Bab 4 Jurus Tapak Naga
Isyana langsung sungkem menyalami Ki Wicaksono sementara Candaka hanya membungkuk hormat.
“Kek, ini ada teman Yana mau ketemu kakek katanya ada perlu,” kata Isyana kalem.
“Maaf kek, saya Candaka yang kemarin mau tanya ke kakek,” sambung Candaka sopan.
“Kamu yang kakek dengar kemarin mau mencari pamanmu Syailendra ya?” tanya Wicaksono lagi.
“Benar Kek …!” jawab Candaka.
“Sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan orang yang bernama Syailendra ini? Setahu kakek dia tidak punya keponakan … Kalau boleh tahu nama ibu kamu siapa cu?” tanya Ki Wicaksono.
“Nama ibu saya Sri Ningsih kek,” jawab Candaka.
Wicaksono terkejut bukan kepalang mendengar Candaka menyebut nama anak perempuannya yang lenyap ditelan Kabut Hitam.
“Tidaaak ... Tidak Mungkin ... Mana Mungkin Ningsih masih hidup setelah ditelan Kabut Hitam belasan tahun yang lalu," gerutu Wicaksono.
“Kek .. Kakek kenapa?” tanya Isyana pelan.
“Tidak apa-apa Yana,” Wicaksono berusaha tenang.
“Di mana ibumu sekarang?” selidik Wicaksono.
Dia tidak percaya kalau pemuda di depannya adalah cucunya karena menurutnya tidak ada yang bisa selamat dari terjangan Kabut Hitam desa ini.
“Maaf, ibuku sudah meninggal kek … tapi sebelum meninggal, ibu pesan kalau aku ada paman di Desa Kabut Hitam bernama Syailendra yang bisa menjelaskan mimpi-mimpi saya kek,” lanjut Candaka.
Wicaksono merasa heran. Jika benar Ningsih masih hidup, kenapa dia tidak menyuruh anaknya ini menemui dirinya, kenapa harus menemui anak laki-lakinya yang hilang juga entah dimana.
“Apa isi mimpi kamu kalau kakek boleh tahu, mungkin kakek bisa bantu,” tanya Wicaksono penasaran
“Di mimpi aku ini kek, aku seorang Pendekar yang gagah dan tampan yang dalam mimpi saya orang-orang menyebutku Pendekar Naga … Bagiku itu tidak mungkin kan kek karena aku hanya orang yang biasa-biasa saja,” sahut Candaka sambil mengerinyitkan dahinya.
Wicaksono berpikir keras. Benarkah cucunya ini Pendekar Naga atau ini hanya kebohongan dari pemuda dekil di hadapannya. Banyak yang ingin dia tanyakan tapi yang paling utama adalah dia ingin memastikan apakah benar Candaka ini Anak Naga yang ditakdirkan menguasai tahta kerajaan ….
“Boleh kakek tahu, kamu punya tanda lahir tidak?” tanyanya memastikan.
“Ada kek, ini di tangan kanan aku,” jawab Candaka sambil menunjukkan tanda lahir warna biru di lengan kanannya yang tadi tertutup bajunya.
“Jelek kek kayak model ujung tombak yang tajam, warnanya biru lagi,” jawab Candaka santai.
Wicaksono terperangah dan sangat terkejut mendengar adanya tanda lahir biru yang ada di lengan Candaka. Walaupun dia masih belum yakin kalau pemuda dekil ini adalah cucunya tapi dia yakin sekali kalau Candaka merupakan keturunan Naga dengan melihat dengan mata batin bentuk tanda lahirnya.
“Kakek tidak bisa memastikan kalau benar tanda lahirmu warna biru karena kakek ini buta, hanya bisa melihat lewat mata batin yang serba hitam putih! Tapi yang kakek lihat itu ujung ekor naga,” lanjutnya setelah bisa berkata-kata lagi.
“Tanda lahir biru itu menunjukkan Naga terkuat yang pernah ada! Pendekar Naga dengan tanda biru bisa mempelajari keseluruhan Kitab Naga tanpa terluka sedikitpun dan ditakdirkan menjadi pembela kebenaran dan memerintah Kerajaan dengan bijaksana,” jelas Ki Wicaksono.
“Apa sih kakek ini, tidak mungkin kek aku Pendekar Naga! Aku saja tidak bisa Silat sama sekali, mana bisa aku disebut Pendekar,” sahut Candaka santai.
“Nih kamu lihat tanda lahir kakek,” Ki Wicaksono menunjukkan tanda lahirnya yang berwarna putih yang terletak di tengkuknya. Bentunya juga menyerupai ekor naga.
“Wow, berarti kakek juga Pendekar Naga donk!” teriak Candaka.
“Sssssttt … jangan teriak-teriak! Tidak ada yang boleh tahu ya kalau kakek dan kamu keturunan Naga,” bisik Ki Wicaksono yang mulai bersikap aneh.
“Kenapa tidak boleh kek?” tanya Candaka lagi.
“Nanti kakek jelaskan kenapa tidak boleh ada yang tahu identitas Naga kamu juga,” jawab Ki Wicaksono seadanya.
“Hari mulai malam, lebih baik kalian menginap di sini daripada ketemu Kabut Hitam di perjalanan pulang,” ajak Ki Wicaksono lagi.
Candaka tidak bertanya lagi karena tahu itu akan membuat Ki Wicaksono kesal dan marah. Dia mengikuti saja Ki Wicaksono masuk ke dalam rumah. Di dalam sudah terhidang makanan enak yang dimasak Gayatri. Mereka pun becanda dan bersenda gurau dan untuk sejenak melupakan masalah Pendekar Naga.
*****
Candaka tiba pagi-pagi sekali di Perguruan Tapak Naga. Tampak Bram sudah siap dengan pelatihan pertama yang akan diajarkannya ke Candaka.
Jurus Tapak Naga sangat terkenal di seluruh Desa Kabut Hitam bahkan sampai ke desa-desa sekitarnya. Walaupun jurus ini bukan bagian dari Jurus 9 Kitab Sakti Naga tapi keampuhan jurus ini membuat Perguruan Tapak Naga sangat disegani semua pihak baik dari orang kaya, pejabat, rakyat jelata, bahkan kumpulan bandit-bandit tidak berani mengusik perguruan ini terutama keluarga Isyana yang mendirikan perguruan ini puluhan tahun yang lalu. Itu juga kenapa bandit-bandit yang mengganggu Candaka sebelumnya sangat takut terhadap Isyana.
Jurus Tapak Naga hanya terdiri dari 8 Jurus tapi sangat efektif baik untuk pertarungan jarak dekat maupun jarak jauh. Untuk Candaka hanya akan diajarkan 2 jurus saja yaitu Jurus Cengkraman Naga untuk menyerang dan Perisai Naga untuk bertahan.
Jurus Cengkraman Naga memiliki 18 gerakan menyerang dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan posisi tangan mencengkram seperti Naga yang hendak menyerang. Bram memberi contoh dengan melawan salah satu muridnya untuk dihafal gerakannya. Candaka mempelajari gerakan demi gerakan dengan sungguh-sungguh
Wasss … Wesss … Wosss …!
Tanpa henti Bram menyerang murid seniornya tapi hanya dengan Jurus Perisai Naga, semua serangan dapat ditahan karena Perisai Naga yang memiliki 24 Gerakan mampu melindungi keseluruhan tubuh.
Candaka terus memperhatikan, tapi lama kelamaan gerakan keduanya makin cepat sehingga dia kewalahan untuk menghafal setiap gerakan yang ada.
“Jangan khawatir, nanti aku ajari kalau ada Jurus yang kamu lupa,” tiba-tiba Isyana sudah berada di sampingnya melihat kakaknya bertarung memperagakan jurus warisan keluarganya.
“Ada baiknya kamu melatih pernafasan dalam dahulu agar ada kekuatan dalam jurus ini,” lanjut Isyana lagi.
Saat Candaka berpaling melihat ke arah Isyana, dia terkejut bukan kepalang karena yang dilihatnya bukan gadis galak dan tomboi yang sering memarahinya melainkan gadis anggun yang sangat cantik dengan gaun merahnya
“Wow, kamu bisa jadi cewek juga ya,” canda Candaka.
Tanpa dia sadari kalau candaannya malahan membuat kupingnya dijewer sama Isyana. “Memangnya aku sebelumnya bukan cewek … Hah!!!”
“Iya ... Iyaaa ... Maafkan aku Tuan Putri!” teriak Candaka kesakitan.
“Hey … kalian berdua serius tidak sih mau belajar Jurus, kalau tidak pergi sana!!!” teriak Bram penuh kekesalan.
“Maaf Kak Bram …!” ujar Candaka.
Walaupun berpenampilan dekil dan kumal tapi daya ingat Candaka luar biasa. Hanya dengan melihat sekali saja dia sudah hafal keseluruhan jurus yang diajarkan. Menuruti saran Isyana, dia mulai belajar mengatur pernafasan agar Jurusnya memiliki tenaga.
Bram melihat Candaka dengan takjub karena 2 Jurus ini biasanya baru bisa dikuasai dalam 3 bulan tapi bagi Candaka hanya perlu satu hari untuk menguasai 2 Jurus pertama Tapak Naga ini. Bukan hanya Bram, Candaka sendiripun merasa heran dengan kemampuannya sendiri dapat dengan mudah mempelajari keseluruhan Jurus Tapak Naga ini.
Pookk Poookk Pookkk ...!
Bram bertepuk tangan sangat kencang begitu Candaka menyelesaikan latihan keseluruhan jurus yang diajarkan. “Hebat ... Saudara Candaka!” sahut Bram dengan rasa kagum.
“Terima Kasih ajarannya Kak Bram,” kata Candaka sambil mengepalkan kedua tangannya yang merupakan tanda terima kasih.
“Selamat ya Tuan Pendekar,” celetuk Isyana.
“Terima Kasih Tuan Putri yang baik hati,” sambung Candaka.
Kali ini keduanya sama-sama tertawa gembira sambil bersenda gurau. Tanpa mereka sadari mulai tumbuh benih-benih asrama di antara keduanya. Isyana menyukai Candaka karena pemuda ini apa adanya dan sedikit lugu sedangkan Candaka menyukai Isyana karena kebaikan hatinya dan terutama sangat cantik.
Tanpa terasa hari sudah menjelang malam. Kegiatan di desa yang tadinya ramai mulai sepi sehingga Candaka bergegas pulang ke penginapan sebelum Kabut Hitam mendatangi desa ini lagi.
Sesampainya di penginapan, Candaka langsung tertidur lelap begitu badannya menghempas ke tempat tidur.