Chapter 10 Sebuah Rahasia
Suara rintik-rintik hujan indah serta embusan angin yang menambah kesan dingin berhasil membuat momen semakin romantis. Langit yang semula cerah kini berubah menjadi mendung. Cahayanya sangat mendukung untuk dua insan yang saling bertatapan.
Kala bibir tipis beradu dengan bibir yang agak tebal dan memiliki belahan di bagian bawahnya yang empuk. Awalnya saling kaku lama-lama akhirnya bisa merasakan rasa semanis madu.
Debaran jantung yang semula tenang berubah menjadi lebih bergemuruh layaknya tabuhan drum. Dada seakan kembang kempis dan tidak bisa tenang untuk memompa oksigen.
Aliran nafas pun terhenti saat bibir milik lawan jenisnya membuka lalu membasahi permukaan bagian luar gadis ini. Dia diam dan bingung harus melakukan apa. Tidak ada hubungan spesial juga di antara mereka. Ini juga merupakan pengalaman yang paling pertama ia rasakan.
Laki-laki ini mengatup-ngatupkan bibirnya sehingga cairan bening dan licin membasahi seluruh permukaan bibir sang gadis. Sungguh gerakan yang membuat Seila bertanya-tanya, kenapa tidak hanya menempel saja? Kenapa Aksara malah seperti menikmati ciuman ini.
Tangan kekar yang memiliki urat vena dan arteri menonjol sexy terbentuk karena olahraga dan gym semakin possessif melingkari pinggang Seila. Tubuh mereka semakin menempel hingga mungkin debaran di dadanya bisa di rasakan oleh Aksara.
Seila menutup rapat-rapat matanya. Tak menyangka ciuman pertamanya ini jatuh pada laki-laki bernama Aksara. Rasa ciuman pertama yang orang bilang seperti madu ternyata lebih dari itu. Menurut dia, rasanya bahkan tidak bisa di ungkapkan oleh kata-kata. Manis, hangat, menegangkan, kaku hingga kebingungan harus apa. Hati bagaikan terbang ke udara. Pikiran entah lari kemana dan tubuh terasa mendapatkan sambaran petir.
Suara gemuruh siswa yang berlari mengagetkan keduanya. Bibir itu tidak lagi menempel dan tubuh tidak lagi saling berdekatan. Aksara segera menarik Seila untuk bersembunyi. Tidak mau ada orang lain yang tahu keberadaan mereka disini. Biar tempat ini adalah tempat favorit mereka untuk menyembunyikan diri.
"Ma- ma- maaf, ya, Sei!" Pipi keduanya sedikit memerah.
"Iya, tidak apa-apa, Kak!" Seila segera memalingkan wajah ke arah lain. Dia malu jika Aksara melihat pipinya yang memerah. Sampai-sampai gadis ini menutup wajah dengan tangannya dan merasakan pipinya menghangat.
"Sepertinya mereka sudah pergi. Ayo kita kembali ke kelas!" ajak Aksara pada Seila yang mungkin sudah tidak tahan berlama-lama berdua di tempat ini. Tangan Aksara malah menggenggam erat tangan Seila. Suasananya begitu sangat mendukung dua insan saling berbuat hal yang romantis.
"Ayo, Kak." Seila yang gugup. Ia melepaskan tangan Aksara lalu berjalan cepat dan meninggalkannya. Bisa gawat jika mereka terlihat bersama apalagi saling berpegangan tangan. Pasti gadis-gadis di seluruh sekolah iri dan akan berteriak histeris. Bisa saja menyerang Seila dan membencinya. Terlebih lagi pasti akan ada yang mengulik latar belakangnya.
Aksara adalah idola para gadis di sekolah ini bagaikan intan berlian. Sedangkan dia adalah remahan dari bubuk yang paling hancur.
“Sei, tunggu!” teriak Aksara yang sedikit kesusahan berjalan karena sudah di pasangi perban. Lukanya juga sedikit perih dan mengering. Ia kesulitan untuk melipat kaki karena lukanya di bagian lutut.
Seperti janji Seila pada perawat, dia harus mengembalikan kotak P3K ini sesegera mungkin ditakutkan ada yang terluka dan membutuhkannya lagi. Saat Sela mengembalikannya. Perawat ruang UKS memperhatikan pipi Seila yang memerah dan wajahnya yang di tekuk. Gadis itu segera pergi agar dia tidak di curigai.
