Bab 3 Perguruan Tapak Naga
Candaka terbangun pagi-pagi dengan kagetnya karena pendekar pedang kemarin entah bagaimana sudah berada di dalam kamarnya. “Ayo, cepetan bangun! Aku mau menunjukkan sesuatu yang menarik ke kamu!” sahut Isyana dengan nada cuek dan tidak peduli dengan keadaan Candaka yang masih terkantu-kantuk.
“Ada apa sih bangunin orang pagi-pagi, lagian tidak sopan banget kamu masuk begitu saja ke kamar aku”, seru Candaka dengan perasaan kesal
Ia tidak mengerti dengan perempuan ini. Paras wajahnya cantik tapi kelakuannya serampangan dan tidak peduli sama sekali dengan perasaan orang lain.
“Tuh, lihat ke bawah. Ramai banget kan ya …!" tunjuk Isyana dari atas balkon penginapan ke arah jalanan di bawahnya yang dipenuhi aksi pawai silat.
“Itu orang-orang dari Perguruan Tapak Naga. Kamu harusnya belajar ilmu bela diri sedikit di Perguruan itu biar tidak gemetaran kayak kemarin, hahaha …!” tawa Isyana tanpa merasa Candaka tersinggung dengan ucapannya.
“Siapa yang gemetaran. Aku juga bisa ilmu bela diri sedikit. Ibu aku sering mengajariku agar tidak disemena-menain orang lain!” tantang Candaka.
“Yuk turun, ntar aku kenalin kamu sama guru silat di sana! Mau belajar atau tidak itu semua terserah kamu!” ajak Isyana.
“Bukannya kamu janji mau ajak aku ke tempat kakek Wicaksono hari ini?” tanya Candaka heran.
“Kenapa juga aku harus mengikuti gadis cantik ini, padahal urusanku lebih penting,” pikirnya. Walaupun pikirannya berontak untuk tidak mengikuti Isyana tapi kakinya melangkah mengikuti perempuan itu ke sudut desa alih-alih ada papan nama merah bertuliskan PERGURUAN TAPAK NAGA.
“Nanti dari sini aku pasti ajak kamu ke sana, jangan khawatir … aku selalu nepatin janji kok!” jawab Isyana dengan tenangnya.
Perguruan ini luas sekali. Candaka melihat beberapa orang berpakaian merah sedang mempraktekan jurus ilmu bela diri. Isyana masuk dengan santainya, dan penjaga pun tidak menghalanginya sama sekali.
“Kak, kenalin ini teman aku Candaka,” kata Isyana ke seorang pemuda yang tinggi tegap yang sedang melatih di perguruan itu.
Candaka bersopan santun menyodorkan tangannya bersalaman dengan pemuda tadi.
“Brahmana Mukti sebut saja Bram!” ekspresi pemuda tadi biasa saja tanpa senyum dan dingin padahal Candaka sudah bersusah payah memasang muka senyum.
“Sontoloyo!” sahutnya dalam hati. “Kalau tahu gini mendingan aku pasang muka dingin saja tadi!”
“Ini loh kak, Candaka mau belajar ilmu bela diri di sini bisa tidak kak?” tanya Isyana langsung ke intinya.
Candaka kaget dengan inisiatif Isyana memasukkannya belajar di perguruan tersebut.
“Tidak … aku tidak lama di desa ini! Setelah bertemu paman aku mau kembali ke ibukota! Jadi maaf bukan menolak tapi aku tidak punya waktu lama!” jawab Candaka dengan gengsinya.
“Kalau gitu tolong ajarin beberapa jurus kak … biar dia tidak babak belur kalau dikeroyok bandit-bandit itu lagi!” lanjut Isyana tidak mau kalah.
“Lah, memangnya bandit-bandit itu beraksi lagi Is …,” tanya Bram.
“Iya kak, kemarin mereka mengeroyok pria yang gemetaran ini makanya aku bawa ke sini biar bisa belajar sama kakak!”
“ Ya sudah kalau memang Candaka mau, besok pagi-pagi ke sini biar aku kasih beberapa tips jurus silat buat bela diri!” lanjut Bram
“Oh iya tadi kamu dicariin ibu! Pergi pagi-pagi tidak bilang-bilang malahan bawa cowok ke sini!”
Candaka terdiam lagi dengan muka kaget lagi mengetahui kalau ternyata pemilik perguruan ini adalah keluarga Isyana. Pantes dia bisa seenaknya masuk ga ditegur sama sekali.
“Mau tidak, tuh kakak aku sudah mau ajarin kamu! Mau ya cuman satu hari saja kok!” rayu Isyana agar Candaka mau menuruti kemauannya.
“Iya kak nanti aku minta maaf sama ibu,” jawab Isyana pelan.
Merasa tidak enak dengan kebaikan Isyana dan juga dia tidak mau menyinggung perasaaannya karena dia masih memerlukan pertolongan Isyana maka Candaka mengangguk pelan menyetujui kemauannya
“Horeeeee...!!! Gitu donk baru Candaka namanya," teriak Isyana kegirangan.
“Memangnya kalau aku menolak bukan Candaka namanya,” pikir Candaka. “Ada-ada saja tingkah perempuan ini, tapi lugu polos dan baik hati … Lah kok aku jadi suka sama dia? Tidak boleh … kan aku mau balik ke ibukota setelah urusan di sini selesai.” Perasaan Candaka mulai campur aduk tidak karuan.
“Udah yuk jangan ganggu … kakakku mau melatih murid-muridnya,” ajak Isyana sambil menarik tangan Candaka yang hampir jatuh saking kagetnya.
“Yang ganggu kakakmu itu bukannya kamu!” kata Candaka dalam hati lagi.
*****
Sekelebat bayangan putih dan hijau tampak berseliweran. Wusssshhhh wussshhh. Daun-daun kering berterbangan saat dua sosok bayangan tadi lewat. Sesekali terdengar suara tawa perempuan di tengah gemuruh suara angin yang ditimbulkan oleh gerakan mereka. Gerakan mereka menimbulkan siluet putih dan hijau menambah keindahan pemandangan di kaki gunung Tiga Jari ini.
Saat berhenti mulai terlihat sosok mereka yang ternyata Ki Wicaksono berjubah putih dengan Gayatri yang dibalut pakaian serba hijau. Gayatri tampak memegang tongkat panjang sedangkan Wicaksono hanya bermodalkan kepalan tangan.
“Jurus Naga Putih Menari!" teriak Wicaksono sambil menggerakkan tubuhnya seperti orang yang sedang berdansa yang makin lama makin cepat sehingga tampak seperti naga putih yang sedang meliuk-liuk sedangkan tangannya terbuka seperti cengkraman naga.
“Jurus Tongkat 8 arah!” Gayatri mulai memainkan Tongkat bambunya berusaha menggulung naga putih yang meliuk-liuk tapi serangannya selalu luput tidak mengenai sasaran hanya bisa berputar mengikuti liukan bayangan putih berbentuk naga.
Tidak tampak kalau sebenarnya Ki Wicaksono buta karena dia selalu bisa menebak arah serangan Gayatri.
“Jurusnya sakti banget kek, kok Yatri ga diajarin sih?” gerutu Gayatri sambil berusaha menggulung naga putih tadi.
“Kan sudah kakek bilang harus yang ada tulang naganya baru bisa diajarin jurus ini, kalau tidak jurus ini bisa menghancurkan organ dalam tubuh kamu,” sambung si kakek Wicaksono.
“Bagaimana kakek bisa tahu ada tulang naga atau tidak? tanya Gayatri penasaran
Wuuusssshhh …!
Bukannya menjawab pertanyaan cucunya, Wicaksono malahan berputar laksana angin menggulung tongkat Gayatri hingga tongkat terpental dari tangan cucunya
“Kakek jahat banget sih, bukannya jawab pertanyaan Yatri malahan menyerang dengan jurus yang tidak bisa dikalahkan ….” kesal Gayatri.
“Kamu tidak fokus Yatri, terlalu banyak mikir dan nanya jadi seranganmu melempem!” Wicaksono berusaha meredakan kemarahan cucunya.
“Bukannya kakek tidak mau mengajarkan jurus ini tapi jurus ini harus ditemukan sendiri dan belajar langsung dari kitab sakti itu sendiri!" jelasWicaksono.
“Memangnya ada berapa jurus kek?” tanya Gayatri penasaran.
“Konon ada 9 Jurus Naga Sakti di 9 Kitab yang berbeda! Kakek saja hanya bisa menemukan 1 Kitab saja yaitu Naga Putih ini! Setelah berhasil dipelajari, kitab ini akan sirna tersimpan lagi entah dimana … Hanya Anak Naga terpilih yang bisa menemukan Kitab ini dan mempelajarinya,” jawab Wicaksono.
“Satu Jurus saja sudah sakti begini kek, gimana kalau sampai bisa belajar 9 Jurus ya?”
“Hanya ada satu Pendekar Naga yang berhasil mempelajari keseluruhan Jurus Naga ini. Dia Sang Terpilih yang berhasil mengalahkan makhluk-makhluk mitos jaman dahulu yang berada di wilayah Kamandaria terutama Raksasa Mata Satu Berjari Tiga yang dikalahkannya dengan Jurus Naga yang paling sakti. Dia Raja pertama kita Dharmawangsa yang mendirikan Kerajaan Kamandaria setelah berhasil mempersatukan seluruh bangsa dan makhluk yang ada di Wilayah Kamandaria,” cerita kakeknya.
“Berarti Kakek payah dong ya, cuman bisa satu jurus saja, hihihi!” ledek Gayatri.
Wicaksono hanya tersenyum mendengar ledekan cucunya. Dia tidak tersinggung karena tahu cucunya hanya becanda, tidak ada maksud menghinanya. “Udahan dulu, kamu mandi sana! Besok kakek ajarkan jurus lain!"
“Kalau sekarang naga masih ada tidak Kek?” tanya Gayatri tidak mengubris kakeknya.
“Ada atau tidaknya kakek tidak tahu … Banyak desas-desus kalau ada yang melihat naga yang sempat terbang keluar dari Lembah Naga menembus Kabut Merah di atasnya, tapi tidak ada yang berani turun ke sana karena sangat terjal dan berkabut!”
“Kakek dulu ketemu jurus Naga Putih ini darimana?” cecar Gayatri
“Ssssttt, kakek tidak boleh kasih tahu tapi pastinya di Desa Kabut Hitam”
“Kalau auranya kuat dan terpilih, Pendekar Naga akan mendapat penglihatan dalam mimpi untuk menemukan satu-persatu Kitab Naga,” lanjut Wicaksono.
“Kakek seumur-umur cuman mimpi sekali saja, tapi itu sudah cukup bagi kakek”
“Lebih senang hidup menyepi di pedesaan alih-alih memerintah di Kota besar”
“Ya udah, Yatri mandi dulu ya … Eh kek ada yang datang tuh!” lanjut Gayatri menunjuk ke arah pemuda-pemudi yang memasuki rumah hutan tempat mereka berada
“Itu Kak Isyana...!!!!” teriak Gayatri lantang spontan kegirangan.
Gayatri langsung berlari sekelebat menghampiri Isyana yang datang bersama Candaka.
“Apa kabar kak… eh kaka sama siapa ini kok dekil amat orangnya?” timpa Gayatri tanpa mempedulikan Candaka yang memasang wajah cemberut.