Bab 4 Lolongan Anjing

Sehabis mandi rasanya segar sekali. Beda memang air sungai pegunungan dengan air kran di indekost, rasanya menyegarkan sampai ke sumsum tulang. Selesai menyisir rambut, lampu kamar segera kunyalakan, suasana nampaknya sudah mulai gelap, padahal baru jam setengah enam sore. Walaupun di pedesaan ternyata PLN sudah menerangi wilayah ini, syukurlah tidak perlu takut kegelapan. Segera aku menuju ruang tamu sekaligus ruang keluarga, kunyalakan lampunya juga. Kuamati Rumah posko perempuan ini, ukurannya hanya 7m x 8m, bangunannya semi permanen, lantainya dari semen dan tidak memiliki flapon. Terdapat dua kamar tidur, satu dapur, di dekat dapur ada WC yang tidak di sekat, ada bak mandi dan selang tapi tidak ada airnya, sepertinya airnya harus di alirkan dari sungai memakai pompa air, ya ... terpaksa ngangkat air pakai ember kalau mau buang air. Di antara dapur dan ruang tamu sekaligus ruang keluarga itu ada ruang kecil yang di sekat lemari, ada tikar pandan yang dibentangkan, diatasnya terdapat sejadah warna maroon yang sudah usang, sepertinya itu ruang salat. "Lampunya agak redup ya?" Kata Sarah. Gadis itu dari tadi duduk di ruang tengah sambil mengamati lampu di atasnya. "Iya, ya." Aku menimpali ucapan Sarah "Bentar, kita ganti saja. Aku bawa lampu philip 100 watt." Gina segera masuk ke kamar untuk mengambilnya "Wei, hebat nian kau Gina, sampai kepikiran bawa lampu," kata Sarah dengan suara keras. "Untuk jaga-jaga," timpal Gina dari kamar. Memang kuperhatikan Gina memang agak berbeda dari yang lain. Dari segi penampilan, gaya bicara dan terutama barang bawaannya yang sangat banyak, sampai dua koper belum lagi barang-barang lain. Kasurnya saja dia berbeda, rata-rata kami membawa kasur lipat yang mudah dibawa, tapi Gina membawa kasur busa ukuran no 3 untuk satu orang yang kelihatan empuk banget dan mahal. Aku rasa dia anak orang kaya. "Besok saja masangnya Gin, tidak ada tangga," ujarku "Pakai meja, ditumpuk kursi saja," kata Sarah. Gadis itu menarik sebuah meja kecil dari kamar dan aku mengambil kursi kayunya. Aku baru tahu ada meja dan kursi di sudut kamar bertumpuk dengan barang-barang kami. Aku yang memiliki tinggi badan 158 terpaksa yang mengganti lampu, di banding mereka yang rata-rata tingginya 150 cm. Segera kunaiki meja, ternyata tanganku sudah sampai, karena lampu juga menjuntai kabelnya. Sarah segera mematikan lampu, sehingga aku bisa mengganti lampu. Setelah selesai mengganti, lampu dinyalakan kembali. "Loh kok masih redup ya?" Kataku "Iya,ya," kata Gina dan Sarah hampir berbarengan. "Gak mungkin lampuku rusak, baru beli sebelum ke sini," kata Gina "Ada yang aneh nih," ujarku "Apa yang aneh?" Tiba-tiba mbak Zarima keluar kamar sambil membawa seperangkat alat salat. "Lampunya sudah diganti masih redup, Mbak," kataku "Mungkin arus yang masuk sedikit, sehingga lampunya tidak bisa terang," kata mbak Zarima "Bisa jadi, lampu ini kan nyalur dari rumah Nyai Rudiah." Sarah menimpali "Mending kita salat ke mesjid, yuk!" ajak mbak Zarima "Yuk, tunggu mbak aku ambil mukena." Aku ke kamar mengambil peralatan salat, di susul dengan Sarah. "Aku nggak, lagi halangan," kata Gina Sebelum pergi ke masjid kuajak teman-teman untuk ikut bersama kami, namun tidak semua bisa ikut, alasannya masih capek jadi salat di rumah saja. Kami pergi hanya berempat, aku, mbak Zarima,Sarah dan Rani. Kami berangkat sebelum azan magrib berkumandang. Ternyata di depan posko laki-laki ku lihat Rasyid, Ilham,Sugianto, Dedi dan Maryanto juga akan berangkat ke masjid. Kupanggil mereka untuk pergi bersama. Kulihat Rasyid gagah sekali pakai baju koko putih tanpa memakai peci, kalau ku perhatikan, Rasyid suka sekali memakai baju berwarna putih, sehingga wajahnya semakin memancarkan aura. Di tengah jalan, Sarah menceritakan pemasangan lampu, dia membahas dengan cowok-cowok tersebut. "Hebat ya Gina selalu siaga," kata Dedi memuji Gina "Sepertinya Gìna anak orang kaya ya?" Kata Rani menimpali "Kalian gak tahu apa? bapak Gina kan anggota dewan provinsi dan ibunya Dokter sekaligus Dosen di Sekolah tinggi kebidanan," kata Ilham menerangkan. "Ooo, pantes." Aku menimpali "Anaknya cuma dua, Gina itu anak pertama," lanjut Ilham "Wah, kau tahu banyak soal dia kawan, jangan-jangan ...." Dedi menepuk bahu Ilham, matanya baik turun meledek anak itu, membuat kami tertawa geli "Oi, mikir apa kau? Dia itu teman satu kelas aku, ya wajar aku tahu," kata Ilham sambil menepis tangan Dedi Kami masih menertawakan kelakuan mereka, beberapa detik kemudian azan berkumandang dari masjid yang tinggal dua puluh langkah di depan kami. Setelah lantunan Allah hu Akbar terjeda beberapa detik alangkah terkejutnya kami tiba-tiba di depan kami sekawanan anjing melolong memekikkan telinga dan menyayat hati, aku sampai menutup telinga. Kamipun menghentikan langkah, mengamati sekitar. Rupanya Lolongan anjing itu bersahut-sahutan seantero kampung, dan anjing-anjing itu kompak menghadap kesatu tempat sambil mendongak. Bukit Manau .... "Rupanya Desa ini banyak sekali jin." Tiba-tiba Rasyid yang dari tadi diam saja mengeluarkan suara "Sepertinya jin-jin itu keluar dari Sarangnya. Lahaula wala Quata illabillah ...." sambung mbak Zarima "Ayo lekas kita ke masjid,"seru Rasyid. Anak itu mempercepat langkahnya, kami mengikuti setengah berlari. Masjid Raudhatul Jannah, masjid ini cukup megah dan luas untuk ukuran masjid di kampung, berlantai keramik putih dan berkubah hijau. Tempatnya juga bersih. Namun kulihat hanya sedikit jamaahnya. Di tempat wanita selain kami hanya ada tiga orang nenek yang ikut salat. Setelah Iqomah, kami pun mulai salat berjamaah. Imam salat melantunkan surah Al Lail dengan sangat merdu, rasa takut di dadaku membuatku salat dengan sepenuh hati. Seumur hidup baru kali ini aku salat dengan khusuk hingga serasa kakiku tidak menginjak bumi.
Pengaturan
Latar belakang
Ukuran huruf
-18
Buka otomatis bab selanjutnya
Isi
Bab 1 Prolog Bab 2 Anak Kecil di Tengah Sawah Bab 3 Bukit Manau Bab 4 Lolongan Anjing Bab 5 Pohon Jeruk Bali Bab 6 Kedatangan Papa Mama Gina Bab 7 Kantor kecamatan Bab 8 Kopi Panas Bab 9 Piket Harian 1 Bab 10 Piket Harian dua Bab 11 Rumah kosong di belakang posko appBab 12 Nyai Rudiyah appBab 13 Pakdo Marlin appBab 14 Puskemas appBab 15 Puskesmas dua appBab 16 Aslan appBab 17 Baper appBab 18 Jangan sendirian appBab 19 Ambruk appBab 20 Jeritan tengah malam appBab 21 Lubuk larangan appBab 22 Photo appBab 23 Rasyid appBab 24 Calon istri dokter Idhar appBab 25 Good bye, dokter! appBab 26 Makanan dari Anita appBab 27 Bola api appBab 28 Guna-guna Gina satu appBab 29 Guna-guna Gina dua appBab 30 Guna-guna Gina tiga appBab 31 Mawar hitam Gina appBab 32 Istikharah, cinta! appBab 33 Air terjun Perentak satu appBab 34 Air terjun Perentak dua appBab 35 Lelaki misterius satu appBab 36 Lelaki misterius dua appBab 37 Dibekap appBab 38 Oh my Hero! appBab 39 Trauma appBab 40 Nyanyian rindu appBab 41 Pertemuan appBab 42 Pertemuan dua appBab 43 Pertemuan tiga appBab 44 Bayu Arya, who are you? appBab 45 Pakdo kenal Bayu Arya? appBab 46 Foto pernikahan Pakdo Marlin appBab 47 Galau appBab 48 Cepi appBab 49 Jumat kelabu appBab 50 Siapa yang menyerupai kami? appBab 51 Acara perpisahan 1 appBab 52 Acara perpisahan 2 appBab 53 Pulang appBab 54 Permintaan Mamak appBab 55 Hijrah appBab 56 Sidang skripsi appBab 57 Wisuda appBab 58 Rukiyah appBab 59 De Javu appBab 60 Mentawai appBab 61 Pulau eksotis appBab 62 Di tengah bencana appBab 63 Aku ingin mati di pangkuanmu appBab 64 Kemunculan Bayu arya appBab 65 Kenapa kau merasa tak pantas? appBab 66 Genggamlah tanganku appBab 67 Aku kuliah di Harvard appBab 68 Sambutan keluarga Lidia appBab 69 Tidak bisa lagi berpaling appBab 70 Kisah Bayu Arya 1 appBab 71 Kisah Bayu Arya 2 appBab 72 Kisah Bayu Arya 3 appBab 73 Permintaan Lidia appBab 74 Pergi ke tempat Kyai Amran appBab 75 Melamar di mobil appBab 76 Menemui Pakdo Marlin appBab 77 Lamaran appBab 78 Akad nikah appBab 79 Resepsi pernikahan appBab 80 Samawa selamanya app
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
UNION READ LIMITED
Room 1607, Tower 3, Phase 1 Enterprise Square 9 Sheung Yuet Road Kowloon Bay Hong Kong
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta