Chapter 11 Si Jahil Numpang
Suara guru matematika sudah selesai menutup kelas. Siang ini kelas selesai lebih awal dan siswa boleh pulang sebelum bel berbunyi. Seila sudah mengirimkan pesan untuk sang ayah agar menjemputnya pulang dan dia sudah merapikan semua buku-bukunya ke dalam tas. Bila menawarkan tumpangan pulang agar mereka bisa satu kendaraan bersama, tapi Seila menolaknya. Gadis ini tidak mau ada yang tau rumahnya dimana. Dia ingin berteman tapi tidak untuk terlalu dekat sampai mengetahui latar belakang, alamat rumah serta kehidupan pribadi keluarganya. Untungnya penolakannya itu tidak membuat Bila marah.
Seila melangkahkan kaki bersama Bila dan saling bergandengan tangan. Keduanya ingin menunggu jemputan di depan sekolah agar orang tua mereka mudah untuk parkir di depan sekolah. Kedua gadis saling melempar senyuman manis karena tadi berhasil menjawab pertanyaan spontan yang di ajukan oleh guru sebelum kelas selesai.
Langkah Seila dan Bila terhenti saat seorang pria menghalang mereka dengan helm yang ia bawa. Suasana parkiran yang ramai membuat banyak pasang mata memperhatikan mereka bertiga.
Bila dan Seila melirik ke arah orang yang menghalangi mereka yang tengah berjalan. Ternyata orang itu adalah. “Aksara!”
“Pulang bareng gue, yu!” Bila dan Seila saling berhadapan, mereka tidak tahu siapa yang Aksara ajak bicara karena pria itu malah melirik sepatunya tanpa memandang lawan bicara yang ia ajak untuk pulang. Pria ini sebenarnya ingin pulang dengan siapa dan niat tidak menawarkannya.
“Lo mau pulang bareng gue?” tanya Bila sambil menunjuk dirinya. Barangkali Aksara memang mengajak dia untuk pulang bersama, tapi … siapa Bila? Gadis populer di sekolah saja bukan. Mana iya Aksara mengajak dia pulang bersama.
Aksara melirik sumber suara. Nada suara Seila tidak seperti itu. Aksara hafal betul, Seila juga memanggil dia dengan sebutan kakak.
“Bukan. Gue bukan ajak lo balik. Gue ajak Seila, Bil!” jelas Aksara sambil menunjuk Seila agar Bila tidak salah paham. Dia ingin berterima kasih pada Seila yang telah mengobatinya dengan mengantar gadis ini pulang. Aksara juga merasa enak akan kejadian ciuman tadi.
“Kakak ajak aku pulang?” Seila menunjuk dirinya sendiri. Memangnya ada petir yang menyambar pria ini sehingga bersikap baik kepadanya. Seila masih ingat momen ciuman tadi. Pikiran Seila mengudara, membayangkan ciuman pertamanya yang jatuh pada Aksara. Dia langsung menggelengkan kepalanya agar kembali tersadar dari lamunan itu.
“Wuuaahhh … Seila keren, pulangnya di ajak cowo ganteng dan populer.” Bila bertepuk tangan mengagumi Seila yang berhasil membuat Aksara yang malah mendekatinya. Pria ini sebelumnya sama sekali tidak pernah terlihat dekat dengan seorang gadis. Baru kali ini ada seorang gadis yang Aksara ajak untuk duduk di kursi jok penumpangnya.
“Apaan, sih, lo, Bil.” Seila menyenggol Bila dengan sikunya. Gadis ini malah heboh karena bertepuk tangan. Seila merasa malu karena banyak yang memperhatikan mereka. Pati esok atau lusa, akan ada berita heboh di sekolah ini. Pikiran Seila sudah di penuhi hal-hal yang negatif. Dia tidak mau berakhir malang lagi dan kembali berpindah sekolah. Seila tidak mau jadi bahan perbincangan anak-anak di sekolah barunya ini.
“Maaf Kak. Aku di jemput ayah. Udah on the way kesini. Lain kali aja, ya!” Seila mengangguk sopan menolak ajakan dari Aksara. Gadis ini memang menyukai Aksara. Tapi tidak untuk menjadi populer. Seila sudah trauma di olok-olok oleh banyak siswa karena statusnya yang merupakan anak dari pasangan mucikari dan memiliki bar. Dia harus mengubur rasa di hatinya yang menyukai pria populer seperti Aksara demi hidup aman. Seila merasa tidak pantas bersanding dengan pria ini. Terlebih lagi, dia juga pernah di perlakukan memalukan oleh Aksara saat mengembalikan jaket. Bagaimana nanti ketika mereka sudah dekat dan Aksara kembali memperlakukan Seila tidak baik. Pati akan menyakitkan.
“Yakin? Masih ada waktu buat ngabarin ayah biar gak jadi jemput kesini.” Aksara mencoba memberikan solusi agar Seila menerima niat baiknya.
“Yakin, kak. Lagian gak ada helm lagi, kan? Ini jalan kota, nanti ada polisi yang razia kita gimana?” Seila memperhatikan helm Aksara yang hanya ada satu. Dia hanya mencari-cari alasan saja agar Aksara tidak terus memaksa.
“Bisa ambil helm gue di kosan temen. Ayo Sei.” Aksara langsung naik ke motornya dan bersiap mengenakan helm.
Sayangnya Seila begitu malu, canggung dan takut. “Maaf aku gak bisa.”
“Hoho … seorang Aksara ajakannya di tolak seorang gadis. Udah sama gue aja, Aksa!” Bila menepuk pundak Aksara dan bersiap untuk menaiki motor pria tampan ini.
“Gak, gue gak mau ajak, lo.” Aksara menggelengkan kepalanya.
“Maaf, ya, Kak. Tuh jemputan aku dateng. Aku permisi, ya!” Beruntungnya ayah Seila datang tepat waktu. Dia melambaikan tangan pada Bila dan Aksara lalu berlari menuju gerbang sekolah.
Angga yang melihat Seila dari tadi sedang berinteraksi dan menolak Aksara segera berlari menyusul gadis ini. Dengan percaya dirinya Angga merangkul Seila saat Aksara memperhatikan gadis itu.
“Hai Cantik!” sapanya pada Seila sambil tersenyum manis. Dia berniat ingin membuat Aksara cemburu.
“Ngapain lo rangkul-rangkul gue?” tanya Seila sambil menatap tajam mata Angga lalu memukul tangan pria itu.
“Pengen aja,” sanggahnya, padahal dia tengah senang melihat Aksara yang kesal dan menyalakan motor lalu membuat suara gas yang lumayan kencang.
“Tolong lepasin.” Seila menepis lagi lengan Angga agar tidak merangkulnya. Dia malu di perhatikan gadis lain. Angga juga pria populer di sekolah ini. Terlebih lagi sang ayah melihat tingkah pria yang merangkul anak gadisnya ini. Seila sangat malu dan harus memberikan alasan apa pada ayahnya.
“Ops, sorry!” Angga mengangkat kedua tangannya ke udara sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Gue mau pulang.” Seila tidak lagi melihat ke Angga. Dia meneruskan langkah kakinya untuk mendekat ke mobil sang ayah.
“Gue ikut!” Angga berlari dan membuka pintu belakang. Tanpa permisi masuk dan duduk di bangku penumpang.
“Ngapain lo ikut naik mobil gue?” Seila duduk di samping ayahnya. Melirik pada Angga yang duduk manis di belakang.
Ayah Seila kebingungan dengan situasi ini. Dia tadi melihat anak gadisnya di rangkul anak laki-laki. Sekarang anak itu malah naik dan duduk di mobilnya. Anak muda jaman sekarang aneh dan berbeda dengan gayanya dahulu.
“Om, saya ikut pulang, ya!” Angga mengangguk sopan pada ayah Seila yang melirik ke arahnya dan bingung akan berkata apa. Satu sisi Surya senang ada yang mendekati Seila dan mau berteman dengan anaknya. Di sisi lain Seila sepertinya kesal pada Angga.
“Bukannya bawa motor?” tanya Seila ketus sambil melempar tatapan tajam. Ingin sekali dia mengusir paksa Angga tapi merasa malu pada ayahnya.
Angga menghiraukan Seila. Dia malah mengajak Surya berbicara. “Motor saya mogok Om, boleh saya merepotkan Om? Kebetulan saya teman sekelas Seila.”
“Boleh!”
“Hah … boleh?”