Bab 2 Api Kemarahan

Sepasang manik hitam melihat dengan jelas interaksi yang tak biasa antara dosen dan mahasiswinya itu. “Kamu ngapain di sini, Arnold?” kemunculan Diani yang tiba-tiba membuat Arnold terkejut dan spontan menunjuk ke arah Rio serta mahasiswi yang sedang bersamanya. “Itu…” Diani tampak berpikir sejenak. “Rio!” sahut Arnold mengembuskan kasar napasnya. Jadi benar itu Rio! Brengsek! batin Diani menahan kesal. “Aku samperin aja, ah-” “Eh…eh, mau ke mana?” Diani spontan menarik tangan Arnold dan menahannya. Dosen narsis itu memang telah lama menyimpan rasa pada dosen primadona tempatnya mengajar, sehingga tak heran jika wajah Arnold seketika sumringah. “Diani, kamu…” “Jangan salah paham! Aku cuma nggak mau kamu bertindak konyol dan gegabah!” ujarnya dingin dan ketus. “Duh, iya…iya. Lagian aku cuma bercyandaaa…” kekehnya. “Nggak lucu!” Diani mendelikkan matanya ke arah Arnold, membuat laki-laki itu agak bergidik ngeri. “Jangan pelototi aku kaya gitu, ah! Serem tau! Kebanyakan nonton horor nih!” protesnya. “Tau aja kemaren habis nonton SIKSA NERAKA!” ucap Diani mempertegas kata-kanya dan putar balik badan. “Mau ke mana?” tanya Arnold. “Kamar mandi, mau ikut?” senyum Diani namun senyuman itu membuat Arnold takut. “Enggak, aku di sini aja sambil liat Rio dan…” matanya kembali melihat ke arah Rio dan mahasiswinya yang masih asik bersih-bersih. Tak ada kata-kata yang terlontar dari mulut Diani. Manik wanita paras cantik itu melirik tajam, dingin, dan angkuh. “Kabari aku jika terjadi sesuatu pada mereka!” ucapnya kemudian meninggalkan Arnold. “Terjadi sesuatu apa? Maksudnya apa? Diani…Diani!” panggil Arnold memelankan suaranya agar tak ketahuan Rio. “Hadehhhhh, udah ilang aja. Cepet amat, sih jalannya kalo cewek udah kebelet,” ucapnya. Rio dan mahasiswinya tak lagi ada di tempat. Arnold terus mengedarkan pandangannya, namun yang sedang dilihatnya sudah tak ada lagi. Penasaran, ia menghubungi Rio. “Di mana?” [Ruangan] “Lho, kok cepet?” Rio mengernyit sembari memasang ekspresi bingung ucapan Arnold. [Cepet apanya?] “Oh, eng-enggak-enggak.” Arnold segera menutup ponselnya, sementara Rio masih membersihkan kemeja putih kesayangannya yang terkena insiden jus alpukat di kantin tadi. “Enak ya kayaknya jus alpukatnya?” ucap Diani sambil berjalan di depan Rio. “Enak dari mana, ini gara-gara ada mahasiswi yang nggak liat jalan, ketumpahan jadinya.” Ucap Rio masih sibuk membersihkan. “Oh, ketumpahan…” ucap Diani melirik sembari menyeringai. “Sebentar, kenapa nada bicaramu seolah menyiratkan sesuatu, ya?” Rio menghentikan kegiatannya dan melihat Diani yang telah duduk di tempat kerjanya. “Emang ada yang aneh sama nada bicaraku? Kayaknya nggak deh,” kilahnya. “Entahlah, mungkin hanya perasaanku.” Rio mengedikkan bahunya dan kembali membersihkan kemejanya. Benar-benar pria nggak peka! BRAK! “Astaghfirullah….!” ucap beberapa dosen yang ada di ruangan. “Maaf, nggak sengaja.” Ucap Diani mengambil tiga buah buku tebal miliknya yang sengaja dijatuhkan. “Kamu kenapa, sih?” Rio mulai jengah dengan sikap Diani. “Nggak apa-apa!” sahutnya. “Hmm, ternyata udah di sini, ya.” Arnold datang dan langsung menghampiri meja Rio. Mau apa lagi dosen toge ini! batin Rio memasang senyum terpaksa. “Aku cariin juga dia di sini,” ujar Arnold. “Nyari aku? Emang ada apa?” Arnold sekilas melirik Diani, namun ia sibuk memeriksa ponselnya. Rio dengan jelas melihat ekor mata Arnold mengarah ke wanita yang dekat dengannya itu. Ada apa sih di antara mereka berdua? Bikin penasaran aja! batin Rio mulai berpikir aneh-aneh. “Pak Arnold, anterin saya ke kantin yuk “ ucap Diani berdiri dan membawa dompet kesayangannya. “Ke mana?” tanya Arnold agak terkejut. “Kantin, saya mau beli JUS ALPUKAT, kayaknya enak deh siang-siang gini minum yang seger-seger, apalagi ditemani sama yang seger-seger juga.” Rio semakin tak mengerti ucapan Diani, sedang Arnold tertawa bahagia dalam hatinya mengira dialah yang dimaksud “yang seger” oleh Diani. “Cieeee, udah jadian aja kalian, Pak Arnold…Bu Diani, orang belum ada pasangan ini, kan?” celetuk salah satu rekan mengajar mereka. “Doakan aja, Pak,” balas Arnold yang terlihat sumringah. Tapi tak begitu dengan Rio. Ia melihat tajam Diani namun wanita ini malah sengaja membuang muka dan pergi dengan Arnold. Sebenarnya Diani kenapa, ya? Kok aku merasa dia agak aneh hari ini. *** Zivanna baru saja tiba di kantor Hannah Construction and Art, salah satu perusahaan konstruksi yang kini diserahkan padanya. Perusahaan ini boleh dikatakan sebagai perusahaan startup yang baru saja memulai, tapi Ziva telah berani ambil resiko dengan memenangkan tender pembangunan sebuah museum yang bekerjasama dengan perusahaan konstruksi asal Rusia. Namun, meski ia telah menunjukkan potensinya sebagai arsitek, sang papa tetap tak memandangnya sebagai anak yang bisa dibanggakan, begitu pula suaminya yang selalu menganggap pekerjaannya hanya menggambar dan duduk santai. “Hah, kepalaku benar-benar butuh peredam! Rasanya seakan memikul dunia!” keluhnya memijat pelipisnya. “Bos, ini kopinya.” Angel, salah satu pegawai sekaligus asisten Ziva membawakan Black Arabica ke ruangannya. “Letakkan saja di sana, Angel. Kepalaku rasanya mau pecah!” tukas Ziva terus memijat. “Tuan Hugo baru saja mengirim email dan menanyakan rancangan yang telah kita janjikan, Bos.” “Hmm, sedang kukerjakan. Nanti akan ku email beliau. Makasih, ya.” Senyum Angel menyeruput kopi pahit Arabica-nya. “Sama-sama, Bos. Dan satu lagi, Bos.” “Apa?” “Kapan kita akan ke Rusia?” “Kenapa memangnya?” “Soalnya, saya udah nggak sabar mau ketemu pria-pria tampan di sana, Bos,” kekeh Angel. “Kerja dulu yang benar! Baru kuajak kamu ke sana!” tegas Ziva disertai senyum. Tak lama setelah asistennya keluar, Ziva mulai berkutat kembali dengan dunianya. Dunia yang telah membantunya selama ini, meski tak pernah dihargai oleh keluarga dan suaminya. “Oke! Ziva, yakin kamu bisa!” ujarnya menyemangati dirinya sendiri. Saat hendak menggambar, entah mengapa pikirannya tiba-tiba tertuju pada sikap Rio pagi ini. Tak seperti biasanya ia cepat-cepat menutup telponnya, mungkinkah ia sedang ada rapat atau sedang ada kelas? “Ah, sudahlah! Aku percaya mas Rio tak akan melakukan hal-hal gila di belakangku!” *** Rio sama sekali tak dapat berkonsentrasi terhadap pekerjaannya hari ini. Pikirannya selalu teringat pada sikap Diani yang sangat dingin dan cuek. Berkali-kali melakukan kesalahan dalam memberikan penjelasan membuatnya harus menyelesaikan jam mata kuliahnya dengan cepat. Saat akan keluar kelas, ia tak sengaja bertemu dengan Anastasia, mahasiswi yang menumpahkan jus alpukat di kemejanya. Ia melihat gadis manis itu saat berjalan menuju ruangan dosen. Tawa riang serta lesung pipi sebelah kiri juga gingsul sebelah kanan menambah manis wajahnya. “Astaga, Rio!!!! Kamu lagi mikir apa, sih! Ingat, dia itu mahasiswi kamu! Jangan mikir yang aneh-aneh!” ucapnya pada dirinya sendiri sambil geleng-geleng. Tak berapa lama, Diani keluar ruangan dosen hendak mengajar, keduanya berpapasan tak jauh dari ambang pintu. Diani yang masih memasang muka jutek berlalu tanpa senyum atau melambaikan tangan pada Rio. Merasa semakin aneh, Rio langsung menarik tangan Diani, menyeretnya ke tempat yang agak jauh dari ruangan dosen. “Apa, sih Rio! Lepasin!” rengek Diani tapi tak diindahkan Rio. “Kubilang lepas-” “Ngomong!” potong Rio tiba-tiba memojokkan tubuh Diani ke dinding sebuah ruangan yang tak terpakai. “Ngomong apa maksud kamu?” balas Diani tak kalah ketus. “Kamu tuh aneh banget hari ini! Kenapa…ada apa? Ngomong!” Diani terdiam dan memalingkan muka. “Diani-” “Bagaimana rasanya jus alpukat yang tumpah di bajumu? Enak? Manis? Seger? Apalagi seorang mahasiswi cantik, manis, muda mau susah payah membersihkannya!” Diani mendelikkan matanya “Apa? Maksudnya?” Rio mengernyitkan keningnya. “Halah, nggak usah pura-pura bodoh! Aku tahu semuanya Rio! Kamu emang brengsek! Bisa-bisanya kamu nglakuin itu di kampus dan di depan mataku!” “N-nglakuin? Nglakuin apa sih maksud kamu?” tambah bingung Rio. “Untuk apa mahasiswi itu nempel-nempel ke kamu, hah! Bersihin tumpahan jus?” “Iya! Udah kubilang kan kemejaku kena tumpahan jus, kalau nggak percaya lihat aja dan cium!” Rio menunjukkan bagian kemejanya yang terkena tumpahan jus alpukat. Diani hanya melihat dan tak bereaksi apapun. “Ngapain kamu tunjukkan ke aku! Tuh Arnold seharusnya kamu kasih tahu juga!” tegas Diani. “Arnold? Apa hubungannya sama Arnold?” “Karena dia yang lihat kamu pertama kali dengan mahasiswi itu, paham! Sekarang minggir! Aku mau ngajar!” Diani mendorong keras tubuh Rio hingga mundur beberapa langkah. “Di-” “Aku kecewa sama kamu, Rio!” ucap Diani berlalu dari hadapan suami Ziva ini. “Ah, sial…sial…sial!” Rio menghantam dinding di depannya dengan bogeman kencang, membuat tulang-tulang jemarinya memerah dan lebam. “Arnold! Laki-laki toge itu benar-benar minta diberi pelajaran!” Rio segera kembali ke ruang dosen dan tak disangka bertemu dengan Anastasia di depan gedung fakultasnya. “Kamu, ngapain kamu ke sini?” “S-selamat siang, Pak,” Anastasia takut-takut menyapa Rio. “Siang, ada perlu apalagi?” tanya Rio dingin dan angkuh. “I-ini, Pak.” “Apa ini?” Anastasia memberikan sebuah bingkisan yang dibungkus menyerupai kado. “Ini….” Rio melihat Anastasia penuh kebingungan. “J-jangan salah paham dulu, Pak. Ini kemeja sebagai ganti dari insiden tadi, Pak,” jelas Anastasia. Hah? Gadis ini sampai membelikan aku baju ganti? Edan!!! “Buat apa? Nggak perlu, makasih. Nanti kalau istri saya tahu bisa berabe urusannya.” “Bapak kan tinggal jelasin aja kalau tadi kemeja Bapak ketumpahan jus alpukat dan memang benar kan, Pak?” polos Anastasia. Rio terdiam. Dia melihat bingkisan yang masih dipegang Anastasia. “Kamu tahu kan peraturan di kampus ini DILARANG MENERIMA SUMBANGAN DALAM BENTUK APAPUN, sekarang kamu malah terang-terangan kasih saya barang.” “Tapi, Pak…” “Udah…udah, saya nggak mau terima pemberian kamu. Yang sudah lewat dan terjadi, yaudah. Toh waktu nggak akan berputar kembali. Lain kali hati-hati, ok. Masih ada yang lain?” panjang lebar Rio menjelaskan. “Enggak, Pak,” lirih Anastasia. “Kalau nggak ada keperluan lain lagi, saya mau balik ke ruangan dosen. Masih ada jam kuliah kamu?” tanya Rio memperhatikan sekeliling mereka, takut-takut ada yang melihat seperti tadi. “Enggak, Pak. Sudah selesai.” “Kalau begitu, cepat pulang.” Rio berlalu dari hadapan Anastasia. Gadis ini terus melihat punggung Rio yang lebar dan gagah. “Kayaknya enak kali ya bersandar di punggung kaya Pak Rio,” gumamnya. “Hufftt!!! Ada-ada aja sih hari ini kejadiannya! Lelah banget aku.” Rio membuka dua kancing di bawah kerahnya. Waktu menunjukkan pukul 16.00 sore, matahari pun masih menyibakkan teriknya. “Ziva pulang jam berapa ya?” Gumamnya memeriksa ponsel hitam keluaran terbaru. Kedua mata hitam kecoklatan dan jemari panjang miliknya saling kerjasama men-scroll daftar panggilan masuk yang jumlahnya banyak. “Ckckck, banyak amat itu panggilan masuk.” Ah, sial! Dosen toge ini lagi! batinnya mengumpat Arnold yang datang dari belakang. “Hai,” sapanya singkat. “Kayaknya lagi sibuk banget, sih. Mo telepon Ziva?” tanya Arnold sambil melirik. “Iya, mau tanya dia dijemput jam berapa nanti.” Jelas Rio kembali terfokus pada gawainya. “Uhhh, so sweeeettttt…” ucap Arnold dengan gaya alay-nya. “Yah, begitulah. Kami tetap menjaga keharmonisan rumah tangga dengan cara seperti ini,” jelasnya. “Ohhh, begitu.” Sahut Arnold diikuti siulan seolah menyiratkan sesuatu. “Kamu kenapa Nold? Kok, kayaknya lagi nyindir gitu?” “Nyindir? Nyindir gimana? Orang siul masa dibilang nyindir, aneh kamu Rio.” Rio menghentikan langkahnya sebentar dan melihat rekan mengajarnya itu dengan penuh curiga. “Arnold, tunggu sebentar,” panggilnya. “Hmm, ada apa?” “Boleh tanya sesuatu?” telisik Rio. “Ya boleh dong. Mau tanya apa?” “Kamu dan Diani…kalian…hubungan kalian…” Rio tampak bingung dengan kalimat pertanyaanya sendiri. “Nanya apa sih kamu? Nggak jelas!” protes Arnold. “Kamu dan Diani makin dekat ya?” “Memang kami dekat, kan?” balas Arnold. “Bukan kedekatan biasa yang kumaksud. Tapi…” Arnold tersenyum kecil. “Kenapa? Kamu cemburu atau jangan-jangan kalian…” “EH, eng-enggak-enggaklah! Mana mungkin aku suka apalagi jatuh cinta sama Diani! Istriku lebih cantik, lebih pintar, dan lebih baik dari siapapun!” elak spontan Rio mengibaskan tangan kanannya. Arnold hanya memasang senyum di wajahnya. Sebuah senyuman yang bahkan membuat Rio semakin was-was dengan rekan mengajarnya ini. Jangan sampai Arnold mengendus hubunganku dengan Diani! “Yaudah, kalau gitu aku duluan ya.” Arnold melambaikan tangannya. “Udah mau pulang? Tumben cepet, biasanya ngopi dulu.” “Enggak ah, lagi ada urusan,” sahutnya. “Hm, oke.” Setelah Arnold hilang dari pandangan Rio, ia bisa bernapas lega karena tak akan ada yang menginterogasinya seperti penjahat. Maniknya berlanjut melihat ponselnya, dan kali ini langkahnya terhenti saat suara wanita memanggil namanya dengan kencang. “RIO!” Suami Ziva ini menengok ke belakang dan ternyata Diani telah berdiri di sana. “Diani?” Dengan langkah tegap, cepat, serta ekspresi kemarahan di wajahnya, Diani memukul dada Rio kencang. “Ouch! K-kenapa kamu mukul aku tiba-tiba, sih!” protes Rio mengelus dadanya. “Ternyata mulutmu jahat! Itukah yang kau pikirkan selama ini tentang aku?” “Maksudmu apa, sih? Heran aku, hari ini kamu sangat aneh!” Rio sedikit marah dan hendak berlalu dari hadapan Diani. “Betulkah yang kau katakan pada Arnold barusan?” pancing Diani. Gawat! Jadi Diani dengar semuanya? “Emang aku bilang apa ke Arnold?” elak Rio. “Kau tahu apa maksudku, Rio. Jangan pura-pura bodoh dan naif! Kau membandingkan aku dengan istrimu, Zivanna Yahya, si anak manja itu!” Diani mulai menaikkan volume suaranya. “Ssstt! Pelan-pelan bisa nggak, sih!” Rio menarik tangan Diani dan membawanya ke tempat yang agak sepi. “Mana mungkin aku mengatakan yang sebenarnya! Kamu mau semua orang di kampus ini tahu tentang hubungan kita dan akhirnya berimbas pada karier yang telah kita bangun susah payah,” jelas Rio. “Itu kan menurutmu!” sahut Diani santai “Apa maksudmu?” “Jangan bandingkan aku denganmu, Rio! Kau perlu susah payah masuk ke sini, sedang aku…kau lupa siapa aku dan latar belakang keluargaku?” seringai angkuh dan dingin terpancar jelas di wajah dan bibir Diani. Sial! Diani benar-benar keterlaluan! “Dengar ya, Tuan Rio Wibisono. Jangan lupa atas jasa siapa kamu bisa masuk dan mengajar di kampus elite ini, menikmati semua fasilitas yang ada, bahkan sampai mobil pun…”Diani menjeda kalimatnya. “Jika kau berani mempermainkanku, menusukku dari belakang, dan MEMBANDINGKAN aku dengan istri manjamu…kupastikan surat pemecatanmu secara TIDAK TERHORMAT akan berada di mejamu.”
Pengaturan
Latar belakang
Ukuran huruf
-18
Buka otomatis bab selanjutnya
Isi
Bab 1 Kebohongan Bersampul Pernikahan Bab 2 Api Kemarahan Bab 3 Ponsel Tak Aktif Bab 4 Pikiran Negatif Bab 5 Overthinking Bab 6 Campur Tangan Pihak Ketiga Bab 7 Teguran Keras Ayah Mertua Bab 8 Gregory Abel, Serigala Tanah Lenin Bab 9 Bibir Merah di Kerah Baju Suamiku Bab 10 Undangan ke Rusia appBab 11 Pergi Tanpa Izin Suami appBab 12 Pesan Terakhir appBab 13 Sebuah Awal yang Baru appBab 14 Di Bawah Langit Moskow appBab 15 Saingan Baru appBab 16 Underestimated appBab 17 Tempat Istimewa appBab 18 Tak Sesuai Harapan appBab 19 Ajakan Tak Terduga appBab 20 Pertama Kali Melihatmu appBab 21 Kembalilah Pada Suamimu appBab 22 Jangan Bermain Api Denganku appBab 23 Kenangan Lama Bangkit Kembali appBab 24 Rencana Gila Gregory Abel appBab 25 Mulai Curiga appBab 26 Permintaan Tak Terduga appBab 27 Mencari Tahu appBab 28 Stalking appBab 29 Sebuah Usaha Keras appBab 30 Sindiran Halus appBab 31 Tetangga Baru Meresahkan appBab 32 Sebuah Keputusan appBab 33 Buta Karena Cinta appBab 34 Shock Therapy appBab 35 Mendadak Dijemput appBab 36 Tangan Kanan CEO appBab 37 Gugup appBab 38 Bertemu Ibu dan Mantan Tunangan appBab 39 Kesalahan Fatal Abel appBab 40 Bermuka Dua appBab 41 Berita Menggemparkan appBab 42 Hati yang Telah Mati appBab 43 Kita Bulan Orang Suci appBab 44 Rencana Madam untuk Darya appBab 45 Bangkitlah, Zivanna appBab 46 Izinkan Aku Menemuimu appBab 47 Hal Tak Terduga appBab 48 Ternyata Papa Peduli Padaku appBab 49 Permintaan Maaf Klise appBab 50 Akhirnya Aku Menemukanmu appBab 51 Rahasiamu Terbongkar appBab 52 Aku Mencintai Zivanna appBab 53 Nekat appBab 54 Permainan Dimulai appBab 55 Sebuah Tantangan appBab 56 Bercak Darah di Seprai appBab 57 Apa Kau Tega, Zivanna? appBab 58 Cinta Bertepuk Sebelah Tangan appBab 59 Cari Perhatian Berujung Kemarahan appBab 60 Seatap dengan CEO dan Zivanna appBab 61 Kau Milikku, Abel! appBab 62 Ide Licik Zevannya appBab 63 Kemarahan Abel pada Zivanna appBab 64 Gaun Pembawa Kenangan Buruk appBab 65 Sangkalan Hati appBab 66 Kau Pasanganku appBab 67 Kedatangan Suami dan Papa appBab 68 Akhir Cinta Zivanna (Tamat) app
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
UNION READ LIMITED
Room 1607, Tower 3, Phase 1 Enterprise Square 9 Sheung Yuet Road Kowloon Bay Hong Kong
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta