Bab 6 Penuh Semangat
Chiara tiba di lobi hotel, mengenakan gaun hitam panjang sederhana, dengan sedikit riasan di wajahnya.
Tak disangkal lagi, penampilannya telah menarik perhatian karena banyak laki-laki ingin menggodanya.
Chiara merasa tidak senang. Jika bukan karena keluhan ibunya yang merasa menderita dalam keluarga Garnito, ia tidak mungkin setuju untuk menghadiri pesta itu.
Tetapi apakah sesederhana melihat dunia seperti yang dikatakan ibunya agar ia datang?
Chiara merasa ragu akan hal itu.
Setelah didekati oleh laki-laki lain lagi, dengan dingin ia menolak dan berbalik menuju balkon.
Dengan tirai yang menghalangi pandangannya, Chiara akhirnya mendapatkan kembali kedamaian ketika dirasakannya kehangatan tubuh seseorang dari arah belakang.
Chiara berbalik dan terkejut, melihat laki-laki tua mesum sedang berdiri di hadapannya.
Secara refleks ia menghindarinya, dan laki-laki itu masih berdiri di tempat, menyematkan senyum mesum. “Kita bertemu lagi, Chiara. Sebuah kebetulan yang indah bukan?”
Laki-laki itu tidak lain adalah pak tua yang diperkenalkan oleh keluarga Garnito kepadanya.
Chiara gemetar dalam kemarahan karena baru tersadar kalau ini adalah jebakan lain.
Sambil menatap dengan penuh amarah namun tetap menjaga kewaspadaan, Chiara hendak melangkah pergi, ketika laki-laki itu menghentikannya.
“Tolong menepi, Pak Jonas.”
“Kenapa kamu dingin sekali, Chiara? Kita akan menjadi keluarga, pada akhirnya. Mari kita jadikan momen ini untuk saling lebih mengenal, bagaimana?” “Keluarga? Keluarga dari mana! Minggir atau aku akan berteriak.”
“Silakan saja. Orang-orang mungkin akan berpikir kalau aku sedang menggoda tunanganku. Rileks saja, Chiara. Aku kenal orang-orang di sini. Tetapi kamu … apa ada orang yang akan percaya padamu? Selain itu, keluarga Garnito sudah menyetujui. Berhentilah bersikap keras kepala dan benahi perilakumu. Aku berjanji akan bersikap manis padamu.”
Kemudian, laki-laki tua itu menerkam Chiara. Tetapi ia tidak memberinya kesempatan, segera mengangkat gaunnya dan menendang langsung ke arah perut si tua dan kabur.
Rupanya ini alasan mereka bersikeras menyuruhku datang hari ini, huh? Bagaimana aku bisa sebodoh ini? Kenapa aku masih bersikap lembut kepada perempuan yang seharusnya menjadi ibuku sendiri?
Chiara buru-buru meninggalkan pesta itu tanpa mengatakan selamat tinggal pada siapapun.
“Berhenti di tempat, Chiara!” suara Yana memerintah terdengar dari belakang.
Chiara mengabaikannya dan segera menuju lift.
Tetapi Yana masih bisa mengejarnya, berdiri tepat di hadapannya sembari mengangkat tangan.
Chiara mengira saudara tirinya ini akan menamparnya. Dengan amarah membuncah dalam dirinya, dengan cepat Chiara meraih pergelangan tangan Yana dan mendorongnya ke samping, menyebabkan ia terjatuh.
“Dasar sialan,” teriak Yana. “Berani-beraninya kamu memukulku? Dasar bocah…”
Tidak pernah ada yang berani memperlakukan dia seperti itu sejak kecil.
Seperti perempuan kesurupan, ia kemudian menyerang Chiara dari belakang, dan menjambak rambutnya.
Chiara menjerit kesakitan dan melawan balik, menjambak rambutnya dengan satu tangan sementara tangan yang lain mencakar lengan Yana.
Kedua perempuan itu pun berkelahi, tidak ada satu pun yang menyerah sampai Hanita dan Zakaria datang menengahi.
Tanpa berkata sepatah pun, Hanita memberi tamparan keras tepat di wajahnya.
Sorot matanya bukanlah sorot mata seorang ibu, tetapi sorot mata penuh kekecewaan dan sangat menjijikan.
