Bab 2 Anak Kecil di Tengah Sawah

POV Lidia Desa Manau, dua puluh lima tahun kemudian * * * Pov Lidia "Bugdetnya kebanyakan,Bang," kata Rasyid. Pemuda itu memperlihatkan catatan Anggaran acara penyuluhan Pertanian yang akan diadakan besok lusa kepada Joseph. Sebagai ketua dan wakil kelompok mereka kompak banget tetap bersemangat mengerjakan proker sampai tengah malam. Sebenarnya aku sudah ngantuk berat, namun sebagai sekretaris aku harus menunjukan dedikasi ikut rakor terbatas ini, Rani sebagai bendahara sepertinya senasib denganku, dari tadi kulihat dia sudah menguap beberapa kali sampai mengeluarkan air mata. Gina dan Sarah yang menemani kami bahkan sudah tertidur lelap diatas tikar pandan. Mereka menemani aku dan Rani karena di desa ini posko perempuan dan laki-laki terpisah berjarak 200 meter, melalui pematang sawah dan jembatan di sungai kecil. Malam ini hari ke tiga kami di desa ini. Kami masih buta dengan keadaan desa ini. Ketika kami datang, Datuk kepala desa sudah mempersiapkan rumah untuk posko, posko laki-laki di pinggir jalan utama desa dengan suasana yang lumayan ramai, sedangkan posko perempuan masuk ke dalam melewati persawahan, di sana ada 3 rumah, satu rumah kosong di belakang posko kami, dan sebelahnya rumah cukup besar di huni seorang janda bernama nyai Rudiah dengan ketiga putrinya yang masih SMP dan SD. Posko perempuan diwanti-wanti sama nyai Rudiah (nyai panggilan untuk nenek yang di hormati) di larang keras untuk dimasuki laki-laki. "Lidia, coba catat biaya konsumsinya." Joseph memberi perintah "Hah? O ... iya Bang. Nggg apa tadi Bang?" "Biaya konsumsi." "Oh ...." Aku malas sebenarnya, mataku sudah tidak bisa diajak kompromi. Tok...tok...tok.... Tiba-Tiba pintu diketuk dengan keras, membuat mataku dan Rani yang sudah mengantuk kembali terjaga. "Dek ... Dek! Oi, Dek," panggil suara dari luar Secepat kilat Rasyid bangkit dan membuka pintu, nampak di luar seorang pria paruh baya memakai sarung dan peci, dia kepala desa yang biasa dipanggil Datuk. Nama aslinya kami belum ada yang tahu "O, Datuk. Ada apa tuk?" tanya Rasyid "Oi, Dek. Kan la sayo bilang, budak betino dilarang ke siko sampe jam 9, kini ko la jam 12." (Kan sudah saya bilang, anak perempuan dilarang ke sini sampai jam 9, sekarang sudah jam 12.) "O, maaf, Datuk. Kami ada rapat sampai lupa waktu. Mereka sekarang mau pulang ke poskonya kok," kata Joseph menimpali "Ayo Lidia, Rani, pulang sana," lanjutnya. "Iyo, baleklah. Antar anak betino ni, hari la tengah malam," kata datuk sambil berlalu. Rani segera membangunkan Gina dan Sarah, mereka bangun dengan malas- malas. "Ayo, Syid, antar kami," kataku Aku meminta Rasyid mengantar, bukan tanpa alasan aku memintanya mengantar kembali ke posko cewek, alasannya ... Ah, ada deh, aku belum berani mengungkapkan. "Gak usah, Rasyid masih ada yg mau dibahas sama aku. Minta antar Markus sama Andre saja," potong Joseph, meruntuhkan harapanku. Rasyid segera membangunkan Markus, Andre dan Ilham untuk mengantar kami. Dengan perawakan Markus tinggi besar dan berdarah batak setidaknya kami merasa aman, ditambah Andre yang bertampang badboy kurasa bisa nakut- nakuti pemuda nakal di kampung ini. Sebenarnya aku pengennya Rasyid yang mengantar, pemuda itu memiliki aura yang bisa membuatku nyaman, pertama bertemu aura ahli ibadah terpancar di wajahnya, membuatku... apa ya? Terpesona, penasaran atau apalah aku belum tahu. Markus segera mengambil senter, begitu juga Ilham, bahkan Ilham melengkapi diri membawa sebilah belati yang disisipkan di balik jaketnya, perawakan Ilham biasa saja, tampang dan penampilan juga biasa tapi kudengar dia pintar bela diri, suatu prestise yang bisa diandalkan untuk seorang cowok. Hanya Andre yang tangan kosong, memakai celana pendek dan kaos oblong, rambut gondrong selehernya nampak acak-acakan sehabis tidur. Kami berjalan mengikuti Markus berjejer ke belakang seperti kawanan itik. Ilham menjaga paling belakang. Sesekali Gina yang masih mengantuk hampir terjatuh, untung ada Andre di belakangnya yang sigap menangkap tangan Gina. Kami melewati jembatan setapak di sungai kecil yang kalau siang nampak jernih sekali airnya. "Jalan hati-hati, ini pematang sawah agak licin lo, kepeleset dikit jatuh ke lumpur sawah," kata Markus ketika kami sudah melewati pematang sawah. "Kau tu jalannya pelan-pelan Kus, aku susah ni ngejar kamu," kata Rani di belakangnya "Jam berapa si ini, kok sepi banget." Sarah mulai sadar dan bersuara "Gak dengar kau kata Datuk tadi sudah jam dua belas," kataku menimpali "Tepatnya jam 12 lewat 15 menit," kata Ilham dari belakang setelah melihat jam tangannya yang disenteri "Hii aku takut," ujar Gina "Tenang saja, Cantik. Ada Bang Markus di sini," seloroh markus yang di ikuti koor dari semua "Huuù ...." Kami kompak menyahutnya di ikuti gelak tawa "Cie ... Markus mulai merayu Gina," sahut Sarah "Lagak kau Kus, Markus," timpal Andre Tak terasa kami sudah ada seratusan langkah menyusuri pematang sawah "Oi, ada orang oi!" kata Markus Pemuda itu berhenti tiba-tiba. Otomatis kami ikut berhenti sehingga tubuh kami limbung kebelakang, untung kami masih berjarak, kalau tidak di antara kami pasti sudah ada yang jatuh ke sawah. Nampak sekitar 50 meter di depan kami ada dua obor menyala di tengah sawah. "Mungkin orang mencari ikan atau belut di sawah. Ayok, lanjut," kata Andre Kamipun melanjutkan perjalanan, baru beberapa langkah kami dikejutkan tawa renyah khas anak-anak kecil sedang bermain, nampak di depan kami dua orang anak laki-laki memakai baju khas melayu memakai ikat kepala berjongkok membelakangi kami, tertawa-tawa menusuk-nusuk sesuatu memakai ranting dan seorang anak perempuan memakai baju kurung tertawa sambil berlari menjauh dan mendekat lagi kearah anak laki-laki itu, kalau di taksir umur mereka sekitar 6 sampai 7 tahun. Pemandangan itu membuat sebagian kami takjub dan membatin tak masuk akal. "Lagi ngapain anak-anak itu?" tanyaku lirih "Sepertinya lagi mainin kepiting," jawab Andre. cowok itu tepat di depanku, suara pelan bahkan setengah berbisik. "Hoii!!! Anak siapa kamu malam- malam berkeliaran di tengah sawah? Emang gak dicariin bapakmu ya?" Tiba- tiba Markus berteriak ke arah anak- anak itu. "Markus!!" Serempak kami menghentikan aksi Markus. Beberapa detik kemudian anak-anak itu terdiam. Terlihat sorot mata tak biasa dari anak perempuan yang menghadap kami, seperti kilat yang tajam mengerikan membuat bulu kuduk kami berdiri, dan kaki kami sulit di gerakkan. Tanganku bahkan sampai gemetaran.
Pengaturan
Latar belakang
Ukuran huruf
-18
Buka otomatis bab selanjutnya
Isi
Bab 1 Prolog Bab 2 Anak Kecil di Tengah Sawah Bab 3 Bukit Manau Bab 4 Lolongan Anjing Bab 5 Pohon Jeruk Bali Bab 6 Kedatangan Papa Mama Gina Bab 7 Kantor kecamatan Bab 8 Kopi Panas Bab 9 Piket Harian 1 Bab 10 Piket Harian dua Bab 11 Rumah kosong di belakang posko appBab 12 Nyai Rudiyah appBab 13 Pakdo Marlin appBab 14 Puskemas appBab 15 Puskesmas dua appBab 16 Aslan appBab 17 Baper appBab 18 Jangan sendirian appBab 19 Ambruk appBab 20 Jeritan tengah malam appBab 21 Lubuk larangan appBab 22 Photo appBab 23 Rasyid appBab 24 Calon istri dokter Idhar appBab 25 Good bye, dokter! appBab 26 Makanan dari Anita appBab 27 Bola api appBab 28 Guna-guna Gina satu appBab 29 Guna-guna Gina dua appBab 30 Guna-guna Gina tiga appBab 31 Mawar hitam Gina appBab 32 Istikharah, cinta! appBab 33 Air terjun Perentak satu appBab 34 Air terjun Perentak dua appBab 35 Lelaki misterius satu appBab 36 Lelaki misterius dua appBab 37 Dibekap appBab 38 Oh my Hero! appBab 39 Trauma appBab 40 Nyanyian rindu appBab 41 Pertemuan appBab 42 Pertemuan dua appBab 43 Pertemuan tiga appBab 44 Bayu Arya, who are you? appBab 45 Pakdo kenal Bayu Arya? appBab 46 Foto pernikahan Pakdo Marlin appBab 47 Galau appBab 48 Cepi appBab 49 Jumat kelabu appBab 50 Siapa yang menyerupai kami? appBab 51 Acara perpisahan 1 appBab 52 Acara perpisahan 2 appBab 53 Pulang appBab 54 Permintaan Mamak appBab 55 Hijrah appBab 56 Sidang skripsi appBab 57 Wisuda appBab 58 Rukiyah appBab 59 De Javu appBab 60 Mentawai appBab 61 Pulau eksotis appBab 62 Di tengah bencana appBab 63 Aku ingin mati di pangkuanmu appBab 64 Kemunculan Bayu arya appBab 65 Kenapa kau merasa tak pantas? appBab 66 Genggamlah tanganku appBab 67 Aku kuliah di Harvard appBab 68 Sambutan keluarga Lidia appBab 69 Tidak bisa lagi berpaling appBab 70 Kisah Bayu Arya 1 appBab 71 Kisah Bayu Arya 2 appBab 72 Kisah Bayu Arya 3 appBab 73 Permintaan Lidia appBab 74 Pergi ke tempat Kyai Amran appBab 75 Melamar di mobil appBab 76 Menemui Pakdo Marlin appBab 77 Lamaran appBab 78 Akad nikah appBab 79 Resepsi pernikahan appBab 80 Samawa selamanya app
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
UNION READ LIMITED
Room 1607, Tower 3, Phase 1 Enterprise Square 9 Sheung Yuet Road Kowloon Bay Hong Kong
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta