes?”
Ellen menatap Mahesa, lalu menyikut Chiara.
“Kamu bisa panggil ‘Om Mahes’, Chiara, seperti aku.”
Jantung Chiara serasa bergerak liar tidak karuan saat matanya bertemu dengan tatapan dinginnya. “Om- Om Mahes,” ia menggumam malu-malu, sambil mengalihkan pandangannya.
Mahesa menanggapi dengan ringan.
“Oh, ya. Berapa lama kamu akan di sini untuk bekerja, Chiara?” Ellen mengganti topik pembicaraan karena merasakan suasana canggung di ruang itu.
“Setidaknya selama tiga bulan atau mungkin enam bulan.”
“Asik! Tetapi, betapa aku sangat berharap kamu melanjutkan kehidupanmu di sini. Kamu bisa bekerja di mana saja, Chiara. Maka tinggallah bersamaku di Kota Natura, ya? Kamu bisa menikah, mempunyai anak dan hidup di sini. Lalu kita bisa selalu bersama-sama selamanya.”
Sebelum Chiara dapat berkata, sebuah ide menghentak benak Ellen, lalu ia bertepuk tangan dan melanjutkan, “Nah, benar, kamu bisa menikah di sini! Om Mahes, Om pasti mengenal banyak laki-laki muda dan tampan, bukan? Bagaimana kalau Om mengenalkan Chiara ke salah satu dari mereka?”
Saran yang berani itu justru membuat Chiara ketakutan; jantungnya hampir saja meloncat ke tenggorokannya.
Bukan karena ia merasa tidak nyaman dengan saran itu, melainkan orang yang Ellen minta melanjutkan sarannya.
Chiara tidak berani menatapnya karena sibuk menerka dalam hati tentang apa yang mungkin dipikirkan laki-laki itu tentang dirinya setelah hari ini.
Ellen tidak menyadari sahabatnya merasa tidak nyaman mendengarnya mengobrol dengan Mahesa.
“Om Mahes, Chiara cantik, berbakat dan juga pintar…”
Ellen terus memperkenalkan Chiara seolah-olah dia adalah bagian dari keluarga mereka.
Di sisi lain, Mahesa, sedang menilai Chiara sepanjang Ellen berbicara, walau hanya bisa melihat sedikit dari dirinya.
“Apa yang kamu cari dari seorang laki-laki, Nona Chiara?”
“Tidak, tidak, tidak! Tolong jangan salah paham, Pak Tarumanegara. Aku belum berencana untuk memulai sebuah hubungan serius.”
“Salah paham?” suara Mahesa terdengar dingin.
Ellen baru saja hendak menimpali, tetapi Chiara segera menghalanginya berbicara dengan mencubit lengannya, jangan sampai mengatakan omong kosong lagi yang hanya akan mempermalukan dirinya.
“Aku masih muda, tidak dalam keadaan diburu-buru,” Chiara segera menjelaskan. “Selain itu, saat ini aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun; aku ingin fokus pada karirku. Tolong jangan dengarkan Ellen. Terima kasih atas perhatiannya, Pak Tarumanegara.”
Ellen hanya bisa mengigit lidahnya setelah menyadari sorotan mata sahabatnya yang menghujam dirinya.
Mahesa menyeringai, “Dengan bakat dan wajah cantikmu, Nona Chiara, kamu harus, dan tentu saja, mencari laki-laki terbaik. Yah, aku memiliki beberapa kandidat yang cocok untukmu. Aku akan mengatur agar kalian bisa bertemu suatu hari.”
Chiara tertegun.
Apakah laki-laki ini tidak mengerti bahasa Indonesia? Kenapa dia bersikeras menjodohkanku dengan seseorang?