Bab 7 Tidak Menyembunyikan Pikiran Tidak Senonoh
Ketika Hanita datang ke hotel tempatnya menginap, Chiara langsung menjawab bel pintu tanpa ragu-ragu.
Bagus, dia datang,
Pikir Chiara.
Aku akan membuatnya membayar tunai perbuatannya selama ini.
Sebelum Chiara bicara, air mata mengalir di pipi Hanita, sambil menjerit bahwa kedua tangannya terikat.
“Chiara, Ibu ingin bicara jujur padamu. Pak Jonas adalah pemilik perusahaan yang mana Zakaria ingin berkolaborasi dengannya. Dia tidak punya pilihan lain kecuali mengenalkanmu dengan Pak Jonas. Sebenarnya dia ingin mengenalkan Pak Jonas dengan Yana, tetapi begitu melihat fotomu Pak Jonas bersikeras ingin bertemu denganmu.”
“Ha!”
Chiara mendengus. “Jadi, kalian menjualku?”
“Bukan, bukan. Kami ingin menenangkan Pak Jonas sampai Zakaria bisa membuat alasan untuk dirinya sendiri. Dia sangat menyesal mengenai hal ini. Kami tidak tahu kalau Pak Jonas juga berada di pesta pada hari itu. Sebenarnya kami ingin mengenalkanmu pada laki-laki muda di sana. Tidak ada yang memaksamu. Jika menyukai salah seorang di antara mereka, kamu bisa mengenalnya pelan-pelan. Tidak ada satu pun dari kami yang menduga ini akan terjadi.”
Chiara merasa bingung mendengar penjelasan ibunya yang berbelit-belit.
“Sudah selesai bicaranya, Bu?”
“Chiara, Ibu juga berada di posisi sulit.”
“Aku tidak mengerti, dan aku juga tidak ingin mengerti. Ibu telah menelantarkanku dua belas tahun yang lalu demi menikah dengan keluarga kaya raya. Seharusnya Ibu menanggung konsekuensinya sendiri. Berhentilah mengeluh padaku. Aku akan mengurus Ibu di masa tua nanti, tetapi selain itu, aku tidak punya kewajiban untuk meringankan beban Ibu.”
Chiara berkata dengan tegas. “Mohon, tinggalkan aku sekarang.”
Hanita mengernyit. Walaupun begitu, ia segera pergi karena Chiara sengaja mengantarnya keluar.
Ia berjalan keluar dari hotel dan naik ke dalam mobil, di mana Zakaria menunggu di dalam.
“Bocah tengik itu tidak mau mendengar kata-kataku. Seharusnya dulu aku cekik saja dia sampai mati!”
Zakaria terkekeh tidak berdaya. “Jangan berkata seperti itu. Apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
“Kita lihat saja nanti. Dulu kita terlalu ketar-ketir. Zakaria, sekarang dia sudah meningkatkan kewaspadaannya setelah usaha percobaan pertama kita menyuruh Patra menidurinya gagal.”
“Jonas tidak mau menunggu. Aku harus menuruti permintaannya.”
Setelah berpikir sejenak, Hanita memberi saran, “Zakaria, Jonas bukanlah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan perusahaan kita di Kota Natura ini. Perempuan tengik ini memang cantik. Aku yakin nilainya lebih besar lagi. Tawaran Jonas untuk kita terlalu sedikit. Bagaimana menurutmu?”
Zakaria mengangguk setuju. “Kamu benar. Aku akan mencari cara untuk menenangkannya sekarang.
Sementara itu, di ruang kantor Mahesa di Perusahaan Tarumanegara.
Doni sedang melaporkan latar belakang Chiara kepada Mahesa.
Sepertinya tidak ada yang mencurigakan mengenai dirinya.
“Chiara Kusuma mengenal Nona Ellen Tarumanegara saat di bangku kuliah. Tidak ada yang aneh dengan pertemuan mereka. Dan rupanya Nona Ellen sendiri yang pertama mengajak Chiara bicara. Bapak berpapasan dengannya di hotel karena keluarga Garnito menjualnya ke Patra Jonas agar ia bersedia menggantikan dana perusahaan mereka yang hilang.”
Apakah semua kejadian ini murni kebetulan belaka?
Tenggelam dalam pikirannya, mata Mahesa menggelap.
Ia tidak pernah percaya pada kebetulan, terutama ketika terjadi berkali-kali.
Ketika segalanya tampak baik-baik saja, itu adalah masalah besar.
