Bab 3 Ponsel Tak Aktif
Pertengkaran kecil Rio dan Diani sempat membuat beberapa mahasiswa serta beberapa dosen yang sedang lalu-lalang di tempat itu melihat ke arah keduanya.
“Jangan mengancamku, Diani. Aku orang yang pantang untuk melupakan jasa orang lain, begitu pula dengan jasamu! Pasti akan kulunasi!” tegas Rio.
Diani terdiam. Seumur-umur baru kali ini ia mendapat bentakan dari orang lain karena ia tak pernah mendapat suara-suara keras di keluarganya.
“Kenapa? Ada apa lagi?” sahut Rio dingin.
“Maafin aku, Rio. Aku cuma cemburu dan nggak mau kamu jadi jatuh cinta sama mahasiswi itu,” lirih Diani.
“Astagaaaaaaa, Diani…kamu mikir apa, sih! Hei, Sayang…Sayang, lihat aku.” Rio memegang dagu lancip milik wanita idaman lain itu. “Kenapa kamu bisa mikir sampai sejauh itu, sih? Kita udah berhubungan selama 4 tahun bukan? Tapi kamu masih nggak percaya sama aku?” tanya Arnold agak kecewa pada Diani.
“Bukan itu maksudku, Rio. Apa aku salah menjaga yang harusnya milikku. Dijaga aja diambil orang, apalagi nggak dijaga,” ucapan Diani seolah sedang menyindir dirinya dengan Ziva.
“Itu…aku nggak bisa mengatur sesuai keinginanku, Diani. Jika bukan karena ayahku yang memiliki hutang banyak dengan keluarga Yahya, mungkin kita sudah menikah dan hidup bahagia,” ujar Rio.
Diani merasa bersalah karena telah membuka aib Rio yang bahkan dia sendiri tak mau mengungkit, mengingat, atau mengatakannya.
“Rio….” Diani memegang tangan Rio. “Aku akn tetap di sisimu, sampai kapan pun karena aku yang lebih tahu dan mengenalmu daripada Ziva!” tegas Diani.
“Aku tahu, Sayang. Karena itu kuminta tolong padamkan dan hilangkan segala pikiran jelek, ya.” Rio membelai lembut rambut Diani dan keduanya lupa jika mereka masih ada di lingkungan formal.
“Sore, Pak…Bu….” ucap beberapa mahasiswa yang tiba-tiba lewat di depan mereka.
Sontak, Rio dan Diani segera merenggangkan tubuh mereka dan pura-pura membuka ponsel masing-masing.
“Ya, selamat sore,” balas keduanya.
Setelah para mahasiswa itu pergi, Rio dan Diani melempar pandangan kemudian tertawa kecil melihat kekonyolan dan kebodohan yang mereka buat.
“Apa kau ingat kita juga pernah dalam situasi seperti ini, Diani?” Rio mengayunkan tangannya ke arah Diani.
“Bagaimana mungkin aku bisa lupa. Saat itulah kau menyatakan perasaanmu padaku, setelah sekian purnama kau bilang memendam rasa padaku,” balas Diani puas menertawakan kekonyolannya.
“Yahhh, sayangnya kita tak bisa bersatu. Andai saja waktu itu ayahku tak memiliki hutang menumpuk pada keluarga Yahya, kita sekarang bahagia, Sayang.” Lirih Rio tertunduk mengatakannya.
“Sudahlah, Rio. Apa yang terjadi biarlah terjadi, meski aku sangat kesal dengan sikapmu waktu itu, tapi setelah kupikir-pikir ada baiknya kau menikah dengan perempuan manja itu,” jelas Diani.
“Bersyukur? Kau bersyukur aku menikah dengan Zivanna? Kenapa? Apa kau tak mencintaiku lagi?” Rio terkejut dengan ucapan Diani.
“Setidaknya kita akan membuat sejarah baru dalam rumah tanggamu, Rio.” Senyum Diani mengembang.
“Aku tak mengerti maksudmu, Diani. Beri aku penjelasan,” lanjut Rio.
“Biar waktu yang menjawab, Rio. Kali ini aku tak akan menyerahkanmu pada wanita manapun! Karena aku tak ingin menjaga jodoh orang!” Diani berlalu dari hadapan Rio.
“Diani, tunggu aku…” saat Rio hendak mengikuti Diani kembali ke ruang dosen, ponsel miliknya berdering dan terlihat nama Ziva sweety terpampang jelas di layar gawainya.
Duh, Ziva lagi. Ngapain ya dia telpon. Batin Rio melihat Diani tak ada di depan matanya.
Diani…..
Rio tak memedulikan telepon Ziva dan mempercepat langkahnya menghampiri Diani.
***
“Duh, ke mana sih mas Rio? Kok teleponku nggak diangkat, padahal aktif.” Ziva terus mencoba menghubungi Rio, namun tak jua diangkat malah ponselnya kini tak aktif. “Kenapa sekarang malah nggak aktif?” pikiran istri Rio ini mulai ke mana-mana, desain bangunan untuk proyek pertamanya menjadi tak karuan dan sudah banyak kertas yang Ziva buang.
“Apa kuhampiri aja ya mas Rio?” pikir Ziva mengambil tasnya dan gegas menuju kampus suami.
“Angel, jika tuan Hugo mengirim email, minta dia telepon ke nomorku, ya.” Ucap Ziva menuruni anak tangga yang jumlahnya tak banyak.
“Siap, Bos. Udah mau pulang?” tanya Angel melihat ke arah Ziva.
“Iya, tapi aku mau ke kampus suami dulu,” jelas Ziva.
“Loh, kenapa nggak minta jemput ke sini aja Bos?” tanya Angel.
“Ponselnya mati. Ga apa-apa, takutnya keselip di jalan. Jangan lupa ya pesan saya tadi Angel.”
“Siap, Bos!” Angel memberi hormat pada Ziva sambil tersenyum.
Tak lama, taksi online yang dipesan Ziva tiba di depan kantornya. Waktu telah menunjukkan hampir senja, matahari jingga mulai menebar ufuk dan melebarkan sayap gelap berganti bulan. Jalanan ibukota mulai menampakkan wajah-wajah kelelahan dan kemacetan luar biasa. Ziva terus memperhatikan arloji di tangan kirinya.
Ayolah, kenapa macet sih!
Rasa tak tenang menggelayuti pikiran Ziva.
“Pak, nggak bisa lewat jalan tikus?” tanya Ziva pada supir taksi online.
“Mbak liat aja, merah Mbak.” Supir taksi online tersebut memperlihatkan ponsel yang melekat di dashboard mobilnya.
“Tolonglah, Pak. Keadaan saya emergency, suami saya nggak bisa dihubungi. Tadi bisa sekarang nggak bisa,” jelas Ziva begitu khawatirnya pada Rio.
“Baik, Mbak. Saya coba cari jalan lain, ya. Universitas Satu Unggul, kan?” tanya sang supir online.
“Iya, Pak.”
Akhirnya, mobil yang ditumpangi Ziva mencari jalan yang tidak terlalu macet meski harus memutar cukup jauh dan menambah rasa cemas Ziva.
Duh, Mas… kamu ke mana, sih…
***
Sementara Ziva sedang panik, cemas, khawatir karena ponsel Rio mati, sang suami malah asyik makan dan minum dengan Diani dan beberapa dosen di kampusnya mengajar. Mereka saling bagi tawa, canda, penuh kebahagiaan. Sesekali tatapan Diani dan Rio bertemu dan menunjukkan perhatian satu sama lain.
“Ngomong-ngomong pak Arnold ke mana? Kok tumben nggak keliatan?” tanya salah satu dosen yang ikut bersama mereka.
“Pak Arnold udah pulang, Pak tadi jam 5,” jawab Rio.
“Oalah, kalau ada pak Arnold enak nih, rame,” celetuk dosen lainnya. Tentu saja Rio dan Diani tak memedulikan kehadiran atau tidak Arnold, karena bagi keduanya Arnold cukup mengganggu dan duri dalam onak.
“Jam berapa ya, Pak Rio?” tanya Diani basa-basi.
“Oh, sebentar Bu Diani.” Rio merogoh kantong celana dan mengambil ponselnya. Saat itulah ia baru menyadari jika ponselnya mati. Rio melihat Diani yang duduk berseberangan dengan kernyitan dahi.
Kenapa ponselku pakai mati segala, sih! batin Rio menghidupkannya lagi tapi tak lama mati lagi.
“Ponsel saya lowbat Bu Diani.” Rio menunjukkan ponselnya yang memang mati.
Wajah Diani langsung tak enak dipandang, ia meminta izin ke kamar mandi pada dosen-dosen lain. Rio yang juga ingin pergi tak mungkin segera melakukannya karena pasti akan menimbulkan kecurigaan. Lima menit … sepuluh menit Diani tak kunjung kembali. Rio mulai resah dan cemas, sementara dosen-dosen yang lain tampak biasa saja.
“Permisi, saya juga mau ke belakang.” Ucap Rio tanpa pikir panjang meninggalkan mereka.
Langkah buru-buru Rio memecah keheningan lorong kampus tempatnya mengajar. Karena ponselnya mati, ia hanya bisa memanggil Diani pelan-pelan. Sampai di kamar mandi, ia melihat tempat itu sepi. Sekali lagi Rio memanggil Diani tapi tak ada jawaban. Akhirnya dia memutuskan untuk mencarinya ke parkiran atau taman kampus. Dan ternyata tebakan Rio benar! Diani sedang duduk di taman kampus seorang diri.
“Butuh teman, Bu Diani?”
Diani yang mengenal suara Rio dengan sangat baik hanya diam dan memberikan sebagian tempat kosong padanya.
“Kamu ngapain sendirian di sini, Diani?” tanya Rio penasaran.
“Nggak ngapa-ngapain. Cuma menikmati kesendirian,” balas Diani.
“Kenapa gitu lagi ngomongnya? Aku bikin salah apalagi kali ini?” tanya Rio penuh kebingungan.
“Enggak, Rio. Kamu nggak bikin salah apa-apa. Akunya aja mungkin yang lagi sensi,” jelas Diani melihat lembut.
“Terus kenapa kamu kaya gitu lagi?” Rio agak jengah dengan sifat Diani yang manja dan egois.
“Sampai kapan kita akan terus seperti ini, Rio? Apa kamu nggak bosan atau jenuh dengan hubungan kaya sekarang?” Diani mengembuskan napas kasar, seakan menanggung beban yang sangat banyak.
“Mauku, sih secepatnya kita bisa bersatu, Sayang. Tapi kamu tau kan untuk sekarang ini nggak mungkin karena -”
“Aku tahu!” sahut Diani tiba-tiba memotong dan menjawab ucapan Rio.
“Sayang…” Rio menggenggam tangan Diani tepat saat sebuah mobil masuk dan menyorot keduanya dengan lampu yang sangat terang.
“Ouh, siapa sih itu! Nggak sopan banget! Pakai segala arahkan lampu ke kita!” kesal Diani menutupi matanya karena silau.
“Entahlah, biar kuhampiri.” Rio bangun dari tempat duduknya dan menghampiri mobil yang sedang berhenti itu.
“Tolong dibuka.” Ucap Rio mengetuk kaca mobil tersebut.
“Iya, Pak. Ada apa?” Seorang pria cukup berumur menurunkan kaca jendela mobilnya. Namun, belum sempat Rio bertanya lebih lanjut, seorang perempuan keluar dari mobil tersebut dan menghadapkan wajahnya ke Rio.
“Kupikir kamu kenapa-kenapa, Mas. Ternyata baik-baik saja.”
“Z-Zivanna!!” kejut Rio.