Setelah Seila mengembalikan kotak P3K, dia bergegas kembali ke kelas. Sebelum melangkah masuk, gadis ini mengatur nafasnya terlebih dahulu agar tidak terlalu gugup. Aksara ternyata belum sampai di kelas saat Seila melirik bangkunya yang masih kosong. Mungkin karena langkahnya yang lamban dan tidak bisa lebar. “Aku kira sudah sampai lebih dulu!”
Seila merasa tidak enak karena meninggalkan dan tidak membantu Aksara berjalan. Tapi, ini demi kebaikan mereka berdua. Aksara pasti malu karena dekat dengan gadis seperti dia, lalu Seila pasti akan di cap gadis penggoda laki-laki populer di sekolah ini.
Seila melihat ke luar jendela, hujan semakin deras dan dia melihat Aksara sudah dekat dengan ruangan kelas mereka. Beruntung setiap ruangan ada jalan penghubung dan bangunan penghubung itu tidak di jatuhi hujan. Seragam Aksara tidak akan kebasahan dan pria itu tidak akan sakit karena kehujanan.
Seila memilih segera menghampiri Bila, teman barunya ini yang sedang sibuk mengerjakan PR untuk besok.
“Oi … serius banget, lo!” Seila mengagetkan Bila yang terus saja menunduk menatap buku. Anak-anak lain di kelas mereka sedang sibuk memakan snack atau membicarakan gosip terbaru. Bila malah asik sendiri dengan bukunya.
“Lo abis dari mana?” tanya Bila yang baru melihat Seila. Dari tadi temannya ini habis dari mana. Tidak terlihat batang hidungnya.
“Ada deh.” Seila tersenyum pada Bila sambil melirik Aksara yang kini duduk di bangkunya lalu di dekati gadis-gadis yang mengkhawatirkan keadaan kakinya.
“Eh, eh, ngapa ini muka lo, kok merah, sih?” Bila memperhatikan pipi Seila dengan teliti. Dia sempat ingin merabanya tapi Seila malah menjauhkan wajahnya.
“Masa, sih? Enggak ah!” Seila menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menggelengkan kepala. Dia hendak mencari kaca di tempat pensil Bila. Gadis itu selalu membawa kaca kemana-mana.
Bila berhasil meraba pipi Seila saat gadis itu hendak meminjam kacanya. “Serius ini, kok agak panas juga? Lo gak enak badan kah?”
“Enggak, Bil.” Seila berhasil menemukan kaca dan melihat wajahnya itu. Memang masih sedikit memerah, ini hal yang memalukan baginya. Bagaimana cara meredam kemerahan wajah karena gugup sehabis ciuman pertama tadi.
Seila melirik ke arah Aksara yang biasa saja dan wajahnya tidak memerah seperti dirinya. “Ih, curang! Kok dia enggak, sih?” Seila melirik terus menerus memastikan jika Aksara juga mengalami hal sepertinya.
“Seila, Seila. Kok lo lihat ke arah sana aja, sih?” Bila mengguncang-guncangkan tangan Seila.
“Maaf, Bil. Maaf.” Seila kembali memperhatikan Bila.
“Lo liatin Aksara, ya? Jangan-jangan ada sesuatu yang kalian di sembunyiin, ya?” Bila mengerutkan matanya dan mencurigai tingkah laku Seila yang sedikit aneh ini.
“Lo berburuk sangka mulu, deh? Kaga ada, kok,” sanggahnya sambil menggelengkan kepala lagi. Berusaha tidak di curigai Bila. Dia tidak akan menceritakan kisah ciuman pertama tadi pada siapapun, bisa bahaya kalau ada orang lain tahu lalu menyebarkan berita itu. Biar ini jadi rahasia antara Seila dan Aksara saja.
“Ya buktinya lo liatin kesana aja?” protes Bila yang ingin di bantu mengerjakan PRnya oleh Seila.
“Emang kaga boleh?” tanyanya sambil menjulurkan lidah.
“Liatin apaan, sih?” Bila juga penasaran apa yang di perhatikan Seila ini dari tubuh Aksara.
“Itu dia, kan, kakinya terluka tadi pas main basket. Kasian, ya!”
“Kayanya udah di obatin deh di UKS.” Bila mencapit dagu Seila dan mengarahkan wajah sahabatnya itu agar memancang ke bukunya. “Liat sini, bantuin gue kerjain PR!”