Chiara mengikuti agen real estate berkeliling Kota Natura untuk melihat berbagai rumah sewa, baik yang mahal maupun yang murah di lokasi yang berbeda. Pada akhirnya ia menyadari bahwa sulit untuk menyewa sebuah tempat yang layak di dalam kota ini.
Sebenarnya, solusinya sederhana. Tidak akan ada masalah jika ia memiliki uang.
Setelah satu hari yang sangat melelahkan, Chiara kembali ke hotel. Ia menerima telepon dari Ellen yang memintanya untuk makan malam bersama. Alamat lokasinya akan segera dikirim kepadanya.
Chiara segera mandi kilat sebelum pergi.
Setibanya di restoran, pelayan langsung mengantarnya ke sebuah ruang privat.
Begitu kakinya melangkah masuk, senyum di bibirnya membeku.
“Kamu sudah datang? Masuklah.”
Ellen tidak ada di dalam ruang itu. Sebagai gantinya, seorang laki-laki dan Mahesa, yang tidak ingin dilihatnya, sedang menunggunya di sana.
Mahesa melirik ke arahnya dan menyapanya dengan sopan sembari menghembuskan asap rokok.
Chiara bertemu pandang dengannya dan merasakan jantungnya berdegup cepat. Ia berjalan ke meja dengan hati-hati dan duduk di kursi.
Begitu ia duduk, Mahesa mulai mengenalkannya pada laki-laki muda di sebelahnya. “Harry, ini teman Ellen, Nona Chiara. Dan ini Harry Nurmansah, seorang manajer proyek yang bekerja untuk Karya Utama.”
Apa ini?
Chiara menatap Mahesa, yang membalasnya dengan tatapan dingin.
Tiba-tiba, Chiara teringat Mahesa pernah menawarkan diri untuk mencarikan pacar untuknya.
Ugh, bisakah aku pergi sekarang juga?
Namun, Chiara tidak berani melakukannya. Ia berdiam di kursinya dengan canggung dan mengobrol datar dengan Harry.
Jika ini adalah kencan buta yang diatur, seharusnya Mahesa segera pergi setelah memperkenalkan agar mereka bisa saling mengenal lebih dalam.
Namun, ia tetap berada di dalam ruang itu sampai makan malam disajikan. Karena ia ada di sana, Harry mau tidak mau harus memperhatikannya juga.
Setelah makan malam, Harry akhirnya pamit, tetapi Mahesa tetap diam di kursinya.
Chiara tidak bisa menduga apa yang akan dilakukan oleh laki-laki ini. Ia bersumpah akan berurusan dengan Ellen nanti.
“Apakah kamu tidak puas?”
Pertanyaan mendadak Mahesa membuat Chiara tersadar dari lamunannya.
Ia menggeleng. “Tidak, Pak Nurmansah orang yang baik. Pak Mahesa, aku tidak tertarik untuk berkencan dengan seseorang sekarang. Terima kasih untuk malam ini. Tetapi tolong berhenti membuang-buang waktumu untukku.”
Meskipun ucapannya sopan, terasa ada ketidaksenangan dalam nada suaranya.
Mahesa melengkungkan bibirnya membentuk senyum tipis sembari menyipitkan mata.
“Bagaimana tipe idealmu?”
“Bukan persoalan itu. Aku hanya tidak berminat.”
“Bagaimana kalau denganku?”
“Hah?”
Chiara menelan ludah dengan susah payah. Hampir saja ia tersedak air liurnya sendiri dan terbatuk dua kali.
Apakah aku salah mendengar ucapannya?
“Aku Mahesa Tarumanegara, Presdir Perusahaan Tarumanegara. Apakah aku termasuk pilihan yang memuaskanmu?”
“Hmm …”
Ini sungguh keterkejutan terbesar dalam hidupnya.
Chiara menggeleng sekuat tenaga dengan wajah pucat karena sangat terperanjat.
“Pa-Pak Tar … Om Mahesa, cukup bercandanya. Kumohon, aku tidak menyembunyikan pikiran tidak senonoh tentang dirimu. Saat itu, aku diberi obat tidur dan secara kebetulan bertemu denganmu. Aku sangat berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkanku. Itu hanya sebuah kebetulan. Selain itu, kamu adalah Om Ellen. Tolong jangan salah paham.”
Mahesa mengamati Chiara dengan seksama.
Karena Chiara terlihat sangat ketakutan, ekspresi wajahnya melunak.
“Mm,” ia bergumam. “Aku hanya bergurau, Nona Chiara.”