Dan tanpa perasaan Hanita berbalik arah dan menenangkan Yana.
Chiara bertanya-tanya apakah sorot mata yang tertuju padanya itu adalah bentuk simpati ataukah hinaan.
Ia merapikan rambut dan pakaiannya dan berjalan pergi tak perduli.
Ia menyendiri di sudut sepi dan menjauh dari keramaian, dan akhirnya jatuh berlutut dan menangis.
Sebelum udara tiba-tiba pekat dipenuhi asap rokok, Chiara mendapatkan kembali ketenangannya.
Ia menggosok-gosok mata dengan punggung tangan. Tepat ketika hendak pergi, Chiara melihat seorang laki-laki bersandar di tembok, sedang merokok, tampak begitu matang dan karismatik, seperti biasanya.
Sudah berapa lama ia berdiri di sana? Apakah dia melihatku yang sedang dalam keadaan kacau-balau begini rupa?
Mungkin Chiara sudah menatapnya untuk waktu yang lama karena tiba-tiba laki-laki itu menoleh ke arahnya.
Chiara melangkah menghampirinya, yang kemudian malah meneliti dirinya dari kepala sampai jari kaki. Pipinya bengkak dan tidak terawat.
“Ki-kita bertemu lagi, Pak Mahesa,” ucapnya canggung.
Mahesa masih bersikap diam dan sangat tenang.
Siapa yang aku bercandai? Kenapa aku bicara padanya?
“Apakah kamu memang tidak seberguna itu?” ucapnya saat Chiara hendak pergi dari sana.
“Apa?” Chiara tercengang sejenak.
“Apakah kamu tidak tahu bagaimana caranya melawan balik? Apakah kamu sebegitu pengecutnya?”
Apakah dia sedang menghinaku?
“Yah, lantas, apa yang bisa kulakukan? Situasinya satu melawan tiga orang, dan satu dari mereka adalah ibuku—ibu kandungku sendiri. Apakah kamu memintaku untuk memukul ibuku sendiri?” Chiara meludah dengan amarah menyeruak. Air mata mengalir di wajahnya saat lupa betapa gugupnya ia sebelumnya.
Mahesa melihat Chiara menangis.
“Kamu lumayan berani.”
“Bagaimana aku tidak bertindak seberani itu setelah apa yang terjadi padaku?”
Bibir Mahesa melengkung membentuk seringai; matanya tertuju pada Chiara.
Ya Tuhan, apakah aku sudah bersikap terlalu kasar?
Akhirnya ia merasa tenang karena rasa takut telahmengambil alih amarahnya. Ia adalah Om dari sahabatnya. Ia tidak seharusnya membentak orang tua. Yang terjadi tadi itu sangat kasar.
Mengapa dia memandangiku seperti itu? Apakah menurutnya ada masalah dengan diriku?
Chiara menjaga jarak aman dengannya, sadar bahwa dia selalu waspada. Chiara takut Mahesa beranggapan bahwa ia telah berpikir berlebihan, terutama setelah banyak pertemuan kebetulan di antara mereka.
“Ma-maafkan aku, Pak Mahesa,” ia meminta maaf, perilakunya berbalik seratus delapan puluh derajat saat ia membungkuk dan hormat dengan sopan.
Mahesa mengernyitkan alisnya melihat perilakunya.
“Aku benar-benar minta maaf. Seharusnya aku tidak melakukan itu.”
“Kamu meminta maaf padaku?”
Chiara menggigit bibirnya.
Duh!
“Apa gunanya meminta maaf padaku? Seharusnya kamu memakai energimu itu untuk mencurahkan kebencianmu kepada para perundung itu dan bukan melampiaskan amarahmu kepadaku. Hanya pihak lemah yang melampiaskan amarahnya pada seseorang setelah ia dirundung.”
Setelah berkata, Mahesa melangkah pergi dengan dingin, meninggalkan Chiara yang bingung dan merasa dipermalukan.
Apakah dia baru saja mengejekku karena aku begitu lemah?
Benar, siapa aku marah-marah padanya? Seharusnya aku melampiaskan amarahku kepada mereka—yang katanya keluarga—dan bukan pada dia.