Chapter 12 Jadi Kesal
Keadaan di dalam mobil biasanya menyenangkan. Kini suasananya menjadi dingin dan menegangkan. Gadis cantik yang duduk di bangku depan mengerucutkan bibirnya melihat seorang pria yang yang duduk di bangku belakang mobil. Gadis itu tidak suka ada orang lain di antara dia dan ayahnya. Bisa-bisa sang ayah mengira pria itu adalah kekasihnya.
Dia menggelengkan kepala beberapa kali. Jangan sampai ayahnya berpikiran seperti itu. Masa iya dia berpacaran dengan seorang Angga. Jelas-jelas bukan tipe pria yang ia suka.
Tipe pria yang ia sukai adalah seperti Aksara. Sayangnya pria itu sangat populer dan di sukai banyak gadis. Oh … iya. Dia mengingat momen tadi. Apa? Aksara mengajaknya tadi untuk pulang bersama. Apa dia sekarang sedang bermimpi? Seorang Aksara yang cool, terkenal pendiam, jutek dan kasar itu mengajak dia duluan berbicara dan memberikan tumpangan. Sungguh aneh. Apa kepala Aksara habis terbentur lalu mengalami geger otak ya?
Seila menyangga dagu dengan satu tangan seraya memikirkan tingkah Aksara tadi. Dia kemudian mencubit-cubit bagian paha untuk memastikan ini bukanlah sebuah mimpi. Saat dia merasakan sakit, barulah ia sadar bahwa tadi itu Aksara mengajak dia pulang bukan di dunia khayalan melainkan di dunia nyata.
Bagaimana nasibnya besok saat bersekolah ya? Bila pasti akan membahas hal tadi esok hari. Lalu respon para gadis pasti akan membencinya.
Ah … akankah tadi Aksara melihat Angga yang merangkulnya serta ikut masuk ke mobil Seila. Gawat … apa Aksara akan marah? Seila menggelengkan kepalanya. Mana mungkin Aksara marah dan cemburu pada Angga. Memang Seila siapanya Aksara. Teman juga sepertinya bukan.
“Ehm ….” Surya berdehem. Seila menjadi sadar dari lamunannya.
“Siapa namamu, Nak?” tanya Surya sambil melirik kaca spion depan agar bisa melihat Angga dari kaca.
“Oh … iya. Nama saya Angga, Om. Kalo om?” Angga melihat wajah Surya dari kaca juga sambil mengangguk sopan.
“Nama saya Surya. Jadi, om harus antar kamu ke daerah mana, nih?” tanya Surya yang sibuk menggerakan kemudi mobil. Dia tidak tahu rumah ini dimana. Menolak permintaan minta tolongnya untuk di antar sungguh tidak sopan, jadi Surya ijinkan saja Angga menumpang di mobilnya dan dia akan mengantar anak itu sampai di rumahnya.
“Oh, iya. Tidak jauh dari sini, Om. Maaf, ya malah ngerepotin.” Angga pintar berbohong. Motornya baik-baik saja. Dia melakukan ini karena cemburu pada Aksara. Ia ingin Aksara emosi dan meluapkan amarahnya. Ide di otak Angga langsung mengatakan bahwa dia harus ikut pulang bersama Seila. Dengan cara ini pasti Aksara cemburu dan Angga juga mencari simpati dari orang tua Seila.
Bagi Angga, hal yang ia lakukan saat ini seperti bagai menyelam sambil minum air. Melakukan pendekatan pada Seila dan ayahnya sekaligus membuat Aksara saingannya menjadi cemburu.
“Aksara ….” ucap Seila pelan saat melihat motor Aksara telah membalap mobilnya sangat kencang. Mungkinkah Aksara marah pada Seila. Seila menggigit ujung jarinya sambil memperhatikan laju motor Aksara yang sangat kencang. Dia berdoa semoga Aksara tidak apa-apa.
‘Cemburu, kan, lo!” gumam Angga dalam hati. Seringai iblis terukir di wajah Angga. Dia melihat Aksara mengendarai motor sangat kencang.
“Sei, bukannya itu motor yang waktu itu ayah lihat pas jemput kamu ujan-ujan, ya? Inget gak pas di deket pom bensin?” Surya mengingat momen dia menjemput Seila saat matahari sudah terbenam dan anaknya berdua bersama seorang pria tampan di depan swalayan. Surya hampir mengira mereka sepasang kekasih. Tapi mana mungkin jika sepasang kekasih tidak mengantar Seila pulang sampai ke rumah.
“Iya yang itu, Yah. Itu temen sekelas aku juga!” jawab Seila. Dia menjadi kembali ke momen pertama saat bertemu dengan Aksara. Pria penyelamat itu begitu terlihat menakjubkan.
Angga mengerutkan dahi. Ternyata Aksara sudah lebih dulu di kenal oleh ayah Seila. Dia tidak boleh kalah pesona. Ayah Seila harus menyukai dirinya.
Surya melirik ke arah belakang. Dia lupa bahwa saat ini ada Angga. Mungkin saja anak ini akan cemburu jika dia malah membahas anak lain.
“O, iya. Kalian satu kelas?” tanya Surya menepis kecanggungan ini.
Angga senang kedua orang yang ada di hadapannya ini tidak lagi membicarakan Aksara. Entah kenapa, mendengar nama Aksara saja membuat dia muak.
“Iya Om. Bangkunya juga deket. Seila pengen deket-deket saya tau Om!” Angga tersenyum karena dia bisa menjahili Seila lagi.
Seila kaget atas pernyataan yang keluar dari mulut Angga. ‘Hah … apa yang Angga bilang? Aku yang ingin duduk sekatnya? Dasar pria yang percaya dirinya sangat tinggi. Menyebalkan!’ gumam Seila dalam hati. Angga sungguh sangat menguras emosinya. Ingin sekali dia menimpuk wajah pria itu dengan potongan pizza panas, atau menyiramnya dengan air.
“Idih, siapa yang mau deket-deket sama lo, Ogah!” Seila mencebik dan menyilangkan tangan di depan dada. Gawat … pasti pikiran ayahnya semakin lari kemana-mana.
“Seilanya malu, Om. Makanya gak ngaku.” Angga kembali berulah. Menjahili Seila adalah candunya. Hari-harinya akan merasa tidak menyenangkan jika tidak membuat Seila kesal.
“Kalian pacaran?” tanya Surya. Entah kenapa dia melihat interaksi kedua anak ini seperti tikus dan kucing tapi terlihat manis meski saling bertengkar. Pertanyaan yang keluar dari mulutnya itu sontak membuat Seila kaget. Gadis itu menoleh pada sang ayah yang tengah mengemudi dan semakin kesal atas situasi saat ini.
Angga tersenyum penuh kemenangan. Tidak sia-sia usahanya ini. Ayah Seila sampai mengira mereka berpacaran. Angga pun menjawab, “On the way Om!”
Jawaban Angga ini membuat Seila semakin kesal. Wajahnya memerah dan matanya membulat. Kenapa dua orang pria yang ada di mobil ini begitu menyebalkan untuknya saat ini.
“Ih Angga ….” teriak Seila sambil menoleh ke belakang dan melempar tatapan tajam. Seila ingin mengumpat tapi malu pada sang ayah.
“Enggak, Yah, Enggak. Seila gak deket sama cowo manapun.” Seila mengibas-ngibaskan tangannya ke arah Surya. Padahal siang tadi dia sudah berciuman dengan Aksara. Apa itu tidak di sebut kedekatan yang berawal dari pertemuan, pertolongan lalu ciuman. Seila beranggapan dia tidak dekat dengan pria manapun di sekolah ini. Begitu pula dengan sekolah-sekolah sebelumnya. Seila hanya mempunyai banyak haters.
“Mana mungkin Seila pacaran. Orang Seila masih kecil, kan, Yah?” Seila membela diri. Dia tidak mau di sebut pacarnya Angga. Bisa-bisa sang ayah nanti terus saja menggodanya saat di rumah.
“Udah boleh, sih, sebenarnya. Kan udah tujuh belas tahun. Dulu juga ayah pacaran umuran segitu.” Perkataan Surya malah mempertinggi posisi Angga. Dia seperti berpihak pada Angga bukan pada Seila.
Angga yang merasa perasaannya terbang tinggi ke udara langsung bertanya, “Berarti Angga di kasih restu nih, Om?” Perkataan Surya seolah mengijinkan jika Angga menjalin hubungan dengan Seila.
“Ih, apa-apaan, sih, lo. Mending turun sekarang dari mobil gue. Nyebelin!” Seila semakin emosi karena Angga dia anggap semakin ngawur.
“Jangan gitu anak ayah yang cantik!” Surya mengacak-ngacak puncak kepala Seila.
“Om, saya turun di depan saja, Om. Kebetulan toko itu milik tante saya! Nanti biar saya pulang di antarkan karyawannya aja!” Angga menunjuk sebuah toko kue yang ada di pinggir jalan.
“Maafin Seila, ya, Angga. Mungkin Seila lagi PMS!”
“Ayah ….”