Bab 8 Om Mahesa Dan Jarak Antargenerasi
Sudah, begitu saja?
Mahesa segera berdiri dan keluar ruang. Chiara langsung menghela napas lega.
Instinkku rupanya benar.
Mahesa menaruh curiga padaku.
Tetapi kenapa ia membuat lelucon yang menakutkan begitu?
Dalam lubuk hatinya, Chiara mengumpatnya dan bersumpah akan menjauh darinya.
Ia menghela napas dengan kuat-kuat, bangkit dari duduknya, dan keluar dari sana.
Yang mengejutkannya, ternyata Mahesa menunggu di pintu masuk restoran. Ia sedang berbicara dengan seseorang di telepon dan satu tangannya masuk ke kantung celana.
Chiara berencana untuk menyelinap keluar, tetapi Mahesa melihatnya. Ia berhenti dan berdiri di sampingnya diam-diam.
Para pelanggan restoran yang keluar masuk melirik sekilas ke arah mereka. Chiara tak tahu pasti apakah mereka melirik dirinya atau Mahesa.
Setelah mengakhiri pembicaraan telepon, tatapan Mahesa tertuju padanya.
“Pak Mahesa, aku akan pa-“
“Mobilku di sini. Ayo,” ia memberi perintah.
Kali ini, Chiara urung untuk menerima ajakannya.
“Tidak, terima kasih. Aku bisa berjalan kaki.” Chiara menolak ajakannya dengan tegas; tatapannya bersinar penuh tekad.
Mahesa mengangkat alisnya dan menyeringai.
“Apakah kamu marah?”
Chiara tidak terbiasa dengan perubahan tiba-tiba pada suasana hatinya.
Kenapa dia menyeringai?
Apa yang lucu?
Ia merenung dalam diam, tetapi tidak berani memperlihatkannya.
“Tidak,” ia menjawab.
“Aku hanya bercanda.”
“Oh, memang lebih baik sebagai gurauan saja.”
“Apa?”
“Tidak, Pak Mahesa. Aku mau mengatakan bahwa aku mengerti. Candamu membuatku terkejut.”
Jelas, Chiara sedang menyindirnya.
Sudut mulut Mahesa terangkat. Rupanya ini membangkitkan minatnya karena punya waktu untuk melewatinya.
“Kupikir orang-orang muda sepertimu suka bercanda.”
“Ha! Om Mahesa, kamu terlalu tua untuk dapat memahami generasi muda dengan baik. Candaan kita berbeda.”
Chiara melirik ke arah jalan dengan cemas.
Kenapa tumpanganku belum datang juga?
Dan juga, kenapa Mahesa memiliki waktu seluang ini?
Kupikir waktunya sangat berharga karena ia bisa menghasilkan puluhan juta hanya dalam hitungan menit?
Sorotan mata Mahesa menggelap karena kegelisahan Chiara.
“Tua?”
Tiba-tiba, kegelisahan Chiara berubah menjadi senyum licik.
“Om Mahesa, beginilah anak muda seperti kami bercanda. Kamu tidak suka, bukan? Kalau begitu berhentilah mencandaiku. Ada jarak generasi antara kita berdua.”
Chiara mengelus-elus punggungnya sendiri karena telah menghasilkan jawaban sempurna.
Matanya berbinar bahagia, membuat jantung Mahesa berhenti berdetak.
Ia langsung menatap bawah dan memutar kepalanya. Tak lama, sopirnya tiba.
Keheningan menyelimuti mereka.
Melihat mobil Mahesa telah tiba, Chiara berkata, “Pak Mahesa, kalau begitu aku pamit dulu.”
Ia enggan berada di sana sedetik lebih lama lagi.
Kali ini, Mahesa tidak menghentikan langkahnya.
Setelah masuk ke dalam mobil tumpangan, kejengkelan Chiara seketika tampak pada wajahnya. Kemudian ia menelepon Ellen, tetapi yang ditelepon tidak mengangkat.
Ia pasti takut aku akan membentaknya.
Chiara terkekeh dengan sinis.
Rupanya kamu terlalu takut untuk mengakui, hah?
Sebenarnya, ia tidak marah pada Ellen.
Bagaimanapun juga, ketika Ellen datang padanya, ia tetap bertegur sapa dan berbincang dengannya selama satu jam.
Untuk menebus kesalahannya, Ellen mengajak Chiara berkeliling untuk melihat-lihat unit rumah yang tersedia untuk disewa. Tetapi ia malah mengkritik habis semua pilihan itu.
Di ujung hari, mereka gagal memilih satu unit.
Keesokan harinya, Ellen membatalkan janji dengan agen real estate dan memilih pergi keluar bersama Chiara.
Lalu mereka tiba di Gedung Kota Jagadita, di mana Ellen membawanya masuk tanpa ragu-ragu.
Di dalam lift, Chiara merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tepat ketika itu, Ellen mendapat panggilan telepon yang membuatnya memberengut karena tidak senang.
“Baiklah, aku mengerti. Aku akan ke sana sekarang.”
Saat pintu lift terbuka, Ellen menyetopnya untuk keluar dari lift. “Aku sudah memberitahu Om Mahes tentang hal ini. Sekarang kamu ambil kunci di Doni di lantai dua puluh dua. Aku akan menghubungimu setelah menyelesaikan urusan ini.”
Setelah itu, ia bergegas keluar. Saat pintu lift tertutup, Chiara melirik ke tombol lift lantai dua puluh dua sambil mengumpat dalam hati.
Apakah sudah terlambat untuk lari?
Iya, benar.
Rupanya lift tiba lebih cepat dari yang ia duga. Ia masih merasa panik saat pintu lift terbuka lagi.
Tepat setelah itu, Doni menghampirinya.
“Nona Chiara, Anda sudah tiba? Silakan ikuti saya.”
“Tidak perlu. Ellen berkata kamu akan memberiku kunci. Aku akan pergi setelah menerima kunci itu. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu.”
Doni langsung tersenyum sopan. “Tidak sama sekali.”
Tanpa memberinya kunci, ia malah mengantar Chiara ke ujung koridor dan mengetuk ke pintu.
“Bapak Tarumanegara, Nona Chiara sudah datang.”
Suara yang tidak asing terdengar. “Masuklah.”
Doni memberi isyarat padanya untuk masuk ke dalam ruang kantor. Chiara melangkah masuk dengan kaku. Instinknya memberitahu kalau suara laki-laki itu mengandung bahaya.
Setelah menyuruhnya masuk, Mahesa menggeser dokumen ke sisi meja dan menatap pintu.
Padahal hanya beberapa langkah menuju mejanya, tetapi gadis muda itu berjalan dengan gontai.
Saat akhirnya ia lebih mendekat, Mahesa menyadari kalau Chiara mengenakan atasan bergaris dengan bahu terbuka dan bagian lengan menggelembung, dipadupadankan dengan rok selutut berwarna biru tinta dan sepatu datar. Ia terlihat bak peri cantik dalam balutan itu.
Mata Mahesa melintas pada bahunya yang telanjang.
Rupanya dia suka memperlihatkan bahunya, hah?
“Pak Mahesa!” Chiara menyapanya dengan sopan dan senyum terpaksa.
Ia bersandar ke belakang sambil menyilangkan kaki dengan anggun. Sikunya bertumpu pada sandaran tangan dan tangannya menopang kepalanya sambil memincingkan mata ke arah Chiara. Kerah kemejanya sedikit terbuka, dengan lengan kemeja yang digulung sampai siku. Ia tampak begitu rileks. Mahesa mengambil sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja dan mengeluarkan sebatang. Setelah menyalakan rokoknya, ia lalu menghisapnya.
Chiara merasa gelisah dan tidak nyaman dengan sorot tajam matanya. Lalu ia membuka bibirnya dan berkata, “Pak Mahesa, Ellen memintaku untuk mengambil kunci darimu. Aku tidak mengerti apa maksudnya.”
Mahesa menghembuskan asap rokoknya sebelum menjelaskan, “Perusahan real estate di bawah bendera Perusahaan Tarumanegara menyediakan apartemen untuk para karyawan kami. Ellen memberitahu aku tentang situasi yang tengah kamu hadapi. Masih tersisa beberapa unit lagi, jadi kamu bisa pindah ke sana.”
“Hmm, tidak perlu seperti ini. Pak Mahesa, aku tidak menyangka Ellen akan meminta bantuanmu. Aku tidak akan menerimanya. Terima kasih atas perhatiannya, tetapi agen real estate sudah menemukan unit yang bagus untukku yang mana aku juga suka. Lagipula aku tidak akan tinggal lama, maka tidak perlu merepotkanmu. Pak Mahesa, aku tidak ingin mengganggumu lebih jauh lagi. Aku akan memberitahu Ellen tentang keputusanku ini. Selamat tinggal!”
“Nona Chiara.”
Chiara menghentikan langkahnya.
Mahesa bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekatinya.