Bab 2 Naga Terakhir
Penduduk desa hanya mengetahui kalau pria aneh dan buta itu adalah pelindung desa dari gangguan bandit-bandit pendatang yang memeras penduduk desa. Tidak banyak yang mengetahui kalau pria buta ini adalah Pendekar tanpa tanding pada masanya. Pria yang sekarang disebut Ki Wicaksono ini merupakan Pendekar Naga generasi terakhir. Dengan gelar yang disandingnya sebenarnya dia bisa mengklaim tahta kerajaan Kamandaria tapi dia lebih memilih melindungi Desa Kabut Hitam dan menetap di desa ini.
Setelah meninggalkan Candaka, Ki Wicaksono melanjutkan perjalanan ke ujung desa dekat pegunungan. Terlihat dia cuman jalan biasa saja tapi dengan cepat dia sudah memasuki hutan di belakang ujung desa. Ini menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa.
Perlahan-lahan matahari mulai terbenam meninggalkan kegelapan yang menyelimuti hutan. Ki Wicaksono tiba di sebuah rumah yang unik yang menggabungkan konsep rumah dengan pepohonan.
“Kakek kemana saja, untung cepat sampai … hari sudah gelap!” sahut seorang perempuan cantik yang usianya masih muda.
Perempuan yang tampak anggun dan cantik itu bernama Gayatri. Dia adalah cucu satu-satunya dari Ki Wicaksono.
“Kakek tadi hanya duduk-duduk saja di tempat makan, Yatri,” jawab Ki Wicaksono dengan santainya.
Dia tahu cucunya sangat mengkhawatirkannya sebesar dia mengkhawatirkan cucu perempuannya karena sudah banyaknya bandit-bandit pemeras yang menguasai desa tempatnya tinggal. Beruntunglah dia sudah mewariskan sebagian ilmu silat kepada cucunya untuk membela diri jika terjadi sesuatu pada dirinya.
“Tadi kakek ketemu pemuda perantau yang baru memasuki desa kita ini. Kakek dengar dia mencari ayahmu Yatri!” kata Ki Wicaksono membuka pembicaraan lagi.
“Ada urusan apa dia mencari Ayah?” tanya Gayatri sambil menyediakan makan malam buat kakeknya.
“Kakek tidak tahu, tapi dia bilang ayahmu adalah pamannya! Ini tidak mungkin karena Bibi kamu setahu kakek sudah lenyap ditelan Kabut Hitam saat berusaha menyelamatkan kamu dulu Yatri!!!” cetus Ki Wicaksono.
Gayatri terdiam sejenak saat kakeknya mulai mengungkit lagi permasalahan saat dia masih kecil. Ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, jadi yang merawatnya dari kecil adalah Bibinya Sri Ningsih. Sedangkan Ayahnya menghilang setelah kelahirannya, entah menyalahkan dirinya atau memang ada sesuatu yang lain yang tidak diketahuinya.
Saat itu sudah senja dan dia masih bermain-main di halaman rumah. Teriakan bibinya tidak terdengar olehnya. Kabut Hitam bergerak cepat seakan hendak menelan semua yang dilaluinya. Saking paniknya Ningsih nekad berlari menyambar Gayatri dan berlari cepat menuju ke dalam rumah. Gayatri selamat tapi dia tidak melihat bibinya lagi setelah kejadian itu.
Gayatri merasa dia sudah dikutuk sejak lahir. Siapapun yang dekat dengannya pasti meninggalkan dirinya hidup atau mati. Itulah yang membuat dia selalu mengurung diri dalam rumah di tengah hutan. Hanya kakeknya satu-satunya yang dia rasa belum meninggalkan dirinya.
“Iya kek, Yatri minta maaf! Gara-gara Yatri, bibi lenyap ditelan Kabut Hitam desa terkutuk ini dan ayah meninggalkan kita juga gara-gara aku, ssshhhh …,” Gayatri terisak-isak mengingat semua kejadian masa lalunya.
Itu juga yang membuatnya tidak rela meninggalkan kakeknya seorang diri padahal dia sudah muak dengan semua kejadian yang menimpanya. Dia sudah muak terhadap desa terkutuk yang dirasakannya selalu mengutuk dirinya.
Pria tua itu menghembuskan nafas berat. “Kakek tidak menyalahkan kamu Yatrii. Seandainya kakek tidak pergi saat itu mungkin kejadian tidak akan seperti ini.”
“Besok coba kakek cari pemuda perantau itu biar tahu jelasnya kenapa dia tahu persis nama ayahmu Yatri” ujar Ki Wicaksono lagi.
*****
Candaka barusan merasakan empuknya kasur di penginapan ketika tiba-tiba pintu kamarnya didobrak dengan keras. “Braaakkkk …!”
Tampak puluhan orang menghampiri dirinya. “Mana kakek tua teman kamu itu!" tanya salah satu tukang pukul sambil mengcengkram baju Candaka dengan kencangnya.
Candaka sedikit gemetar melihat banyaknya tukang pukul yang mengerumuninya. “Aku tidak tahu, aku pendatang baru di desa ini!”
Pemuda yang sama sekali tidak mengerti ilmu silat ini cukup ketakutan oleh ulah tukang pukul ini.
Belum sempat mereka menanyakan lebih lanjut tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar pintu kamar disertai beberapa orang tampak melayang seperti ditendang atau dilempar seseorang.. “Aduh ampun Tuan Putri!” terdengar suara pengawal tadi berteriak dengan lirih.
“Beraninya kalian mengeroyok laki-laki yang tidak tahu apa-apa....!!!” teriak wanita itu sambil muncul di hadapan puluhan tukang pukul yang berada di dalam kamar.
Belum sempat berkedip, semua berjatuhan dalam sekejab. “Bilang sama Bos kamu ya, jangan macam-macam di sini ... Belum pernah disayat-sayat sama Pedang ya …," ancam wanita tadi sambil mengacungkan pedangnya yang bersinar mengkilap tajam.
“Iya Tuan Putri, nanti kami sampaikan!" Tampak semua tukang pukul itu pucat pasi ketakutan melihat kemunculan wanita cantik ini. Mereka berlari secepatnya meninggalkan wanita galak yang merobohkan mereka semua hanya dalam sekejab saja.
“Kamu … iya kamu …!” tunjuk wanita tadi ke arah Candaka yang masih melongo melihat kehebatan wanita ini.
“Kamu ada masalah apa dengan Bos di desa ini sampai dikeroyok segala!” tanya wanita ini.
“Aku tidak tahu! Mereka mencari kakek buta yang aku temui tadi siang padahal aku saja tidak kenal kakek tua itu!" jawab Candaka.
“Berani juga ya kamu pergi sendirian tanpa bekal ilmu silat apalagi memasuki desa yang misterius ini!”
“Maaf kamu siapa, kok marah-marah! Salah aku apa?” Candaka mulai kesal dimarah-marahi tanpa kejelasan oleh wanita yang tidak dia kenal.
“Aku hanya mau mencari paman aku, Syailendra! Kata ibuku, pamanku ada di desa ini," lanjut Candaka.
Wanita tadi tampak melunak saat Candaka menyebut nama Syailendra. “Aku Isyana Mukti, kalau kamu namanya siapa?”
“Aku, Candaka Mahaputra”
“Nanti besok aku anterin kamu ke rumah kakek Wicaksono! Kebetulan aku kenal baik dengan beliau," tawar Isyana, “Mungkin dia bisa menemukan pamanmu!”
“Sekarang kamu tidur! Jangan keluar dari penginapan ya, banyak kabut misterius kalau sudah malam!”
Isyana langsung lenyap begitu saja tanpa sempat Candaka berterima kasih. “Besok saja aku terima kasihnya," katanya dalam hati.
Banyak tanda tanya dalam diri Candaka. Siapa perempuan misterius yang jago pedang yang menolongnya dari keroyokan penjahat tadi? Kenapa mereka takut dan hormat memanggilnya Tuan Putri? Apa hubungan perempuan ini dengan pamannya Syailendra juga dengan kakek Wicaksono? Siapa juga yang sering disebut Bos sama tukang pukul tadi?
“Semoga besok aku temukan semua jawaban dari misteri ini biar aku segera bisa angkat kaki dari desa ini," jawab Candaka dalam hati.
Dia datang ke desa Kabut Hitam ini atas permintaan ibunya sebelum meninggal yang memintanya untuk mencari pamannya agar Candaka bisa mengetahui asal-usulnya. Yang teringat olehnya adalah masa kecil sampai dewasanya di ibu kota Kamandaria yaitu Kota Naga Emas bersama ibunya. Dia tidak tahu siapa ayahnya karena ibunya tidak pernah memberitahunya bahkan sampai menjelang ajal dia hanya diminta ke desa ini menemui pamannya untuk mengetahui asal-usulnya dan memintanya tinggal bersama pamannya.
Candaka Mahaputra tidak menyadari kalau dia sudah terlibat begitu dalam dalam masalah kemisteriusan Desa Kabut Hitam beserta kemisteriusan penghuninya. Tanpa dia sadari kalau kedatangannya ke desa ini akan mengubah hidupnya selamanya.